Senin, 11 Juli 2011

News

(Sweet) Seventeen di Tengah-tengah Menjelang Sinyal Merah

Gedung tua yang bernama Galeri Nasional itu terletak di Jalan Medan Merdeka Timur No. 14, berada di seberang stasiun Kereta Api Gambir. Malam itu, Jumat 8 Juli 2011, salah satu ruang di area gedung tersebut menjadi meriah. Dari depan gedung tampak beberapa orang dan gerombol orang berjalan menuju area ruang itu. Sebagian besar dari mereka adalah jurnalis, pekerja media, aktifis, pekerja LSM, dan pekerja seni. Mereka menghadiri undangan Aliansi Jurnalis Independen (AJI Indonesia), yang malam itu mengadakan perhelatan resepsi HUT AJI ke 17.

Malam itu saya turut hadir memenuhi undangan tersebut, disamping saya juga punya janji dengan beberapa teman untuk bertemu di acara HUT AJI. Sebelum sampai meja registrasi, tamu undangan dihadang oleh seonggok ruangan yang keseluruhan dinding dan atapnya terbuat dari seng bekas. Seng sisi dalam semuanya berwarna hitam. Ruang seng berukuran 4 m x 8 m dan tinggi 3 m itu berisi sebuah kerja proses kreatif dari seorang Tisna Sanjaya. Perupa, pelukis, pematung yang juga seorang actor, penyair, dan sutradara. Tisna menyuguhkan karya seni instalasi dengan judul “Amnesia Cultura”.

Seni Instalasi adalah seni yang memasang, menyatukan dan mengkontruksi sejumlah benda yang dianggap bisa merujuk pada suatu konteks kesadaran makna tertentu. Tisna membuka sebuah ruang penyadaran akan penyakit amnesia cultura. Ia melakukan riset seni, seni survey dengan cara proses langsung, lebur dengan warga yang seharusnya mendapatkan ruang yang nyaman untuk meraih haknya dalam ranah bekerja secara kreatif dan mendapatkan nilai-nilai yang bisa menghidupi dirinya secara layak. Sejumlah lukisan Tisna terpampang di dinding sisi dalam. Sementara pada lantai ruangan bertebaran benda-benda Tisna, yaitu sampah plastik. Pada dinding sisi luar terpampang poster-poster media kampanye AJI. Tisna yakin, seni masih memiliki daya untuk melakukan perubahan dari kondisi represi.

Ekspresi di tengah represi, adalah tema yang diangkat oleh AJI dalam HUT ke 17-nya. Setelah menyapa dan mengucapkan selamat ulang tahun kepada beberapa anggota AJI dan mencicipi sajian makan malam, saya memasuki ruang berlangsungnya acara inti. Ruangan sudah dipenuhi tamu undangan. Tempat duduk disusun berbentuk kelas dengan dua sayap. Beberapa undangan berdiri di bagian belakang. Seorang teman saya, anggota AJI yang menjadi panitia, bernama Musdhalifa Fachri, berbaik hati mencarikan saya tempat duduk. Saya duduk tepat di belakang Metta Darmasaputra. Metta adalah seorang redaktur investigasi Majalah Tempo. Pada tahun 2008 AJI memberikan anugerah Udin Award kepada Metta Darmasaputra atas komitmen dan integritas moralnya dalam upaya menegakkan kebebasan pers, kebenaran dan keadilan. Tulisan investigatifnya pada majalah Tempo tentang dugaan penggelapan pajak oleh PT Asian Agri menuai gugatan dari pihak yang diberitakan. Berbulan-bulan Metta dan Tempo berjuang di ranah pengadilan menghadapi gugatan tersebut.

Setiap tahunnya, AJI menominasikan individu/kelompok/lembaga/ jurnalis/ sekelompok jurnalis yang diusulkan oleh public, yang memenuhi criteria untuk menerima anugerah Tasrif Award dan Udin Award.

Tasrif award adalah sebuah penghargaan jurnalisme yang diberikan kepada individu atau lembaga yang memiliki kontribusi bagi pers dalam menjalankan tugasnya. Diantaranya adalah mereka yang memajukan kebebasan berekspresi, mengungkap skandal korupsi, memenuhi hak public atas informasi atau memberantas ketidakadilan. Penobatan Tasrif Award diberikan sebagai wujud penghormatan kepada Suardi Tasrif, Wartawan-cum-advokat yang mendedikasikan hidupnya bagi kebebasan pers, pemberantasan korupsi dan keadilan bagi masyarakat. Tahun ini, dewan juri memilih Tessa Piper sebagai penerima Tasrif Award. Tessa dikenal sebagai seorang yang sangat lowprofil. Ia adalah perempuan berkewarganegaraan Inggris yang sejak jaman orde baru telah banyak membantu perjuangan mewujudkan kebebasan pers di Indonesia. Dewan Juri Tasrif Award yang terdiri dari Ayu Utami, Yoshep Adi Prasetyo, dan Margiono, sepakat memberikan Tasrif Award kepada Tessa karena ia dinilai telah membuktikan dedikasinya untuk membantu pers di Indonesia bahkan sejak era represi pada masa pemerintahan Soeharto.

Sementara itu Udin Award tahun ini dianugerahkan kepada Alm. Ridwan Salamun. Udin Award adalah sebuah penghargaan jurnalistik yang diberikan kepada jurnalis atau kelompok jurnalis. Udin Award diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada seorang jurnalis Berita Nasional Yogyakarta yaitu Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin yang menjadi korban pembunuhan pada tahun 1996. Sampai kini, kasus pembunuhan terhadap Udin tidak pernah terungkap. Sepeninggal Udin, hingga kini masih saja terus ada udin-udin lain. Ridwan Salamun adalah sosok jurnalis yang mendedikasikan dirinya bagi pers hingga titik darah penghabisan. Ia adalah koresponden Sun TV yang dibantai massa pada saat melakukan peliputan perkelahian di Tual Maluku Utara pada Agustus 2010 lalu.

Tahun 2011 ini AJI mencatat bahwa kasus kekerasan terutama pembunuhan terhadap wartawan yang tak terungkap, aksi penganiayaan, pemukulan, intimidasi dan terror, telah menempatkan kebebasan pers di Indonesia terancam bahaya yang serius. Di sisi lain ruang kebebasan pers dikepung sejumlah regulasi yang dapat mengirim jurnalis ke penjara. Kondisi tersebut merupakan sinyal berbahaya bagi kebebasan pers di Indonesia.

Saya sepakat dengan Tisna Sanjaya, bahwa seni selain sebagai sebuah ekspresi untuk hanya menyampaikan kegundahan diri, metafor, sublime, seni sangat kaya akan berbagai cara untuk memberikan jalan baru, inspirasi untuk melakukan perubahan dan pembenahan di segala bidang, ya, di segala bidang. Kerjasama berbagai ilmu yang dikemas dalam kerja kreatif, proyek seni, pasti dapat menjadi upaya melakukan perlawanan.

Jika pers dibungkam, maka sastra harus bersuara dengan lolongan yang berbeda. Jika fakta hukum diputar balikkan, hukum diporak porandakan, maka seni perlawanan harus maju merobohkan pilar-pilar kekuasaan yang bobrok.

Apalah artinya toga kebesaran, jika melupakan derita ketidakadilan dan jeritan yang ditindas-Diani. Apalah artinya kecerdasan, jika mengedepankan kerakusan dan kelicikan-Diani. Apalah artinya berkesenian, jika melupakan derita lingkungan-Rendra.

Kebebasan berekspresi adalah milik tiap-tiap orang. Setiap kata yang berpotensi membunuh ekspresi seseorang wajib kita “uji materikan”. Momentum kebebasan adalah milik tiap orang. Tiap orang berhak atas kenikmatan berekspresi.

Kaki, tangan dan kepala saya terus bergoyang-goyang, saat JOGJA Hip Hop Foundation (JHF) menyuarakan suaranya, mengekspresikan ekspresinya dengan bait-bait rap berbahasa jawa. Sajian penutup AJI pada resepsi malam itu adalah hip hop rap berbahasa jawa. JHF didirikan tahun 2003 oleh Marzuki Mohammad, dengan tujuan untuk membantu aktivitas dan mempromosikan rap berbahasa jawa. JHF sudah berekspresi hingga panggung internasional. Saat ini, lagu-lagu dari JHF menjadi lagu rakyat di Yogyakarta, terutama setelah diluncurkannya lagu Jogja Istimewa yang sudah menjadi soundtrack kehidupan rakyat Yogyakarta. (diani)

Tidak ada komentar: