Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di https://indonesiana.tempo.co/read/111137/2017/05/05/vi2_163/sakura
Ia terlahir dengan rambut
keriting, dan bermata bulat. Dalam tubuhnya mengalir darah Papua-Maluku.
Kulitnya tidak hitam, tapi putih bersih. Orang tua biologisnya memberinya nama
Sonny Laratmase.
Kehidupan Sonny lekat dengan
keberagaman. Ia juga tumbuh di antara keluarga yang tidak hanya plural dalam
suku dan agama, tapi juga kehidupan yang cukup kompleks, berliku, dan suram.
Kini Sonny beribu tiri seorang perempuan Jawa. Hidup Sonny dinamis. Ia mudah
beradabtasi dan menjalani perubahan dengan cepat.
“Buat saya tidak masalah, tinggal bersama
dengan siapa saja. Laki-laki, perempuan, waria. Yaa, apalagi dari sesama Papua,
dari luar wilayah juga tidak apa-apa. Saya sudah biasa”, katanya pada Juli
2016 ke saya melalui telepon, saat ia akan berpindah dari Sorong, Papua Barat
ke Jakarta untuk tinggal selama empat bulan bersama orang-orang muda lainnya
dari Tanah Papua.
Pada 2016, Sonny mendapat
beasiswa pendidikan Hak Asasi Manusia dan riset pendokumentasian pelanggaran
HAM dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta dan Peace Brigades International (PBI)
selama tujuh bulan. Setelah pendidikan, ia melakukan riset di Sorong. Ia
meneliti tentang pemenuhan hak atas akses obat bagi Orang Dengan HIV Aids atau
ODHA, khususnya ODHA Waria di Sorong. Sebuah isu dan komunitas yang dekat dengan
keseharaiannya. Kini risetnya sedang dalam penulisan laporan.
Berbeda dengan sebagian besar
orang muda Papua lainnya, yang memilih berada di garis depan dalam perjuangan
Papua merdeka atau isu sentral Papua lainnya, Sonny memilih bergerak untuk
memerdekakan kelompok minoritas dalam minoritas itu: Waria dengan ODHA di
Sorong. Suatu barisan pejuang dan perjuangan yang kesepian di Papua.
Tidak mudah menyuarakan hak-hak
kelompok waria di Papua, Tanah yang menjadi wilayah berpusatnya agama Kristen
dan agama-agama lokal masyarakat adat itu.
“Kalau di Jakarta, musuh terberat mungkin FPI
ya, Kak?”, kata Sonny pada saya suatu kali di 2016. “Kalau di kita nie ada beberapa kelompok agama khususnya Katolik yang
juga keras”, lanjutnya.
Kelompok yang dimaksud Sonny
adalah mereka dari Kristen konservatif. Papua merupakan wilayah dengan
mayoritas umat Kristen. Jejak sejarah Kristen dan peradabannya di Tanah ini
masih dapat dilihat di pulau-pulau kecil di Papua. Misalnya di pulau Mansinam,
dari sanalah Misionaris pertama bermula, dan kini Mansinam menjadi pulau situs
penyebaran Injil. Melihat sejarah perkembangan Kristen di Papua, juga bisa
lihat dari pulau Roon. Di pulau yang dihuni oleh suku Kuruwamesa ini, dijumpai
kuburan guru-guru Pengabar Injil dan pendeta-pendeta pribumi. Kompleks-kompleks
gereja juga tersebar di pulau ini.
Kristen konservatif menolak
waria. Waria menyalahi kodrat manusia, Alkitab dan ajaran serta doktrin agama. Ini tidak hanya berlaku di Kristen,
tapi juga agama-agama lain. Yulianus Retlobaut atau Mami Yuli, seorang waria
dari Asmat -kini ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia- mengalami itu. Yulianus
remaja seperti hidup dalam sangkar. Ia menjalani hari-hari remaja di asrama
katolik. Pengelola sekolah dan asrama yang ia diami itu adalah para biarawati
dan pastur dari Belanda. Mereka sangat konservatif. Yulianus yang pada usia 12
tahun sudah mengetahui orientasi seksualnya berbeda dengan kawan laki-laki
seusianya yang lain, hanya bisa diam dalam kegelisahan diri.
Papua juga erat dengan
maskulinitas. Baik dalam identitas maupun relasi gender. Sehingga eksistensi
waria di Papua barangkali dipandang mencemarkan identitas Tanah mereka.
Orang tua Yulianus di Papua
menghukum dia dengan menghentikan biaya kuliahnya di Jakarta, saat mereka tahu
jati diri anaknya. Mereka sangat terpukul, marah, dan tidak mau menerima
Yulianus lagi di Papua.
Pandangan Kristen konservatif itu
tak ubahnya dengan pandangan kelompok Islam garis keras, Front Pembela Islam
atau FPI misalnya. Bedanya, selain dengan ujaran-ujaran kebencian FPI juga
lekat dengan budaya kekerasan dalam gerilyanya.
“Tapi saya sudah tahu juga bagaimana rasanya
dikejar-kejar FPI. Saya pernah. Waktu ikut kontes Waria Berbudaya tahun 2012 di
Banten, saya mewakili Sorong. Sedang melenggok di atas panggung...eeeh, lari
semua dikejar FPI”, cerita Sonny dengan mimik serius diiringi tawa
berderai.
Sonny remaja adalah Sonny,
lakil-laki yang punya cerita cinta monyet, cinta pada pandangan pertama pada
perempuan yang menarik hatinya, juga patah hati. Perjuangan hidupnya cukup
keras.
“Sebenarnya masa kecil saya suram....”,
katanya.
Sonny kecil jarang jumpa atau berkumpul
dengan Bapanya. Bapanya berbulan-bulan berlayar di lautan lepas Papua. Ia
bekerja pada sebuah perusahaan di kapal udang. Mama Sonny berperan ganda bagi
anak-anaknya, menjadi Ibu sekaligus Bapa. Sonny yang sangat dekat dengan
mamanya merasa terpanggil untuk meringankan bebannya. Lantas Sonny remaja
membantu mamanya mencari uang dengan bekerja menjadi Pekerja Rumah Tangga. Pada
2003, mamanya meninggal. Sonny sangat terpukul dan kehilangan orang terdekatnya
itu. Bapaknya menikah lagi. Kini selain memiliki lima saudara kandung, Sonny
juga punya satu saudara tiri.
Pada 2003, Sonny mulai kuliah di
Universitas Al-Amin, sebuah Yayasan Perguruan Tinggi Muslim di Sorong. Ia
memilih Fakultas Hukum. Tapi di semester tiga ia memutuskan untuk berhenti dan
keluar kampus. Sonny sempat menerapkan ilmu hukumnya dengan bekerja sebagai
staf legal pada bagian hukum dan pertanahan di PT. Pertamina Kota Sorong. Hanya
sebentar.
Sonny mulai gelisah. Jiwanya
mengembara. Ia kerap berselisih dengan keluarganya. Ketika itu ia mulai sering
berkunjung ke Salon Rudy, sebuah salon kecantikan di kota Sorong. Di sana ia
menemukan kebebasan. Keluarga Sonny pada mulanya menolak perubahan-perubahan
jati diri Sonny. Apalagi saat ia tahu orientasi seksual dia lebih dominan pada
laki-laki.
Menjadi minoritas, atau memilih
dan atau memiliki identitas yang berbeda dari yang mayoritas harus siap dengan
penolakan. Penolakan biasanya datang dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga.
Kadang, penolakan juga datang dari orang-orang yang jauh, yang tidak ada ikatan
kekerabatan, yang telah lama hilang dan tidak berinteraksi, lalu tiba-tiba
muncul untuk menolak dengan ceramah keagamannya yang panjang. Penuh nasehat dan
anjuran “kembali ke jalan yang benar”, karena yang minoritas dianggap dan
distigma sesat.
Sonny yang berhati lembut, peka
terhadap situasi itu, juga pernah menuruti anjuran “kembali ke jalan yang
benar”. Ia berpacaran serius dengan perempuan. Tak tanggung-tanggung, seorang
pendeta yang usianya jauh lebih tua darinya. Namun, saat Sonny mengutarakan
keinginan untuk menikahinya, Bapa Sonny dan keluarga justru menolak.
Keluar dari Pertamina, Sonny
memulai usaha salon keliling. Apa yang ia lihat di salon Rudy menginspirasi
dia. Modalnya sekitar satu juta rupiah.
Sudah termasuk untuk menyewa ojek setiap hari buat berkeliling dari rumah ke
rumah menawarkan jasa kecantikan. Lalu seorang pelanggannya berbaik hati
menawari ia kredit motor. Bermodal keberanian dan keyakinan, Sonny mengkredit
motor itu dari hasil salonnya. Usaha salon keliling yang ia jalani juga tak
lepas dari hambatan, salah satunya tidak efektif, ribet. Di tahun ketiga, salon
kelilingnya berhenti, berganti ke salon permanen di rumah orang tua Sonny. Kali
ini ia bermodal tujuh juta. Seiring berjalannya salon itu, ia merekrut dua
orang staf. Dua-duanya waria. Sonny sendiri yang mentoring mereka di permulaan
mereka bekerja. Dari usahanya itu, Sonny membiayai kuliah dan sekolah dua orang
adiknya.
“Puji Tuhan, saya punya klien ada terus.
Sesekali juga diundang pejabat untuk merias”, katanya.
Di salon pula, Sonny merasa bebas
berekspresi, berkreasi sesuai kata hati dan jiwanya. Ia bebas mengubah-ubah
rambutnya. Kadang lurus panjang. Kadang keriting pendek. Kadang berwarna ungu,
kadang kemerahan. Pada suatu waktu dan tempat, Sonny berdandan rapi dan tampan.
Namun pada waktu dan tempat yang lain ia juga bisa tampil feminin, bersolek,
dan cantik. Sonny berfikir sederhana, ia ingin bebas fleksibel menyesuaikan
sekelilingnya. Dengan begitu ia dan komunitasnya akan lebih mudah diterima.
“Yang penting saya tidak merugikan orang
lain toh? Sebenarnya saya mau dandan seperti apa juga itu urusan saya. Tapi
saya berusaha fleksibel. Saya menjaga nama baik komunitas saya, biar mereka nie
tidak direndahkan orang. Mereka nie juga sama-sama manusia juga toh?!”,
katanya pada suatu kali di akhir 2016.
Sejak mendirikan salon itu, Sonny
bergabung dengan Tiara Kusuma, sebuah organisasi lokal jejaring pengusaha salon
di Kota Sorong. Ia menjadi anggota di bagian seni budaya Tiara Kusuma.
Pada 2010, Sonny dan seorang
kawannya, Shinta, diundang ke Bogor Jawa Barat. Mereka mengikuti acara FKWI
mewakili Papua Barat. Sepulang dari pertemuan Forum Komunikasi Waria Indonesia
itu, Sonny dan Shinta mendirikan FKW Sorong, sebagai mandat dari hasil
pertemuan di Bogor. Sonny mulai gencar menggerakan komunitasnya. Ia memulai
perubahan dari dirinya sendiri, dari keluarganya sendiri. Sonny menjadikan
keluarga sebagai tempat mulainya kaki melangkah. Keluarga baginya segalanya. Ia
berbuat dari keluarga kembali untuk keluarga. Dengan sabar, dengan caranya
sendiri, ia memberikan pemahaman tentang waria dengan ODHA. Ia menjelaskan secara
detail tentang seluk beluk Aids kepada anggota keluarganya. Sonny menunjukkan
semangat hidup yang tinggi, pola hidup yang baik dan sehat, serta tangan yang
ringan dan selalu terbuka.
Perlahan Sonny menularkan caranya
itu kepada kawan-kawannya di komunitas. Kini, komunitas yang digerakkan Sonny
berjumlah sekitar 100 orang lebih waria. Namun yang aktif hanya sekitar 56 orang.
Yang tidak aktif adalah mereka yang masih “bersembunyi”, yaitu mereka yang
masih distigma, ditolak, dan dipaksa mengingkari jati diri. 100 orang itu
rata-rata berusia di bawah 35 tahunan. Kebanyakan dari mereka adalah Amber. Istilah atau sebutan bagi pendatang
di Papua. Sebagian lainnya berdarah campuran, dan OAP (Orang Asli Papua). Jika
di antara mereka beragama non Kristen, maka sempurnalah ia sebagai minoritas:
Waria dengan ODHA, amber, dan non
Kristen.
Pada 2014 dan 2016 FKW Sorong
intens menyelenggarakan event seni dan budaya bagi waria. Seperti lomba Miss
waria, puteri pantai waria, dan tarian sexy
dancer. Namun mereka belum mendapat ruang untuk ekspresi seni budaya Papua.
Sonny sangat iri dengan
keberadaan waria di Thailand. Di Thailand, waria dihargai masyarakat dan diakui
negara. Mereka memiliki hak-hak asasi yang sama dengan warga negara berjenis
kelamin lainnya. Mereka bebas berekspresi dan mendapat ruang penuh dalam
berkesenian dan budaya, juga pekerjaan. Di Thailand terdapat sejarah adat, budaya,
dan ajaran keyakinan yang mengakui waria sebagai gender. Selain perempuan dan
pria, masyarakat Thailand mempercayai adanya gender waria, atau di sana disebut
dengan sebutan “Kathoey”. Selain itu juga terdapat hermaprodith dan kasim. Sementara pada masyarakat dan negara
Indonesia, waria dianggap sebagai sebuah penyakit kelainan atau gangguan jiwa.
Sebagai manusia mereka sub-ordinat. Apalagi waria dengan ODHA.
Orang dengan HIV Aids, bukan
orang jahat berbahaya yang harus dihindari. Sayangnya, kekerasan terhadap
mereka hingga kini masih terjadi. Stigma buruk pada mereka masih saja ada; bahwa
mereka orang yang hidup penuh dosa, bahwa berinteraksi dengan ODHA akan
tertular, bahwa aids adalah kutukan, dan seterusnya. Stigma itu mendatangkan
perlakuan diskriminasi terhadap mereka dalam banyak bidang. Di Sorong, Sonny
menjumpai diskriminasi itu dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga,
masyarakat, hingga ruang-ruang dan pelayanan publik seperti rumah sakit.
“Waria dengan ODHA khususnya, masih sangat didiskriminasi
dalam mendapatkan akses kesehatan, juga perolehan obat”, katanya.
Sonny menjumpai temuan sementara
dalam risetnya, bahwa terdapat ketakutan-ketakutan luar biasa dari para waria
dengan ODHA yang menjadi respondennya, terhadap stigma. Para responden itu juga
melakukan berbagai upaya ekstrim untuk melindungi diri mereka dari stigma.
Stigma menjadi sangat menakutkan bagi mereka ketika status ODHA mereka
disiarkan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan petugas kesehatan.
Misalnya seorang pemimpin gereja yang mengumumkan status ODHA seorang waria di
depaan jemaat. Atau petugas kesehatan yang mengungkapkan status mereka ke
masyarakat luas. Tapi dua hal itu nyatanya terjadi di sana. Stigma akan
merembet pada perlakuan diskriminasi, termasuk diskriminasi dalam akses
pelayanan obat.
Pada Maret 2017, Sonny terpilih
menjadi staf paralegal di Koalisi Penanggulangan Aids (KPA) Sorong. Pendidikan
HAM yang ia ikuti di ELSAM telah meyakinkan KPA untuk memilihnya. Tanggungjawab
utama paralegal KPA adalah mendampingi dan memberikan pelayanan pada komunitas
yang terdiskriminasi dalam mengakses layanan kesehatan.
Dari data KPA Sorong yang
disampaikan Sonny, pada 2016 di Kota Sorong terdapat sekitar 1841 ODHA. Dan
baru sekitar 441 ODHA yang mendapatkan layanan kesehatan rutin. Sisanya? Sulit
akses, sebagian lainnya masih menutup diri lagi-lagi karena stigma.
ADRA Indonesia di Sorong, sebuah
organisasi nirlaba nasional yang melakukan riset indeks stigma dan diskriminasi
pada 2016 hingga sekarang, menemukan temuan sementaranya bahwa stigma dan
diskriminasi di Sorong banyak ditemukan dan dimulai dari internal, yaitu
internal diri sendiri dan keluarga.
Hal itu dialami sendiri oleh
Sonny. Sejak di bangku Sekolah Dasar Sonny sudah merasa jiwanya lebih dominan
perempuan. Sejak SD itu pula ia mulai menerima kekerasan verbal dan fisik serta
stigma.
“Perkataan kasar, dimaki, dilecehkan, saya
pernah alami itu semua sejak SD. Lama-lama jadi terbiasa dengan perlakuan itu”,
katanya
Salah satu kakak laki-laki Sonny
sangat kesal, dan bereaksi keras terhadap perilaku Sonny. Di saat Sonny SMP,
bahkan kakaknya sampai hati sering kasih pukul Sonny ketika mendapati dia
bergaul dengan para waria.
Melalui wadah-wadah dan jejaring
yang dimiliki Sonny, Sonny ingin mengikis stigma dan diskriminasi pada waria
dengan ODHA khususnya di Sorong. Ia berharap perubahan itu dapat dimulai dari
diri mereka sendiri, para waria dengan ODHA.
“Mereka harus semangat. Mengubah diri,
terpanggil untuk bergerak. Kalau untuk diri sendiri saja susah, ya bagaimana
mereka mau berbuat untuk orang lain, untuk komunitas”, kata Sonny.
Menunggu perhatian dan kehadiran
negara, rasanya seperti pungguk merindukan bulan. Hak-hak minoritas waria belum
terjamin secara spesifik dalam perangkat hukum nasional yang menempatkan mereka
kedalam kelompok rentan. Justru sejumlah peraturan nasional dan regional di
Indonesia berpotensi menjadi alat pelanggaran terhadap mereka. Undang-undang Administrasi
Kependudukan, UU Pornografi, UU Perkawinan adalah contoh regulasi diskriminatif
terhadap waria. Kelahiran Prinsip-prinsip Yogyakarta atau The Yogyakarta Principles pada 2006 menjadi secercah harapan bagi
kelompok ini. Klausul yang terdiri dari 15 prinsip HAM kelompok LGBT itu
menempatkan International Covenant on
Civil and Political Rights sebagai landasannya. Dan prinsip ini menjadi
acuan bangsa-bangsa juga pelapor khusus PBB dalam membuat laporan situasi Hak
Asasi LGBT.
Sebagai pemeluk Protestan yang
rajin ke gereja dan berkomunikasi dengan Tuhannya, Sonny berprinsip bagaimana
ia bisa bermanfaat buat sebanyak-banyaknya orang. Pahit manisnya pengalaman
hidup yang ia alami menjadikan dia sangat mencintai dan menghargai hidup dan
kehidupan. Baginya, ia masih diberi hidup, berarti masih diberi kesempatan
menjalankan misi kehidupan. Seperti bunga Sakura yang hanya tumbuh di Jepang
dan berbunga di bulan April, meskipun di tempat dan waktu yang terbatas, tapi
sekali ada ia berguna dan dirasakan keberadaannya oleh orang-orang di
sekeliling, serta menginspirasi bagi yang jauh. Begitu juga Sonny, yang telah
memilih nama warianya: SAKURA. Dan telah mengilhami nama salon kecantikan
miliknya di Sorong: ZACKURA SALON.
Foto: Doc.Diany