Kamis, 25 Desember 2014

Senja Di The Monsoon City



Perjumpaanku dengan mereka diakhiri dengan doa. Para pendeta dan puluhan Kristiani itu khidmat dalam ketulusan hati memanjatkan doa ; memintakan keselamatan, kesabaran, kekuatan, kelapangan hidup, dan kebaikan untukku. Lalu, tiga orang jemaat perempuan memelukku. Para pendeta menyalamiku. Aku satu-satunya muslim yang ada dalam gereja itu. Aku pulang, menuruni anak tangga gereja, dengan jiwa yang penuh kebahagiaan. Mereka melambaikan tangan padaku.

Mulanya mereka mengira aku se-iman dengan mereka. Mereka bertanya di mana gerejaku? Di mana pelayananku?. Aku menjawabnya, “Barangkali pelayanan saya di seluruh Indonesia. Atau bisa jadi di penjuru muka bumi ini? Saya Muslim”. Mereka kaget. Mungkin jawabanku tidak seperti yang mereka harapkan. Aku khawatir, mereka menolak kedatanganku. Seolah aku melihat sorot mata yang penuh selidik pada tatapan mereka. Tapi dalam dua jam, semuanya berubah. Kami bergandengan tangan dengan tulus. Tak ada rasa saling curiga. Agamamu Agama Kasih. Agamaku Agama Rahmat Bagi Seluruh Semesta. Aku aman bagimu, kamu aman bagiku. Kita masih diberi hidup, karena kita masih dipercaya untuk menebar cinta, dan damai di seluruh penjuru muka bumi.

Aku berterima kasih dengan mendalam pada Tuhanku di senja itu. Berterima kasih secara khusus karena Ia telah menunjukkan keindahanNya. Semoga Engkau membimbing aku, ia, kamu, mereka, kita, untuk bisa menjadi manusia yang rendah hati. Memuji dan memujaMu tanpa merendahkan ciptaanMu. MenyeruMu tanpa lisan ini menyakiti sesamaku, ciptaanMu. “Mensyukuri waktu menggerakkan tubuh”  tanpa raga ini mengkasari atau berbuat kekerasan pada sesamaku, ciptaanMu.

Aku menghentikan langkah sejenak. Menatap dedaunan pohon cemara di depan gereja. Pohon yang selalu menghijau, setia sepanjang musim. Aku teringat cerita kanak-kanak dari Florence Holbrook. Pohon cemara terus menghijau karena kebaikannya pada burung kecil yang sayapnya patah. Cemara yang tinggi, berendah hati menolong burung kecil. Sehingga angin, dan segala musim, serta penjuru semesta terus menghijaukan cemara.


Adiani Viviana,
(Di Bawah Pohon Cemara, pada suatu Juni)

Rabu, 17 Desember 2014

Diapresiasi Tapi Tak Diakui

Udara sejuk, dan terasa ringan saat dihirup. Kabut tipis menyelimuti kampung kecil di balik bukit itu. Seekor anjing coklat menyembul keluar dari balik semak-semak tepi jalan. Tidak terlihat kesibukan atau lalu lalang yang berarti di perkampungan Cireundeu siang itu, Rabu 19 November 2014. Rombongan tamu dari Myanmar, ANBTI, Ajar, Elsam, Ikohi, Jaringan Bina Damai, Sobat KBB, Perkumpulan 6211, dan sekitar lima orang jurnalis berjalan beriringan menyusuri gang kecil di dalam perkampungan yang tetap mengikuti perkembangan zaman dalam urusan teknologi itu. Mereka datang untuk saling menguatkan, berbagi informasi dan pengalaman dalam advokasi kebebasan beragama/berkeyakinan. Kunjungan ini merupakan bagian dari rangkaian perayaan hari toleransi internasional yang jatuh pada Minggu, 16 November 2014.

Jika masyarakat Cireundeu kedatangan tamu, mereka akan menerimanya di bale saresehan. Bale yang pada tiga sisi dindingnya dihiasi piagam penghargaan berbingkai, dan berjejer rapi. Mulai dari Walikota hingga presiden, dari dalam negeri sampai mancanegara, pernah memberikan penghargaan pada masyarakat kampung Cireundeu untuk kesetian mereka pada singkong. Atas nama ketahanan pangan, para pemberi penghargaan itu memberikan apresiasinya untuk para “kakek nenek hingga anak singkong” itu.

“Tidak pernah terfikir dan terbayangkan sebelumnya oleh kami, kalau kearifan lokal dan kemandirian ini diapresiasi oleh banyak kalangan”, kata Kang Yana, salah satu tokoh masyarakat kampung Cireundeu. “Kang” adalah sebutan untuk laki-laki dewasa Sunda. Seperti sebutan “mas” di Jawa, atau  “uda” di Minang. 

Menurut Kang Yana, konsumsi di luar beras masyarakat Kampung Cireundeu sudah berlangsung sejak 1918. Secara turun temurun dilakukan oleh leluhur mereka, hingga generasi terkini. Singkong adalah pilihan mereka. Singkong menjadi bahan pangan pokok masyarakat kampung Cireundeu.

Kondisi geografis wilayah Indonesia menuntut masyarakatnya untuk dapat bertahan hidup dengan menyesuaikan kondisi alam di mana mereka tinggal. Kampung Cireundeu, terletak di dalam lembah. Di balik deretan gunung, yaitu gunung Kunci, gunung Cementeng, dan gunung Gajahlangu. Kontur Cireundeu jauh dari persawahan.

Sejak zamannya, para leluhur masyarakat kampung Cireundeu telah memberikan petuah yang sesuai dengan kehidupan kekinian. Para leluhur mengingatkan, bahwa ke depan manusia akan terus tumbuh dan bertambah. Semua makan beras. Beras akan berkurang. Masyarakat Cireundeu tidak boleh bergantung pada orang lain. “Tidak punya sawah asal punya padi, tidak punya padi asal punya beras, tidak punya beras asal bisa menanak nasi, tidak punya nasi asalkan makan, tidak bisa makan asalkan kuat”, itulah petitih leluhur mereka yang hingga kini dirawat, dijaga dan dijalani, hingga  mengantarkan mereka pada berbagai bentuk penghargaan dari berbagai kalangan.

Tapi ironis, kesetiaan mereka pada ajaran keyakinan leluhur tidak dilirik, tidak diapresiasi, karena  tidak diakui. Negara tidak mengakui mereka sebagai penganut kepercayaan tradisi leluhur; Sunda Wiwitan. Meskipun sebagai warga negara, mereka telah memberikan prestasi hingga tingkat dunia. Sedikitnya 70 kepala keluarga masyarakat Cireundeu menganut kepercayaan Sunda Wiwitan.

Di balik kemandirian masyarakat Cireundeu, dan keberhasilan mereka dalam menjaga tradisi ketahanan pangan, mereka menanggung masalah yang bersumber dari perilaku negara yang tidak mengakui keyakinan mereka itu. Kesulitan dalam pencatatan sipil terkait pernikahan, dan pencatatan kelahiran anak, juga pendidikan sekolah anak-anak. Anak-anak tidak memiliki akta kelahiran. Di sekolah mereka harus mengikuti pelajaran agama yang bukan merupakan keyakinannya. Negara yang menjamin warga negaranya untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya, tidak dirasakan oleh masyarakat Cireundeu. Saat ini, seorang perempuan anggota keluarga Abah Emen (sesepuh kampung) yang sedang berkuliah di STIP, terhambat dalam proses akhir kelulusannya. Karena sekolah mensyaratkan ia harus bisa berbahasa Arab. Sementara, penganut Sunda Wiwitan sangat lekat dengan aksara Sunda.

Laporan monitoring Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) terhadap peradilan atas enam kasus berbasis agama/ kepercayaan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Yogyakarta pada 2013-2014 menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama/ berkeyakinan berdampak pula terhadap terlanggarnya hak-hak lain. Dalam studi enam kasus tersebut, hak asasi manusia lainnya yang dilanggar diantaranya adalah hak atas rasa aman, hak atas tempat tinggal, hak atas pendidikan, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak atas budaya, hak atas perlakuan yang sama di depan hukum, hak atas peradilan yang adil.

Tentang pemerintah yang mengupayakan pengkosongan kolom agama pada KTP, bagi masyarakat Cireundeu mungkin baik, atau sama saja. Tapi bagi mereka, akan lebih baik jika agama mereka bisa dicatat pada kolom KTP,  “agama: Sunda Wiwitan”. Karena itu menunjukkan sebuah pengakuan yang kuat.

Konstitusi UUD 1945 tegas dan terang menjamin hak asasi manusia. Daftar panjang hak asasi manusia tertuang setidaknya mulai dari Pasal 27 hingga Pasal 31. Jaminan hak bebas beragama dan beribadah sesuai agama atau kepercayaannya secara khusus tertuang dalam satu pasal, satu bab, yaitu Pasal 29 dalam Bab XI. Hingga kini negara sering kali absen dalam menjalankan konsekuensi atas penjaminan tersebut. Selain kewajiban menjamin, otoritas negara dalam hal ini trias politika : eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kewajiban menghormati hak konstitusional tersebut. Bukan semata-mata atas dasar tuntutan undang-undang, atau moral[1].

“Negara memberi apresiasi atas prestasi kami. Tapi masalah spiritual kami, mereka tidak mau mengerti. Terserah saja. Yang penting bagi kami, inilah kami. Anak singkong, kakek singkong. Urusan makan, daulat pangan, kami mandiri berdiri sendiri”, Tegas Kang Asep tokoh masyarakat Cireundeu penganut Sunda Wiwitan.
Apa yang dialami masyarakat Sunda Wiwitan Cireundeu juga dirasakan kelompok-kelompok penghayat lainnya di Indonesia. Berprestasi, tapi tidak diakui. Masyarakat Samin Sedulur Sikep di Kudus misalnya. Sejarah mencatat, para leluhur sedulur Sikep berjasa dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan RI. Hingga kini, anak cucu leluhur tersebut, mengalami banyak hambatan, perlakuan diskriminasi sebagai warga negara, karena keberadaan mereka sebagai kelompok penghayat tidak diakui oleh negara.  
     
Mengacu pada ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rigths), Negara memiliki tugas utama untuk melindungi semua individu yang tinggal di wilayahnya dan yang tunduk pada yurisdiksinya. Termasuk orang-orang yang memeluk keyakinan non-teistik atau ateistik, orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas (Pasal 27 ICCPR dan Deklarasi PBB 47/135), dan penduduk asli (Deklarasi PBB 61/295 Pasal 11 dan 12), serta untuk melindungi hak-hak mereka[2]. Di samping itu, Negara juga harus memperlakukan semua individu secara setara tanpa diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan mereka. Indonesia telah meratifikasi ICCPR melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Sudah sembilan tahun berjalan. Konsekuensi bagi Negara peratifikasi adalah Negara bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak sipil dan politik warga negaranya. Tanggung jawab tersebut terklasifikasi ke dalam kewajiban untuk menghormati atau to respect, melindungi atau to protect, dan memenuhi atau to fullfil hak-hak asasi manusia warga negara. Dalam rangka pemenuhan ketiga kewajiban tersebut, negara dapat menempuh langkah dan kebijakan yang tepat, konkrit, dan solutif. Implikasi lain dari negara peratifikasi kovenan adalah, melaporkan langkah-langkah yang ditempuh dalam upaya pemenuhan hak-hak warga negara yang termaktub dalam kovenan, bagaimana perkembangannya setelah pemberlakuan kovenan. Laporan dibuat satu tahun pasca diberlakukannya kovenan, dan setelahnya apabila diminta.

Namun hingga kini, seperti pohon singkong yang tahan banting, tahan cuaca, dan bisa tumbuh dimanapun, begitu juga masyarakat Sunda Wiwitan Cireundeu, tetap mandiri dan berjuang di tengah-tengah tiadanya pengakuan negara atas keberadaan mereka sebagai kelompok kepercayaan. Mereka terus berupaya menjaga keharmonisan dengan sesama dan semesta. Menjaga kesetiaan pada ajaran leluhur mereka, leluhur bangsa Indonesia, meski Negara tidak mengakuinya. (Adiani Viviana)


Cireundeu, 19 November 2014





[1] “Margin Apresiasi HAM”, Abdul Hakim Garuda Nusantara ; nasional.kompas.com, 2011
[2] Panduan Uni Eropa tentang Peningkatan dan Perlindungan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan

Sabtu, 15 November 2014

Sajak Kecil untuk Adik

seperti kuku yang hanya milik jari jemari,
mungkin begitu juga kamu bagi ayahmu
keeksotikan sulawesi, keindahan jawa ; ia bawa serta kamu untuk menikmatinya
dan kini, wangi sorga pun ingin ia bagi denganmu

para penduduk langit telah memilih hari yang baik untukmu
hari baik menuju kampung halaman abadi
semoga kamu menjadi bunga di taman sorga, dengan ayahmu sebagai pohon rindangnya
ditemani gemericik sungai-sungai yang mengalir indah, lebih indah dari sungai-sungai di kampung kita keindahan seperti yang kamu lukiskan
keindahan yang ia janjikan untuk jiwa-jiwa mulia 

tentang asoka merah jambu dalam puisiku yang kau suka, 
aku akan membacakannya pada tiap saat aku mengenangmu
seperti aku sedang mendongeng untukmu, seperti juga ayahmu mendongeng untukku saat aku kecil dulu

selamat jalan, selamat berkumpul dengan ayahmu
"aku menyayangimu, karena itulah aku mendoakanmu"  

Jumat, 24 Oktober 2014

Minggu, 12 Oktober 2014

Gigi Ibu yang Hilang




Pada hari raya Idul Adha tahun 1993, di pagi hari seusai sholat Idul Adha situasi rumah saya di kampung halaman hiruk pikuk. Nini dukun bayi panik dan tegang. Butir-butir keringat menempel di wajahnya yang sudah keriput. Bibirnya nlekthek, gemetar. Seolah dialah yang baru selesai melahirkan. Ia was-was, takut kalau-kalau Ibu saya sudah menghembuskan nafas terakhirnya. 

Saya teringat kata dokter saat itu. Perempuan yang baru melahirkan perlu minum air putih yang banyak. Bukan minum air kopi. Proses persalinan menyita banyak cairan dari tubuh. Air putih dapat membantu proses pemulihan. Air kopi tinggi kafein, katanya, dapat mengganggu proses kerja jantung, dan tekanan darah setelah proses persalinan itu. Sepertinya semua orang mengamini, kalau perempuan yang sedang melahirkan memang sedang berjuang pada batas hidup dan mati.

Ibu ingin minum kopi. Nini dukun bayi memberi ibu segelas kopi hitam setelah ibu berhasil berjuang mengeluarkan adik dari kandungan ibu. Ibu meminumnya hingga habis. Ibu memang pecinta kopi. Mata Ibu terpejam rapat. Bibirnya mengatup kencang. Wajah putihnya pasi. Ibu pingsan sesaat setelah melahirkan anak keenamnya. Adik saya yang ke dua.

Bidan dan dokter kalah cepat datang oleh nini dukun bayi. Padahal nini dukun bayi berjalan kaki puluhan kilometer dari rumahnya menuju rumah kami. Sementara bidan, juga dokter mengendarai sepeda motor. Hitungan melahirkan nini dukun bayi tidak meleset. “Insya Allah, nanti lahir pagi hari. Setelah Sholat Idul Adha selesai”, katanya. Saya tidak tahu persis bagaimana ia mengira-iranya.

Ibu punya cerita yang berbeda-beda pada enam kali proses persalinannya. Tiap kali ibu bercerita tentang salah satu diantara enam itu, rasa cinta dan kagum saya pada ibu selalu bertambah mendalam. Tapi pada  enam kali proses persalinan itu, selalu ada dua kesamaan. Satu, ibu melahirkan enam bayinya secara alami di rumah. Tak ada yang lahir di rumah bersalin. Dua, tiap mengandung, ibu sakit gigi. 

Dokter selalu menyarankan ibu untuk cabut gigi seusai melahirkan. Ibu menurutinya. Ibu telah melahirkan enam bayi. Dalam kurun waktu 1974 – 1993, ibu telah kehilangan enam giginya karena dicabut seusai melahirkan.

Bagi saya, ibu saya adalah ibu terbaik sedunia. Ia perempuan yang kuat. Melebihi kuatnya para pendaki  gunung Annapurna. Atau gunung tertinggi di dunia sekalipun. Hatinya lebih luas dari samudera. Ia guru yang baik. Pelawak yang gokil. Partner bisnis yang oke sip mantap. Meski bukan partner memasak yang kompak. Juga bukan partner berantem yang asyik. 

Ibu sering melawak tanpa disadari. “Bu, itu es teh manis ya?”, “Bukan. Air teh saya taruh kulkas”, katanya tanpa basa-basi. Setelah saya menyipitkan mata dan menarik bibir, barulah ia sadar dan terkekeh sendiri. Selain kopi, sesekali ibu suka es teh manis. Ibu suka yang manis-manis. Tapi Bapak tidak terlalu manis. Hanya saat mudanya, di foto-foto Bapak terlihat  tampan. Ibu  tidak takut yang manis-manis merusak giginya. Ia yakin dalam hidupnya hanya akan sakit gigi saat mengandung saja.

Idul Adha selalu mengingatkan Ibu pada kelahiran anak keenam. Anak terakhirnya. Dan sejak enam tahun terakhir ini, Idul Adha juga mengingatkan Ibu pada kehidupan baru suaminya, Bapak kami. Idul Adha enam tahun lalu, adalah hari pertama Bapak kami menjadi pasien haemodialisa, hingga kini. Idul Adha enam tahun lalu, Ibu mengajarkan pada Bapak dan kami tentang kekuatan. Bagaimana meneladani ketaatan Nabi Ibrahim dalam berkorban dan mengabdi pada Tuhannya. Untuk mendapat ampunan dan tebusan-Nya. Enam tahun lalu, meski ibu tak bisa memasakkan daging untuk kami, meski gigi-gigi kami tak bisa mengunyah daging bersama-sama, mengelilingi meja makan, tapi pada wajah ibu yang sayu, saya masih bisa melihat rona bercahaya.

Orang bilang, sorga ada di bawah telapak kaki ibu. Dan mungkin, kehidupan kami ber-enam, ada di balik gigi ibu. Jika kami ber-enam masing-masing memberi ibu satu gigi buatan, barangkali dapat mengganti enam gigi ibu yang hilang itu. Tapi, gigi emas sekalipun tidak akan pernah dapat mengganti kemuliaan dan pengorbanannya untuk kami. Terima kasih Bu, telah memberi kami jalan kehidupan hingga nafas kami kini.

Bogor, 5 Oktober 2014

Sabtu, 20 September 2014

Pemimpin Penjaga Pepohonan dan Perdamaian


*Adiani Viviana




Sepertinya cinta Abdul Kholik Arif pada pohon sudah sangat mendalam. Mungkin juga ‘tanpa kepentingan’. “Kalau ada pohon ditebang semena-mena, wiss, saya berani nangis....”, kata Kholik. 

Pada tahun 2012, Majalah Tempo memilih Bupati Wonosobo itu sebagai salah satu kepala daerah pilihan. Tempo melihat adanya leadership yang kuat, keberanian dalam mengimplementasikan program, dan konsistensi dalam kepemimpinan Kholik. 

Kholik meyakini bahwa menanam pohon bersama-sama dapat menjadi media yang membahagiakan bagi lintas masyarakat untuk berkomunikasi secara terbuka. Keyakinanya terbukti. Ia berhasil melalui dua pulau dengan sekali mendayung ; mewujudkan Wonosobo yang hijau, dan damai. Ahmadiyah, Aboge (Alif Rebo Wage), Syiah, Kristen, Katolik, Konghucu, Hindu, Budha, NU, Muhammadiyah, Muslimat, Aisyiah, Ansor, Fathayat,  dan sebagainya bergandengan tangan riang gembira menanam pohon. Tidak hanya sekali. Berkali-kali. 

Kholik percaya, dengan hidupnya banyak pohon, hak-hak dasar warga akan terpenuhi. Jalan pikirannya logis dan runut. Ia menjadikan Wonosobo green city sebagai tangga menuju Wonosobo human right friendly city. Baginya, negara-pemerintah sebagai pemangku kewajiban terhadap pemenuhan hak-hak dasar manusia, tidak bisa melakukannya sendiri. Masyarakat sebagai bagian dari lingkungan, harus berpartisipasi. Melakukan kontrol, sekaligus sebagai pelaku.

 “Tapi dulu, preman-preman di Wonosobo kalau mutung wagu. Nek mutung dho nebangi pohon”, cerita Kholik pada 3 Juni 2014 lalu di Hotel Royal Kuningan Jakarta. Preman yang aneh. Kini, preman-preman aneh itu telah berada dalam rangkulan Kholik. Mereka turut serta menanam pohon, dan berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan serta kebudayaan.

Pemimpin yang baik tahu betul apa yang harus dikerjakan. Bupati penerima penghargaan pluralisme itu berhasil menggandeng semua elemen masyarakat, dan pemerintah untuk terlibat langsung dalam mewujudkan Wonosobo yang hijau dan damai. Hampir tidak terdengar adanya pelanggaran atau kekerasan di Wonosobo yang mengatasnamakan agama  atau kepercayaan. Suatu kali sebuah vihara di Wonosobo berantakan seperti dirusak orang. Kholik bersama aparat dan masyarakat turun tangan langsung ke lapangan. Setelah diselidiki, ternyata yang merusak petir atau geledhek. 

“Karena tidak ada yang perlu dilanggar dan melanggar”, kata laki-laki kelahiran Wonosobo itu. Bagi Kholik, agama atau kepercayaan adalah urusan masing-masing individu. Sendiri-sendiri saja. “Sukanya Yahudi, ya silahkan. Suka Islam, ya silahkan”. Sebagai pemimpin daerah, Kholik tidak mau membubarkan Ahmadiyah di wilayahnya. Saya lahir besar di Wonosobo. Sebelum saya lahir, Ahmadiyah sudah ada di sana. Lha, ya mana mungkin saya mau membubarkan”, tegasnya. Kholik tegas berbeda dengan pemimpin daerah di kota-kota tetangga. Mereka dengan dalih pelaksanaan SKB Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, Dan/ Atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dan Warga Masyarakat, berlomba-lomba melalui perangkat pemerintahannya membubarkan Ahmadiyah di wilayahnya. Mulai dari penyegelan masjid, pelarangan berkumpul keagamaan, diskriminasi pelayanan publik, dan sebagainya. 

Menurut Kholik, tantangan terberat dalam menjaga kebhinekaan dan perdamaian adalah menghadapi kelompok yang selalu merasa paling benar sendiri.
 
Pemimpin yang mampu mengenali dengan baik dan dekat yang dipimpin, ia tahu pasti apa yang harus dikerjakan. 

Pemimpin yang baik adalah orang yang berkarakter kuat. Memiliki kemampuan managerial juga mutlak. Jika pemimpin telah menempatkan tujuannya untuk “kemanusiaan yang adil dan beradab”, memahami bahwa bumi dan kita ada karena beraneka ragam perbedaan -bukan sesuatu yang tunggal atau seragam, atau sewarna-, serta memikirkan dan bertindak untuk tetap lestarinya lingkungan, hutan, gunung, sungai, memperbanyak pohon dimana-mana, maka barangkali tak akan ada keraguan dari siapapun untuk dipimpinnya. Pemimpin dengan karakter kuat ibarat pohon rindang yang memiliki akar kuat menghujam ke bumi. Pohon sumber kedamaian, pemimpin sumber perdamaian. 

Oktober 2014 mendatang, Kholik akan paripurna dari tugasnya memimpin dan mengelola Wonosobo. Salah satu yang akan diwariskan Kholik kepada kampung halamannya adalah tata ruang kota dengan 35 % ruang terbuka hijau. Warisan lainnya adalah bukit-bukit yang telah ia hijaukan dengan nama-nama yang unik. Bukit wartawan, bukit pramuka, dan masih banyak bukit lagi.

Semoga usahanya dalam menyebarkan virus hijau, virus toleransi, perdamaian, dan nilai-nilai kemanusiaan, tidak akan berhenti saat ia berhenti menjadi bupati. Kata Ayah saya, menanam pohon sama halnya dengan berbuat kebaikan ;  bisa dimana saja dan kapan saja. Ayah mencontohkan Nabi Muhammad SAW yang menanam pohon di tempat orang-orang yang memusuhinya. Nabi Muhammad juga pernah menanam pohon di saat berperang. Jika cinta Kholik pada keharmonisan sudah mendalam, tentu ia juga akan menanam pohon dan menyemai perdamaian di mana  saja, dan kapan saja.



Bandung, 18 Juni 2014