Kamis, 15 Desember 2011








PANORAMA DAN VEGETASI DI PUNGGUNGAN GUNUNG SALAK - 2
Gambar 1 : Kawah Ratu
Gambar 2 : Sumber Air di jalur pendakian menuju kawah Ratu
Gambar 3 : Bunga Tapak Dara berwarna pink keunguan
Gambar 4 : Tanaman Pegagan
Gambar 5 : Bunga Kecubung Putih
Foto-foto diambil oleh Adiani Viviana pada Sabtu-Minggu, 19-20 November 2011

Kawah Ratu merupakan kawah aktif yang selalu mengepulkan uap panas dan mengeluarkan bau khas belerang. Kawah Ratu terletak pada ketinggian 1.338 meter diatas permukaan laut. Kawah ini terletak di lereng Gunung Salak. Secara administratif, Gunung Salak masuk ke dalam wilayah Sukabumi dan kabupaten Bogor, Jawa Barat. Mata air di hutan Gunung Salak sangat berlimpah. Sehingga vegetasi hutannya cukup berfariasi. Bunga Tapak Dara, tanaman pegagan, banyak dijumpai di kaki Gunung Salak. Kedua tanaman itu memang hidup di daerah lembab atau berair. Baik Tapak Dara maupun Pegagan merupakan tanaman obat. Tapak Dara dapat menjadi obat kanker, sedangkan Pegagan dapat menjadi obat luka luar.







Panorama dan Vegetasi di Kaki Gunung Salak
Foto-foto diambil oleh Adiani Viviana pada Sabtu, 19 November 2011
ICJR, WCSC University of Berkeley dan Elsam Melakukan Upaya Pengintegrasian Nilai-nilai HAM di Wilayah Rentan Konflik ke Dalam Kurikulum Pendidikan Aparat Penegak Hukum


Jakarta - Dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini, ICJR (institute for Criminal Justice Reform) bersama Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) serta WCSC University of Berkeley (Wolrd Crime Studies Center) mengimplementasikan program Peningkatan Kapasitas Penegak Hukum dan Pengarusutamaan HAM di Wilayah Rentan Konflik, dalam konteks in program dilaksanakan di Papua. Ketiga organisasi ini bekerjasama dengan Mahkamah Agung dan dengan dukungan US Federal, telah mengimplementasikan beberapa kegiatan dalam mencapai tujuan-tujuan program tersebut.

Pada Selasa, 22 November 2011 bertempat di Hotel Ibis Tamarin Jakarta, ketiganya melaksanakan FGD (Focus Group Discussion) dengan mengambil tema Pengintegrasian Nilai-nilai HAM dalam Kurikulum Pendidikan Aparat Penegak Hukum di Wilayah Rentan Konflik. Selain untuk memperkenalkan modul HAM yang telah disusun oleh tim Penyusun Modul dari ICJR, WCSC dan Elsam, FGD juga bertujuan untuk mengetahui kurikulum HAM yang dimiliki oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan di masing-masing institusi penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, Ditjen PAS dan Mahkamah Agung. Sehingga ketiga lembaga penyelenggara dapat membuat pemetaan seberapa jauh kira-kira nilai-nilai dan standar-standar HAM di wilayah rentan konflik dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan masing-masing lembaga tersebut.

“Kegiatan dan upaya ini ditempuh oleh ICJR, WCSC dan Elsam, karena kami telah rampung melaksanakan beberapa tahap pelatihan HAM bagi Aparat Penegak Hukum di Tanah Papua. Pelatihan diawali dari tahap Pelatihan Dasar Satu dan diakhiri dengan pelatihan tahap Pelatihan Untuk Pelatih Tahap Tiga. Dalam tiap-tiap tahap tersebut, Tim menyusun sebuah Modul HAM di wilayah rentan konflik sebagai panduan pelatihan”, papar Adiani Viviana, Sekretaris Eksekutif ICJR dalam sambutannya. “Hari ini, di tempat lain, di Hotel Aryadutha Jakarta, juga sedang dilaksanakan Pelatihan tahap terakhir, yaitu TOT Tahap tiga”, sambungnya.

Sejak awal program ini dirancang, ICJR, WCSC dan Elsam telah berusaha mengumpulkan pendapat dari para stakeholder yang tergabung dalam Dewan Penasehat Program. Hal tersebut disampaikan oleh Aviva Nababan, Pimpinan Program, dalam pengantarnya di diskusi tersebut. Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh modul-modul yang telah disusun oleh tiga lemabaga tersebut adalah bahwa konteks HAM di dalamnya bukan hanya tentang hak moral tetapi juga hak konstitusional. “ Pada modul-modul HAM lain, modul diawali dengan instrument HAM internasional. Namun pada modul ini dimulai dengan instrumen nasional, konstitusi”, hal itu disampaikan oleh Rinno Arna, fasilitator dalam FGD yang juga telah berpengalaman dalam penyusunan Modul HAM khususnya HAM pada kurikulum pendidikan Kepolisian.

”Secara metodologis, modul menggunakan pendekatan reflektif, karena dimulai dengan pengalaman yang sudah bertahun-tahun dilakukan oleh penegak hukum. Hanya, selama ini mereka belum bisa menandai proses itu sebagai langkah HAM sesuai dengan konstitusi”, lanjut Rinno dalam mengawali memfasilitasi diskusi tersebut.

Hadir dalam FGD, perwakilan dari empat badan pendidikan dan latihan institusi penegak hukum, Kurnia Yani Darmono mewakili Mahkamah Agung, Andi Wijaya Rifa’i mewakili Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Syafruddin mewakili Lembaga Pendidikan Polri, dan Rakhmat Budiman Taufani mewakili Kejaksaan Agung. Dalam FGD ini, Tim Penyusun Modul diwakili oleh Roichatul Aswidah, D. Andi Nur Aziz dan Ikhana Indah. Tim memaparkan garis besar yang telah mereka susun dalam masing-masing modul.

Prinsip-prinsip HAM, sejatinya telah masuk dalam kurikulum pendidikan bagi para hakim maupun calon hakim. Menurut Kurnia Yani Darmono, prinsip HAM yang telah masuk ada dua yaitu Pendidikan HAM mengenai sejarah instrumen HAM, dan bagaimana prinsip dasar HAM internasional disepadankan dengan prinsip hukum nasional. ”Dengan kata lain, penegakkan HAM dalam sistem peradilan yang layak”, tambahnya. Sementara itu, di institusi pendidikan dan pelatihan Kejaksaan, HAM juga menjadi salah satu mata kuliah wawasan. Hal itu disampaikan oleh Rakhmat Budiman Taufani. Menurutnya, HAM khususnya bagi aparat penegak hukum, sangat diperlukan bagi institusi kejaksaan, bukan saja yang bertugas di Papua. Andi Wijaya Rifa’i dari Ditjen PAS juga menginformasikan, bahwa mata kuliah khusus tentang HAM telah diajarkan di Akademi Pemasyarakatan. Namun begitu, pemahaman tentang HAM, masih sangat diperlukan bagi para Widiyaswara (pengajar) di badan pendidikannya tersebut. Sedangkan di pendidikan kepolisian, HAM telah menjadi mata ajar tersendiri. Dalam diskusi tersebut, Syafruddin, memberikan masukan terkait program yang dilaksanakan oleh tiga lembaga ini, yaitu agar dalam pelaksanaan pelatihan, khususnya TOT, peserta yang direkrut adalah benar-benar petugas lapangan, sehingga mampu mengerti dan menghayati HAM secara mendalam.

Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih empat jam itu sangat menarik, dan penting menjadi catatan bersama. Karenanya, ICJR, WCSC dan Elsam, akan mengupayakan langkah yang lebih jauh untuk dapat mengintegrasikan modul HAM bagi aparat penegak hukum di wilayah rentan konflik, yang telah mereka susun. Rencana Tindak Lanjut dari diskusi ini adalah, akan dilaksanakan forum yang membahas pemetaan dari modul/kurikulum yang dimiliki masing-masing institusi penegak hukum dengan modul tim ICJR, WCSC dan Elsam. (Diani)
Blok Komodo, Cendana, dan Melati ; “Arena Bermain” bagi Anak Kupang yang Berhadapan dengan Hukum

KUPANG – Dalam daur hidup manusia, jika masa remaja seringkali dikatakan sebagai masa-masa yang indah dan tak akan terlupakan, maka masa sebelumnya, yaitu masa kanak-kanak, merupakan masa yang paling menyenangkan. Masa dimana seseorang bebas bermain dan belajar mengenali segala sesuatu yang ada di sekeliling. Tanpa beban. Pada fase itu, anak-anak merupakan individu dengan kelabilan psikologi, belum mandiri, dan mudah terpengaruh oleh lingkungan.

Kehidupan dimana anak-anak menjalani hari-harinya, sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Penjara maupun tahanan, tentu merupakan tempat yang tidak diinginkan baik oleh orang tua maupun anak-anak untuk menjalani hari-harinya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa sejak Januari hingga Agustus 2010, dari 1100 pengaduan masyarakat, 130 (11%) diantaranya adalah pengaduan tentang Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Sementara, KPAI mencatat, Indonesia hanya memiliki 16 unit Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak dari 33 Propinsi yang ada.

Satu dari 16 unit tersebut adalah Lapas Anak Klas IIA Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Yohannes Seo dan Palce Amalo, Peneliti ICJR di Kupang, menuliskan hasil observasinya terhadap Lapas Anak Klas IIA Kupang tersebut dalam sebuah ”Laporan Awal Observasi Wilayah Kupang” terkait dengan riset Komprehensif Kebijakan Penahanan dan Pra-Peradilan di Indonesia, yang sedang dilaksanakan oleh ICJR.

Menurut data yang dihimpun oleh Yohanes dan Palce, Lapas Anak klas IIA Kupang didirikan pada tahun 1997. Didalam bangunan tersebut, terdapat sebuah sekolah formal, setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sekolah tersebut merupakan titipan dari SMP Negeri 11 Kupang. Tercatat sebanyak 25 siswa mengikuti kelas belajar tersebut. Tenaga pendidik adalah guru-guru dari SMP N 11 Kupang dan dibantu oleh petugas Lapas Anak. Gedung tersebut juga dilengkapi dengan sebuah lapangan voli sebagai sarana olahraga.

Palce Amalo pada presentasinya dalam FGD Konsultasi Publik Kota Kupang – “Riset Komprehensif Kebijakan Penahanan dan Pra-Peradilan di Indonesia” yang dilaksanakan oleh ICJR pada Selasa, 25 Oktober 2011 di Hotel T-More Kupang, menyampaikan bahwa Lapas Anak Klas IIA Kupang menampung 58 narapidana dan satu tahanan yang masih dalam proses peradilan di Pengadilan Negeri Kupang. Sebanyak 41 orang anak terlibat kasus asusila, 4 orang anak terlibat kasus penganiayaan, 3 orang anak terlibat dengan kasus ketertiban, 2 orang anak terlibat kasus kealphaan dan 8 orang anak terlibat kasus pencurian.

AKP. Yudhabaskoro, Kasat reskrim Polresta Kupang, dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa terhadap perkara-perkara anak yang masuk ke Polresta Kupang, hanya dikenakan wajib lapor, terhadapnya dilakukan pembinaan saja. Namun, terhadap perkara-perkara anak yang menarik perhatian masyarakat tetap dilakukan penahanan. Penahanan sendiri menurut Kasatreskrim Kupang pada kasus-kasus tertentu, seperti pengrusakan dan penganiayaan, biasanya dilakukan penahanan untuk melindungi tersangka dari aksi balas dendam. Disamping itu, aparat juga mendengarkan masukan dari masayarakat, terkadang ada permintaan dari tokoh masayarakat atau tokoh agama agar dilakukan penahanan terhadap seseorang tersangka. Conny Sahetapy, Jaksa dari Kejaksaan Negeri Kupang menyambung, bahwa untuk melakukan penahanan, institusi Kejaksaan mengacu pada KUHAP, jika penyidik sudah menahan, maka Kejaksaan akan melanjutkan penahanannya.

Sementara itu, Ahmad Lakoni Harnie, Hakim dari Pengadilan Negeri Kupang menyampaikan, bahwa untuk melakukan penahanan, Pengadilan melihat situasi dan kondisi seseorang yang ditahan. Misalnya terhadap seorang ibu yang memiliki balita, maka sangat mungkin ditangguhkan atau dialihkan tahanannya menjadi tahanan rumah. Contoh lain, terhadap anak yang melakukan pidana ringan sementara di lain sisi ia akan melaksanakan ujian sekolah, maka dengan kondisi tersebut Pengadilan akan mengeluarkan penetapan tentang pengalihan dan penangguhan penahanan.

Menyinggung tentang akses bantuan hukum, menurut Ali Antonius, Advokat yang juga mantan dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, hak atas bantuan hukum di kota Kupang relatif terpenuhi terutama bagi mereka yang ancaman pidananya diatas lima tahun. Namun begitu, di daerah-daerah terpencil hak masyarakat akan bantuan hukum belum terpenuhi. Hal itu disebabkan, advokat-advokat di NTT terpusat berada di kota-kota kabupaten saja. Ahmad Lakoni Harni menambahkan, sebenarnya, anggaran di Pengadilan untuk alokasi bantuan hukum berlebih. Untuk perkara-perkara anak juga sudah tersedia anggarannya, namun tidak sedikit dari mereka (Terdakwa Anak-red) yang menolak tawaran bantuan hukum tersebut. Sementara itu, Ester Mantaon dari Rumah Perempuan menyampaikan perihal pentingnya pendampingan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Bimbingan rohani, asupan gizi dan pergaulan dalam tahanan adalah tiga hal penting yang harus diperhatikan.

Simon Nili, Pemimpin Redaksi Timor Expres sekaligus aktivis Aliansi Jurnalis Independen Kupang menambahkan, tentang penempatan tahanan anak dalam blok tahanan juga harus diperhatikan dari segi pengelompokan usia. Anak yang sudah lama tinggal di penjara hingga usianya bertambah menjadi dewasa atau bukan anak-anak lagi mestinya dipindah ke Lapas Dewasa. Hal tersebut berdasarkan pengamatan dan pengalaman Simon dalam memberikan materi belajar menulis pada Lapas Anak Kupang. Yohanes Seo mencatat, Lapas Anak Klas IIA Kupang terdiri dari tiga blok, yaitu Blok Komodo, Cendana dan Melati yang memiliki kapasitas 120 orang. Dengan jumlah tersebut, maka anak-anak yang berhadapan dengan hukum itu memiliki ”arena bermain” yang leluasa. Tidak terjadi over kapasitas. Namun demikian, bukan tak mungkin over kapasitas tidak terjadi, menurut keterangan AKP. Yudhabaskoro, tiap tahunnya perkara anak di Kupang meningkat khususnya untuk kasus pencabulan dengan korban dan tersangka yang masih anak-anak. Ahmad Lakoni Harnie juga mengamini pernyataan tersebut.

(diani

Rabu, 09 November 2011

"Pohon Kersen tidak bisa menjulang tinggi.kayunya juga lunak.Rapuh.Tapi lihatlah, daunnya begitu rindang dan teduh, melebihi rindangnya Beringin dan teduhnya pohon Bunga Sepatu.memberikan kesejukan dan keasrian bagi tiap yang berteduh dan memandang.bukan untuk dirinya semata".

karena keindahan tak harus mewah. dan kesederhanaan adalah keindahan itu sendiri

Melihatnya hati terasa tentram.wajahnya seteduh pohon bunga sepatu.

Aku mndengar suara orang memecah batu.

hutan yg basah diguyur hujan pagi tadi,terlihat begitu eksotis dan seksi.

Tidakkah kau malu pada kodok-kodok itu.Dengarlah,mereka Riang.Merayakan Hujan.

Jika dengan berkidung bisa membuatmu merasa tentram dan riang.aku akan berkidung hingga fajar.meski hanya kidungmu sendirilah yg dapat menuntunmu k gubuk sunyi.

Kurir manakah gerangan yang singgah senja tadi.hingga membuatmu begitu riuh d gubukmu sendiri.

apa artinya jubah (kebesaran) hitam dan dasi putihmu, jika terlepas dari derita si miskin, jika terlepas dari jeritan yang ditindas......

seorang ibu memiliki kedekatan dan kasih sayang lebih terhadap anaknya

Selasa, 01 November 2011





Jatah Makan Napi Hanya Rp 8.000/Hari

POS KUPANG/NOVEMY LEO

DISKUSI TERBATAS -- Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), peneliti, dan peserta melakukan diskusi terbatas mengenai hasil riset komprehensif kebijakan penahanan dan praperadilan di Indonesia, di Hotel T-More, Kupang, Selasa (25/10/2011).
Kamis, 27 Oktober 2011 | 00:29 WITA

POS-KUPANG.COM, KUPANG -- Jatah makan para narapidana dan tahanan di Lembaga Permasyarakatan (LP) Penfui Kupang hanya dua kali sehari dengan nilai Rp 8.000.
Demikian terungkap dalam diskusi Riset Komprehensif Kebijakan Penahanan dan Praperadilan di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) bekerja sama dengan Open Society Foundation.

Diskusi yang sama juga digelar di Kota Medan, Pontianak, Makassar dan Jakarta. Hasil penelitian dan diskusi ini akan menjadi bahan masukan bagi pemerintah dan DPR untuk pembahasan rancangan KUHAP.
Kepala Lapas Dewasa IA Kupang, Azwar Bc. IP, SH, MM, melalui Demetrius AD Goku, menjelaskan, setiap tahun pihaknya mendapatkan dana DIPA sebesar Rp 2 miliar untuk pembiayaan Lapas, termasuk penyediaan makanan untuk para napi dan tahanan.


“Satu hari tahanan dan napi makan dua kali dengan dana Rp 8.000 per orang per dua kali makan. Dengan jatah 500 orang sesuai kapasitas LP. Berapa pun jumlah orang, dananya dicukup-cukupkan saja,” kata Gako.


Jika ada kelebihan tahanan dan napi, maka uang yang ada akan dicukup-cukupkan agar bisa membiayai makan minum mereka. Saat ini jumlah napi dan tahanan di LP sebanyak 604 oarang, terdiri dari 163 tahanan dan 441 napi. Penahanan napi dan tahanan dilakukan terpisah, begitu pun untuk laki-laki dan perempuan.
Masalah yang sering dihadapi LP terkait penahanan, bahwa eksekutor sering terlambat memberikan surat pemberitahuan pembebasan terhadap napi yang perkaranya sudah diputus pengadilan.


A Lakomi Harnie dari PN Kupang mengatakan, penangguhan penahanan diberikan dengan mempertimbangkan kasus atau perkara itu, apakah laporan pengaduan atau tertangkap tangan. Berapa ancaman pidananya, status tersangka, ada jaminan orang atau uang.


Mengenai hakim komisaris untuk praperadilan, Lakomi agak keberatan. Menurutnya, dalam sehari hakim sudah menangani begitu banyak perkara pidana, perdata dan tilang.
“Kalau harus ada hakim komisaris lagi, ini tugas berat. Amandeman saja praperadilan,” kata Lakomi.


Lakomi juga menilai praperadilan sering dijadikan alat oleh tersangka untuk menekan polisi agar kasus yang ditangani bisa ditutup. Selain itu, penahanan terhadap tersangka juga diskriminatif. “Pejabat seperti anggota Dewan, pejabat publik tidak ditahan di tingkat polisi dan jaksa,” kata Lakomi.
Pembicara dari pihak kejaksaan, Cony Sahetapy, yang mewakili Kajari Kupang, dan L Tedjo Sumarno, mewakili Kajati NTT, mengatakan, kejaksaan tidak punya sel untuk tahanan.

Hal ini terjadi karena mereka tidak punya alokasi dana untuk menjaga tahanan, termasuk memberikan makan minum. Karena itu, tahanan langsung dititipkan di Rutan/Lapas.
Kasat Reskrim Polres Kupang Kota, AKP Yudha Baskoro, memastikan, jika ada kelebihan tahanan di sel Polres, maka tahanan akan dipindahkan ke Rutan/Lapas Penfui Kupang.


Anggara Wahyudi dari ICJR dan Polce Mola selaku peneliti menjelaskan, penelitian dilakukan sejak tahun 2008 hingga 2010. Dalam penelitian, ditemukan masih ada hak-hak tersangka atau terdakwa terkait proses penahanan yang belum terpenuhi. Seperti hak untuk mendapatkan tempat yang nyaman dalam tahanan, baik di sel polisi, rutan/lapas maupun makan minum. Dari sekitar 4.642 kasus, hanya ada belasan kasus praperadilan yang ditangani PN Kupang.
Editor : Bildad Lelan »» Penulis : NOVEMY LEO »» Sumber : POS KUPANG CETAK

Jumat, 28 Oktober 2011

angin pagi mengetuk jendelaku.membuatku terbangun lebih pagi dari biasanya."bangunlah, surat-surat berserakan, menghampar d kebun bungamu"

Semalam terlalu larut dan penat buatku untuk menyapamu tanaman tanamanku. Tapi seperti akar yg tak pernah menuntut budi pada daun dan batang, subuh tadi kudengar tasbih dan senandung syahdumu menyeruak untuku.

sore berkabut tipis. langit putih kelabu membentang menggantung rendah. aku termenung menatap pohon pohon pinus yg berdiri tegak menjulang kedinginan.

setengah berbisik ia berkata, "lihat, tuhan lebih mencintai semarak taman bunga buatan manusia ini, dibandingkan hutan belantaranya sendiri", hujan terus mengucur.

Hujan semalam telah menghidupkannya lg. Pagi ini kulihat di diladangnya, bulir bulir hujan menjelma ratusan kata.

Pohon saga tua,desau air danau, dan udara yg brgerak melintas danau, brjanjilah,mulai pagi yg sepoi ini aku bisa brnyanyi brsamamu.atau stidaknya "tinggalkan jejak-2 kakimu dlm kata-kataku-rt"

Menyusuri danau, memunguti biji saga. Angin kencang danau menggugurkan biji-2 saga. Siapa gerangan penanam pertama pohon ini?

"Kau bukan lg cahaya, yg dg sinarnya dpt menyilaukan. Kelicikan fikir dan ketakbeningan hatimu telah meniup sumbu cahayamu"

"aku merasakan bahagia yg membumbung tinggi.Mungkin ini yg disebut xtc.Aku begitu dekat dg langit,tapi masih menginjak bumi" (98-04)

mataku blm berbinar,pagiku blm lengkap,sebelum menatap lekat dan menyapa bunga-2 dan tanaman d kebunku

Hanya ucapan selamat datang, yg diberikan hamparan lumut pada dedaun tua yg berguguran. Tapi dengan sukarela,daun-2 tua itu menyerahkan dirinya menyatu membusuk untuk kesuburan lumut.

mother said ; "rindu yang kebathin selalu menyisakan air mata...."

Tak Bisa Aku Mengabaikanmu (Ternyata).Karena Kau Telah Mnjadi Kebutuhanku

Tenanglah,aku tak akan menghapus jejakmu seluruhnya.Lihat,lukisan-2mu masih terpajang di beberapa sudut dinding (hati).

Rinduku tak terbendung untuk menikmati suasana pagi ditengah-2 RimbaRaya ;menghirup dalam-dalam wangi dedaunan setelah brmandikan embun,aroma daun uzur yg menyatu dg tanah,meneguk secangkir sinar harapan yg mengucur dari kendi sanresss

Sejak dulu, kini, nanti, aku menyukai dan mensyukuri Rabu

Jangan salahkan Kamis jika Rabu begitu cepat berlalu.

Tadi strowbery ini terasa asamm, tapi stelah ssudahnya aku makan kedondong, kurasakan manisnya strowbery.

Saat jarakku denganmu sangat dekat, aku bisa menyaksikan betapa besar dan terang Jiwamu.

Seperti menulis dan membaca,berkebun dan brcengkerama dg tanaman jg bisa menenangkan pikiran,menyehatkan jiwa dan mengasah kepekaan.

bahkan mungkin, kupu-kupu, serombongan semut, burung-burung, rerumputan dan pepohonan yang berada di TKP tak kuasa menyaksikan kebiadaban manusia......

semua yang berjiwa pasti menemui mati..., namun tak seorangpun berhak menghabisi jiwa raga orang lain dengan dalih apapun. apalagi dengan kebiadaban.

Selasa, 02 Agustus 2011

In Memoriam ; My Grand Fa (27 Romadhon tahun 2004)

Pendidikan Tak Seberapa, Tapi Ketulusan dan keberanian Luar Biasa


Semangkok balado teri medan campur kacang tanah, hati ayam goreng, tempe mendoan, sambal kecap, dan semur sapi sisa buka puasa, menjadi menu makan sahur hari kedua kami. Sejak dulu, dalam keluarga kami, meja makan adalah tempat diskusi keluarga yang menghanyutkan. Seperti ada lem perekat pada kursi-kursinya, hingga bokong terus melekat, susah beranjak.

Tiba-tiba Bapak saya teringat pada Zaenal. Zaenal adalah saudara jauh Bapak, yang pada sekitar tahun 1971-an berpindah tepatnya bertransmigrasi dari Purbalingga menuju Lampung. Saya tidak kenal Zaenal.

“Nama Kabupaten si Yanto apa ya bu?”, begitu Bapak saya menanyakan ke Ibu, mengawali ingatannya yang sedang melambung jauh ke tahun 1971-an. Sebenarnya, setahun terakhir ini, Bapak saya mengalami sedikit kelinglungan. Mudah lupa. Tapi kambuh-kambuhan.

Yanto adalah Kakak Ipar saya. Ia Orang Kota Bumi, Lampung. Perihal lupanya Bapak saya, pernah suatu waktu membuat saya emosi. Sekitar jam 8.30 malam, saya sampai rumah, pulang kerja. Bapak saya sudah menghadang saya di ruang tamu. Dengan suara tinggi, ia bertanya, “dari mana kamu seharian tidak pulang-pulang?”, begitu introgasinya. Pagi tadi ketika saya pamitan berangkat, ia baik-baik saja. Ini seperti pertanyaan Bapak yang ditujukan pada saya semasa saya kecil dulu saat saya tidak pulang dari sekolah dhiniyah karena saya melanjutkan mandi di sungai, menyusuri sepanjang sungai hingga sampai muara atau kedung, menaikki pelepah pisang.

Saya melongo dan kesal. Ibu saya buru-buru menuju ruang tamu dan tertawa. “Oalaaaah, main itu seharian. Kerja Pakkk”, sergah ibu saya. Kemudian Bapak saya tesenyum sendiri , “Oiya, ya. He he”, katanya menutupi malu. Belakangan kami mendapat informasi dari suster di RS PMI Bogor, bahwa beberapa orang yang menjalani cuci darah, ada masanya mereka menjadi linglung. Penyebabnya bisa jadi karena kadar urium yang terlampau tinggi.

Hari kedua puasa Romadhon, waktu imsak masih agak siang. Yaitu jam 04.30. Kata Ibu, makan sahur ini jadi seperti sarapan. Kami masih mengelilingi meja makan persegi empat itu. Waktu masih menunjukkan pukul 04.00 WIB.

“Pak Zaenal di Lampung tinggalnya bareng pak Radal ya Pak?”, tanyaku memancing cerita Bapak.

Pak Radal juga saudara Bapak. Saya kenal. Dulunya, ia guru di Madrasyah Ibtidaiyah atau MI di desa kami. MI di desa hanya satu. Letaknya di samping rumah kami. Suara pak Radal keras dan tegas. Kalau mengajar suaranya sampai ke rumah kami. Ia sering mampir ke rumah kami sepulang mengajar. Mengobrol dan berdisksui dengan Bapak. Membaca kompilasi majalah Panji Mas milik Bapak.

“Beda. Bapak lupa tepatnya, masing-masing tinggal di mana”, Bapak mencoba menjawab pertanyaan saya.

Dulu, Purbalingga pernah menyandang gelar kabupaten termiskin di Jawa Tengah. Pada masa-masa itu, banyak penduduk yang diwajibkan oleh pemerintah setempat untuk mengikuti program transmigrasi menuju Sumatera.

Kenapa Radal ikut transmigrasi?. Padahal di kampung ia juga memiliki sawah, ia mengajar alias tiap bulan gajian.

Radal orang yang penuh semangat dan antusias. Ia mau belajar. Kata Bapak saya, ia juga gemar membaca dan pandai berpidato. Jika ia ditunjuk untuk berpidato, ia pasti tidak menolak. Ia akan bergerilya mencari buku-buku sebagai bahan pidatonya.
Di Lampung, Radal menjadi transmigran sukses. Ia punya lahan perkebunan. Ia memiliki dua buah truk. Ia juga menjadi juru bibir alias tukang pidato, memberikan ceramah keagamaan. Suaranya di dengar di sana.

“Kenapa transmigrasi. Bukannya di kampung sendiri dia berkecukupan? Sekolahnya sampai apa pak?”, selidik saya.

“SD saja tidak selesai.”, jawab Bapak singkat.

“Kok, bisa jadi guru? Gemana yang diajar?”, Tanya saya dan kakak saya, berbarengan, sedikit protes.

“Nah, makanya, dulu Kakekmu sering dipanggil oleh Jaksa. Entah berapa kali Kakek sidang di Pengadilan. Dilaporkan dengan tuduhan pemalsuan dokumen dan lain-lainnya”, terang Ibu mengisahkan Bapaknya, atau Kakek saya.

Kakek yang ketika itu menjadi kepala sekolah, merekrut banyak warga kampung kami dan kampung sebelah menjadi tenaga pengajar atau guru, karena sekolah yang ia pimpin kekurangan tenaga pendidik. Ia dibantu oleh dua orang karibnya, Pak Sisnaeni dan pak Makmur, yang juga guru di sekolah yang di pimpin Kakek, memilih orang-orang yang menurutnya memiliki semangat tangguh dan jiwa pengabdian yang baik. Tidak peduli latar belakang pendidikannya. Termasuk yang ia pilih adalah Radal.

Kakek mengajukan nama-nama yang ia pilih ke Pendidikan Nasional tingkat pusat, agar disetujui dan mereka dapat mengantongi SK. SK turun, sekolah yang Kakek pimpin tidak kekurangan tenaga pengajar lagi.

Di kemudian hari, Kakek dipanggil jaksa dari kejaksaan negeri Prbalingga. Dengan tuduhan pemalsuan dokumen yaitu ijazah para guru di sekolahnya. Jaksa Penuntut Umum bolak-balik ke rumah kakek. Kakek tidak takut. Ia punya argument yang kuat. Yaitu SK dari Diknas pusat.

Kakek mencari penasehat atau “pembela”. Ia pergi menemui Lurah Picung, desa sebelah, yang tak lain adalah Kakak Ipar dari adik ipar Kakek.

“Kamu tenang saja Ji. Aku di belakangmu. Siap mendukungmu. Kamu bawa pulang ini ayam bekakak”, nasehat Lurah Picung pada Kakek sambil menyerahkan seekor ayam.

Kakek curiga. Siapa gerangan yang melaporkan dirinya. Ia datangi sahabatnya, Pak Sisnaeni dan pak Makmur. Mereka mengaku, mereka berdualah yang melaporkan Kakek.

“Kalian tidak tahu apa-apa. Tega sekali kalian ya !!, aku ndak akan menyerah”, teriak Kakek di depan kedua sahabatnya itu.

Jaksa Penuntut Umum kelimpungan. Bingung tidak kepalang. Setiap kali surat dakwaannya siap diajukan, tumpukan kertas dokumennya itu mendadak berubah menjadi lembaran-lembaran kertas kosong. Putih bersih tanpa tulisan. Pernah, ketika sidang siap digelar, dakwaan yang akan ia bacakan mendadak tidak ada tulisannya. Tulisannya hilang.

“Pak Tubadji, panjenengan pakai ilmu apa?”, teriak JPU.

“Ilmu apa, tidak pakai dan tidak punya ilmu apa-apa?”, jawab Kakek tenang.

“Saya Cuma pasrah sepasrah-pasrahnya sama Alloh”, lanjut Kakek.

JPU kapok. Para penegak hukum melakukan “pembiaran”. Perkara Kakek dibiarkan mengambang. Proses hukum tidak berlanjut. Kelak, JPU itu malah menjadi sahabat keluarga Kakek. Kata Ibu saya, JPU itu memiliki bisnis sampingan berjualan rak piring. Ketika ibu membangun rumah tangga baru, JPU itu sering datang untu menawarkan rak piring jualannya.

Ibu saya tidak tahu jelas, pendidikan formal terakhir Kakek sampai mana. Tapi kata Bapak saya, Bapak pernah mellihat dan mem-fotocopy-kan ijazah PGA Kakek. Tapi seingat saya, Kakek pernah bercerita ke saya, SD (jaman dulu SR) saja tidak selesai.

3 tahun 7 bulan saya menyelesaikan kuliah S1 hukum. Ketika saya diwisuda, Kakek saya sangat senang dan bangga. Ia memberikan selamat. Berkali-kali ia memberikan semangat dan motivasi untuk perjalanan hidup saya selanjutnya. Saya juga senang, bisa lulus kuliah ketika Kakek masih ada.

Secara tidak langsung, kakek kurang suka saya menjadi pencaker atau pencari kerja saat itu. Dulu, awal-awal lulus, saya memang seperti pencaker sejati. Itu sangat membosankan. Tapi setelah saya pikir-pikir sekarang, proses itu telah melatih kesabaran saya. “Tidak usah kamu hitung, berapa lamaran yang sudah kamu masukkan”, kata Kakek ketika saya berpamitan ke Jakarta untuk tes interview di sebuah perusahaan swasta.

Untuk menuruti dan menyenangkan Bapak Ibu saya, beberapa kali saya pernah mengikuti tes pegawai negeri. Kakek saya terlihat biasa-biasa saja, tidak mendukung-mendukung sekali, tapi juga tidak melarang. Tapi ada satu nasehat yang masih saya ingat, yang dulu sebenarnya saya dengarkan sambil lalu saja “kamu sekolah hukum, gunakan ilmu kamu sebaik-baiknya. Biarkan banyak orang merasakan manfaatnya. Kalau untuk nolong rakyat kecil, untuk keadilan, jangan takut apapun. Kamu sejak kecil terbiasa hidup sendiri, mandiri”.

Di mata saya ,Kakek saya, Achmad Tubadji, adalah pendidik handal, pembela yang tegas tapi berhati lembut, pengkhotbah ulung, penulis ulet, politikus yang cerdas dan pemimpin yang pemberani.

Kakek memiliki 11 orang anak. Dua perempuan dan Sembilan laki-laki. Ibu saya anak nomor dua. Ini menurun pada ibu saya-anak enam dengan dua perempuan dan empat laki-laki. Tiga putra Kakek alias paman-paman saya, sudah meninggal. Satu orang meninggal ketika masih bayi, seorang lagi, paman Farid, meninggal saat masih kuliah karena digerogoti kanker hati. Satu Paman lagi, Achmad Mustolikh, meninggal karena sakit paru-paru. Ketika jenazah Paman Mus dikebumikan di kampung kami, SK Pengangkatan dirinya menjadi hakim turun. Sebelumnya ia Panitera di Pengadilan Agama di Palu, Sulawesi. Waktu kecil, nama paman Mus adalah Iskandar. Karena sakit-sakitan, namanya diganti menjadi Achmad Mustolih.

Hampir semua anggota keluarga kakek memiliki postur tubuh tinggi. Begitu juga keluarga inti saya, semuanya berpostur tinggi, kecuali saya dan kakak perempuan saya. Saya kesal. Bukan karena tinggi badan saya. Tapi karena saya pernah ditolak oleh panitia pendaftaran calon hakim saat saya mendaftar menjadi calon hakim. Semua syarat dokumen saya lengkap, tapi tinggi saya kurang 5 cm katanya.Buat saya ini diskriminatif, bukan selektif.

Kakek pernah kena marah besar. Mertua laki-laki Kakek marah besar ,karena pernah dalam satu bulan kakek tidak memberikan uang belanja sepeserpun pada Nenek. Gajinya sebagai pegawai negeri telah habis digunakan untuk menggaji guru-guru yang belum menerima gaji, karena memang gaji mereka belum turun.

Sebenarnya Kakek memiliki kebun yang luas. Kebun kelapa, kebun kopi, kebun dilem, kebun bamboo, kebun besika, belum lagi kebun yang dibiarkan tumbuh alami heterogen. Kakek juga memiliki kolam ikan yang luas dan dalam, dalam jumlah yang banyak. Kebun-kebun dan kolam itu diolah oleh orang-orang kepercayaan Kakek, dengan sistem bagi hasil.

Kakek tidak memiliki suara yang bagus. Tapi ia bisa mengatur dengan baik intonasi suaranya, ketika ia sedang jadi pengkhutbah pada sholat Jum’at di Masjid Agung desa, atau pada saat hari raya, saat mendongeng untuk cucu-cucunya, saat marah atau memberikan contoh, saat berceramah agama.

Meja makan di rumah Kakek berfungsi ganda. Selain untuk meja makan, juga menjadi meja kerja kakek. Letaknya di tepi jendela kebun belakang. Angin sungai bisa masuk sewaktu-waktu. Tidak jauh dari rumah kakek mengalir sungai Kuning yang jernih, dengan tepi kanan kirinya menghampar sawah dan berdiri tobong-tobong pembuatan batu bata.

Mesin ketik tua selalu bertengger di meja makan Kakek. Ia mengetik tulisan-tulisannya sebagai materi khutbah atau pengajian, atau kadang juga sahabat-sahabat Kakek minta dibuatkan konsep tulisan. Letak kacamata kakek bisa sampai turun sekali, menuruni batang hidung jika sedang di depan mesin ketik. Sesekali bibir bagian atas pojok kanan akan bergerak-gerak sendiri, reflek.

“Dulu belum ada motor. Kemana-mana Kakek naik kuda.”, cerita Kakek suatu ketika.
Suatu ketika, kuda yang kakek tunggangi bigar (lepas kendali). Kakek jatuh, bibirnya diinjak kuda yang ia tunggangi, hingga menyisakan gangguan pada syaraf bibir atas pojok kanannya.

Waktu jaman penjajahan Belanda, Kakek sudah bisa mengendarai kuda. Tapi ia lebih sering berjalan kaki. Pada masa penjajahan, Kakek sering pura-pura bisu jika melihat atau bertemu dengan orang asing atau orang yang mencurigakan. Kakek menggunakan bahasa tubuh sebisanya. Itu bagian dari melindungi diri.

Jika saya berkunjung ke rumah kakek, saya sering diminta membacakan Koran dengan suara yang keras. Kakek mendengarkan. Jika suara saya meredup dan intonasi tidak jelas, kakek akan protes. Ia sering mencontohkan Ussy Karundeng, pembaca berita di TVRI waktu itu.

“Coba, seperti Ussy karundeng membacanya”, katanya.

Ketika sedang menulis, kakek diantaranya menggunakan buku-buku litaratur, majalah, Al Quran, Kompilasi hadis, kitab kuning, sebagai bahan tulisannya. Jika sudah ketemu, bagian mana yang akan ia kutip, aku sering diminta untuk mendiktenya. Saya membaca, kakek mengetik.

Kakek adalah pegiat dan penghidup organisasi NU di daerah kami. Selama dua periode, ia menjadi ketua NU cabang. Kepiawaiannya merawat NU menurun pada ibu dan kakak saya.

Kakek memiliki kegemaran kuliner. Ia suka mencoba makanan-makanan baru. Sate kambing adalah makanan kesukaannya.

“In, cari wc umum yang ada jualan satenya ya”, pinta kakek sutu ketika saat sedang berada di perjalanan dengan paman In’am. Paman In’am pun menepi-nepikan mobilnya.

Kakek juga hoby otomotif. Ia suka ganti model-model mobil. Hoby-nya yang satu ini sering membuat orang men-cap kakek gemagus atau sombong. Padahal memang dia hoby. Di usia 60-an kakek masih kuat menyetir jarak jauh.

Track record kakek yang baik, membawanya duduk menjadi wakil rakyat, DPRD. Seingat saya, itulah puncak kariernya. Meski berpolitik, kakek tetaplah kakek. Orang yang berjiwa pembela. Orang yang pemberani. Orang yang royal, sampai sering kali dimanfaatkan oleh teman-temannya.

Penyakit diabetes sebab utama perginya Kakek. Proses Izrofil menjemput kakek berlangsung cepat. Kakek memejamkan mata seperti orang tidur biasa, setelah sebelumnya meminta susu bier brand putih. Menjelang pergi-pun kakek masih berani berkuliner.Tanggal 27 bulan Ramadhan (2004) adalah tanggal dimana kakek pergi untuk selamanya.

Di perantauan ini,Cibinong, saya bertemu dengan teman kakek, pak Masun, yang katanya masih terhitung saudara, masih satu Bani, yaitu Bani Irsyad. Ia banyak bercerita tentang keberanian kakek dan sifat ringan tangannya pada yang papa.

Kamis, 28 Juli 2011

Sisi Lain Bukti Sentul







Berada di bukit atau gunung bisa membuat perasaan saya membumbung tinggi. Karena tiap-tiap tempat sunyi memiliki jiwanya sendiri-sendiri. Tiap tempat sunyi menghadirkan nuansa berbeda.

Saya sudah melaju ke tempat yang lebih tinggi, tapi perasan membumbung tinggi itu belum juga muncul. Hampa.

Langit yang menggelantung rendah, awan yang memayungi, hamparan bugenvile, rimbun pinus, sama sekali tidak bisa menghadirkan perasaan itu.

Yang hadir adalah perasaan lain. Hampa. Karena tanah tinggi itu sudah tidak punya jiwanya lagi. Gerombol rumah yang mirip kastil-kastil tampak di sana-sini. Di gundukan tanah yang lain terlihat rumah-rumah megah seperti istana di tengah hutan. Dipagari pinus-pinus yang tegap berdiri seperti patung polisi.

Saya terus menerobos, mengikuti lika-liku jalan itu. Dan pada tanah-tanah yang lain, saya menemukan sisi lainnya. Sisi lain dari bukit yang kesohor namanya. Bukit Sentul. Saya masih mendapati sisi-sisi cantiknya dyang saya abadikan dalam "kamera genggam" saya. (foto bersambung ke 2)

My Activity

Mengapa Metodologi Menjadi Kebutuhan Dasar dalam Sebuah Penelitian?


Ruang pertemuan-ruang pertemuan dalam hotel itu hampir semuanya sedang digunakan untuk acara diskusi. Beberapa pengguna adalah Kantor Pemerintahan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perusahaan Swasta. Lokasi yang strategis dan bangunan yang masih baru dengan interior modern minimalis menjadikan The Akmani Hotel menjadi pilihan alternative para penggunanya.

Hari itu, Senin, 25 Juli 2011, salah satu ruang pertemuan pada lantai M The Akmani menjadi tempat bertemunya para Penegak Hukum dari beberapa Institusi. Bukan soal kasus Nazarudin yang sedang mendunia yang mereka bahas. Bukan pula kasus Gayus Tambunan si mafia pajak Indonesia. Pagi hingga siang itu, para penegak hukum tersebut sedang berdiskusi tentang penelitian. Sebuah penelitian. Seperti apa jika para penegak hukum duduk bersama mendiskusikan seluk beluk penelitian?

“Sebuah penelitian, semestinya tidak terlalu luas cakupannya. Ia harus bisa mengangkat sebuah tema atau tematik. Sehingga penelitian itu focus”, papar DR. Salman Luthan, S.H.,MH. Ia adalah Hakim Agung Mahkamah Agung RI.

“Penelitian harus dibedakan, apakah penelitian akademik atau penelitian kebijakan. Penelitian kebijakan juga dibedakan lagi, apakah kebijakan yang sudah jadi atau implementasi dari kebijakan (undang-undang) tersebut “, lanjut Salman, yang merupakan Hakim Agung non karier dari unsur akademisi, yang diangkat pada Februari 2010 yang lalu. Sebelum menjabat Hakim Agung, Salam Luthan adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, UII Yogyakarta. Hingga sekarang, Salman-pun masih aktif mengajar di UII.

“Salah satu hal yang memperkuat study penelitian adalah metodologi. Metodoloogi apa yang dipakai dalam penelitian? Sebuah penelitian mesti memiliki bab tersendiri yang menguraikan pilihan metodologi yang digunakan”, hal tersebut disampaikan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara, praktisi hukum yang juga advokat senior.

Hari itu, DR. Salman Luthan, S.H.,MH., dan Abdul Hakim Garuda Nusantara hadir memenuhi undangan ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) dalam acara Advisory Board Meeting Program. Saat ini, ICJR sedang mengimplementasikan sebuah program reformasi kebijakan penahanan dan pra-peradilan di Indonesia, yang salah satu aktifitasnya adalah riset komprehensif tentang kebijakan penahanan dan pra-peradilan, dengan lokasi observasi di lima kota di Indonesia.

“Kelemahan penelitian yang dilakukan oleh LSM-LSM adalah soal metodologi”, komentar Abdul Hakim.

“Hal itu sering dilupakan. Padahal pemilihan metodologi sangat penting”, lanjut Abdul Hakim.

Selain Salman Luthan dan Abdul Hakim, hadir pula Ifdhal Kasim, S.H. (ketua Komnas HAM), Sihan, S.H. (perwakilan dari Kejaksaan Agung RI), dan Abdul Haris Semendawai, S.H.,L.LM. (Ketua LPSK). Sementara dari ICJR hadir para peneliti dan pengelola program.

“Metodologi menjadi titik berangkat dalam sebuah penelitian”, Ifdhal Kasim menyambung Abdul Hakim.

“Dan tiap pemilihan metodologi memiliki halangan dan pertanggung jawabannya sendiri-sendiri”, timpal Abdul Hakim. Ia mencontohkan laporan Bapennas tentang indeks demokrasi tahun 2009 yang menurutnya telah menggunakan metodologi yang sangat baik.

Metodologi memiliki pengertian yang luas dan dalam. Setidaknya dibandingkan dengan metode. Suwardi Endraswara (Peneliti cum Dosen UNY), mengatakan bahwa metodologi menyangkut dasar-dasar epistemologis sedangkan metode lebih ke arah aplikasi, menyangkut cara yang operasional dalam penelitian. Epistemologi adalah ilmu tentang metodologi dan dasar-dasar pengetahuan dengan keterbatasan dan kekuasannya.

Hampir semua peserta diskusi sepakat, bahwa metodologi dalam sebuah penelitian adalah sangat penting. Apapun bentuk penelitian tersebut.

Selain, DR. Salman Luthan, S.H.,MH., Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ifdhal Kasim, S.H., Pohan Lisphay, S.H. (dalam diskusi ini diwakili oleh Sihan, S.H.), Advisory Board Program atau Dewan penasehat program juga beranggotakan perwakilan dari Depkum HAM RI yaitu Drs. Dindin Sudirman, Bc. IP. MSI. (Ses Dirjen Pemasyarakatan), Komjen Pol. Drs. Oegroseno, S.H. (Kalemdikpol Mabes Polri) dan perwakilan akademisi.

Integrated Criminal Justice System merupakan salah satu syarat tegaknya hukum secara proporsional. Dalam implementasi program tersebut, ICJR melibatkan lima Institusi penegak hukum. Pelibatan tersebut dilakukan dari dua sisi. Di satu sisi ICJR melibatkan para penegak hukum sebagai Dewan Penasehat yang memberikan masukan dan arahan dalam implementasi program. Hal ini penting karena diperlukan adanya keterpaduan antara instansi penegak hukum, kesamaan persepsi dalam menangani dan menyelesaikan suatu perkara pidana (dalam hal ini tentang penahanan) yang berorientasi pada penegakkan hukum dan HAM, kebenaran dan keadilan. Di sisi lainnya ICJR menjadikan para penegak hukum sebagai informan dalam penelitian. Mereka dalam dua sisi ini sama kedudukannya yaitu sebagai law enforcement officer.

Penelitian yang sedang dikerjakan oleh ICJR termasuk penelitian kebijakan. ICJR mengambil lokasi penelitian di kota Kupang, Pontianak, Makassar, Medan dan Jakarta sebagai representasi wilayah timur, barat dan tengah Indonesia.

Salman Luthan, dalam diskusi ini mempertanyakan, apakah pemilihan lima wilayah tersebut sudah dapat merepresentasikan Indonesia untuk masalah-masalah penahanan dan pra-peradilan?

“Metode kualitatif, akan lebih mudah kita terapkan dalam penelitian ini. Ia tidak terikat dengan sampel. Tapi berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu”, kata Salman.

“Kompleksitas masalah dapat menjadi pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian”, lanjutnya.

Pada akhir diskusi, Ifdhal Kasim mengingatkan agar penelitian ini juga didasarkan pada perspektif-perspektif tersendiri misalnya perspektif HAM. Abdul Hakim juga menyarankan agar dalam penelitian dapat ditemukan pada tingkat mana sering terjadi pelanggaran HAM (dalam proses penahanan-red).

Menginjak lantai loby The Akmani, kita disambut oleh dinding kayu yang ditumbuhi jamur kayu buatan berwarna putih, yang menempel hingga lapisan tetinggi dinding kayu itu. Sebelum The Akmani Hotel itu berdiri, pasti sang arsitek berikut desaign interiornya terlebih dahulu telah merancang desaign bangunan modern minimalis itu dengan sangat detail. Seperti arsitek dan desaign interior, untuk menghasilkan karya yang baik dan proporsional, peneliti juga harus menyiapkan metodologi (dan desaign riset) terlebih dahulu sebelum melaksanakan penelitian. (DIANI)

Jumat, 15 Juli 2011

Untukmu, Matahari Tak Akan Terbenam
(kepada : Bersihar Lubis)

sebarkan saja virusmu,
biar penyakitmu* mewabah, merajalela
pada semua anak bangsa

sebarkan saja virusmu,
biar semua anak bangsa tak
hidup dalam dungu

senja belum menyapamu,
dan untukmu matahari tak akan
terbenam melenyapkan penyakitmu
karena hari-hari ada dalam genggamanmu
sejuta alasan tak akan bisa menghalangi
dimanapun kau akan menebarnya

teruslah bercumbu dengan penyakitmu
meski meja hijau mengitari percumbuanmu

Pancoran, Desember 2007

*Bersihar menyebut kegemarannya menulis sebagai penyakit


Pernah dibacakan di depan Gedung Mahkamah Agung RI saat kampanye kebebasan pers dan berekspresi

5. Nostalgia


(I)
Hatiku bergetar, bergemuruh
saat menatap hargodumillah
dari tikungan-tikungan
jalan tepi ladang wortel

Cemoro Sewu, 240905

(II)
Menatap kembali puncak Garuda,
Puncak Merbabu,
ingin aku menebar hariku
di kaki-kakinya
menyatu dengan jiwa maha raya

Cepogo, 250905

(III)
Dari taman sorga,
hingga arafah dan himalaya
kembali lahir adam-adam dan hawa-hawa
Jabal Rakhmah ; bukti kasihnya

Candimulyo, 250905

Dimuat pada Koran Rakyat, Banyumas
Tanpa Judul


Kawan, setiap rumah memiliki nada dan iramanya sendiri-sendiri,
Jangan kau ikut campur urusan kami
Apalagi hendak merubah nada dan irama kami
Itu sama halnya kau mengatur-atur suara kami
Kau mengatur-atur apa yang harus kami suarakan
Kami berhak atas suara kami sendiri. Suara kami
Adalah hak kami sendiri*

Sejauh ini kau ikut campur, kawan ;
Bahasa adalah anugerah. Bahasa adalah kekayaan.
Tiap-tiap bahasa bisa disuarakan oleh setiap manusia
Hak kami untuk bersuara menggunakan bahasa manapun
Jika buku adalah jendela dunia
Maka bahasa adalah cara untuk mengerti dunia**
Sejauh ini kau ikut campur ;
Fm 106.5 Mhz jalur mengudaranya suara kami-pun
Kau campuri
Kami bukan pembangkang, kawan. Tapi kami
Menghormati hukum negeri kami sendiri. Dan kami,
Kami mencintai dan menikmati proses demokrasi di negeri kami ;

Akibat campur tanganmu kawan,
Saudara-saudara kami kehilangan pekerjaan
Di negeri kami ini, tiap-tiap manusia berhak untuk
Memilih pekerjaannya sendiri sesuai minat
dan bakat masing-masing.
Kini mereka kehilangan haknya untuk berkarya
Dan bersuara

Negeri kami adalah negeri yang punya harga diri,
Kami menolak dicampur tangani.

BIER 1A, 25 Maret 2010
Pertama kali dibacakan pada 29 Maret 2010 didepan gedung ASEAN di Jakarta

*Taufik Ismail
* *Gadamer
Pertondho

Iki ono opo ….
Opo iki sing jenenge pertondho
Kanggo kitho kabeh menungso
Supaya sadar, tumandhang lan nyuwun
Karo sing Moho
Lepen-lepen podho banjir,
Lemah-lemah dho longsor
Alas-alas ora on sing ijo
Ayo kitho kabeh dho tumandang gawe
Nyelametake bumi titipane anak putu
Muga-muga Gusti Allah nyembadani
Anak putu iso ngrasakake
Lestarining alam bumi

Jogja, Agustus 2006


Guru

Saka sawijining guru,
Wis lair wong-wong gedhe ing negeri iki
Soko sawijining guru,
Negeri iki nduweni Bj. Habibie, Gus dur, R.A Kartini
Soekarno, Jenderal Sudirman, Munir, WS Rendra
Chairil Anwar tekan Soe Hok Gie
Guru, panjenengan punika pahlawan sejati
sing nglairke maneh pahlawan-pahlawan sing dho
nduweni keberanian lan semangat tinggi
guru, panjenengan punika sejatining pahlawan
kekonco karo perjuangan lan kepriyatinan
nanging ora ngarepake peparingan
ngajar lan ndidik putra putri nganthi
kesemangatan lan keikhlasan

Purbalingga, Juli 2006



Mesem

Jare Pak Ustad mesem kuwi kelebu ibadhah
Jareku, mesem kuwi iku indah
Jare pak dokter, mesem kuwi bisa nyehatake awak
Ayo poro konco, jo podho abot mesem
Dho mesemo nyang wong liyo sing mbok tresnani
Lan bok kenali
Ayo para konco, podho mesemo nyang wong liyo
Sawise njur ngucapake salam
Sebab yen mbok niati, mesem kuwi ibadhah, sehat
Nentremake ati tur indah


Purwokerto, Juli 2006

Adiani Viviana

Dimuat di Majalah DERAP GURU, No.80 Th.VII – September 2006
Monolog Terdakwa
: Khoe Seng Seng dan Kwee Meng Luan


Pada mulanya adalah kata
kurangkai menjadi kalimat
lalu kususun, dan jadilah surat

surat itu aku kirim ke media massa
lalu dimuat pada kolom surat pembaca
maka, suratku itu disebut surat pembaca
.............................................
Kutulis yang kutahu, kutulis yang kualami,
kutulis yang kurasa, tanpa unsur dusta
apalagi untuk mencemarkan nama

Bahh!!! tapi dia bilang ; "itu fitnah"

aku menyampaikan fakta
aku mengeluh tentang yang kualami dan kurasa
aku menyampaikan informasi
biar tak ada lagi orang yang dibohongi dan merugi
itu hakku, hakku untuk berekspresi
yang di negaraku yang demokrasi ini
katanya dilindungi oleh konstitusi

Bahh!!! tapi dia bilang ; "itu fitnah"

Bak kriminal sejati
aku digelandang ke mabes polri
aku mendapat label tersangka tanpa melalui saksi
karena menjalankan hak asasi

relaas, pledooi, jpu, penjara, vonis, label, slander, defimation,
hakim, 310 kuhp, 311 kuhp, adalah kosakata-kosakata baru
yang menyita fikiranku

hakku terampas
waktu, tenaga dan fikiranku terkuras
aku ingin menulis lagi, lagi dan lagi
namun menjadi kandas
hakku ditindas

oh, inikah negeriku yang menjunjng tinggi demokrasi

aku terdakwa,
yang bermula dari merangkai kata
yang bermula dari menyampaikan fakta

Hakim-hakim yang dimuliakan,
buka mata buka telinga, buka nurani
aku hanya ingin menyampaikan kebenaran
dan aku ingin kejujuran mendambakan keadilan

itu semua bukan fitnah!!!
aku takan menyerah pada lelah
demi kebenaran dan keadilan
demi menjunjung tinggi hak asasi


Cibinong, Selasa, 14 Juli 2009
Dibacakan Pertama kali di depan Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Rabu, 15 Juli 2009

Kuliner





"Empat penari, kian kemari//jalan melenggang//aduuh, sungguh jenaka//......// sambil bernanyi, jongkok berdiri// aduuh, sungguh jenaka, tari mereka//gambang semarang//", lagu gambang semarang menyambut kami di stasiun kereta api Semarang. Subuh jadi terasa siang. Lagu keroncong ini sama sekali tidak asing di telinga saya. Bapak saya adalah pecinta lagu-lagu keroncong, ia memiliki banyak kaset lagu-lagu keroncong. Dulu, Bapak saya biasa memutar lagu-lagu keroncong,di siang hari, setelah makan siang, sepulang ia mengajar sambil duduk-duduk di halaman belakang.

Lagu itu semakin menjauh seiring laju bus yang membawa kami ke Kudus. Kawan kami, Aditya, yang bekerja di Pengadilan Negeri Kudus, sudah menghadang kami di jalan raya kudus. Adit memperkenalkan kami dengan makanan khas Kudus. Lentog namanya. Jadilah Lentog menu sarapan kami. Ia membawa kami ke sebuah warung kecil di pinggiran desa.

Duduk di bangku panjang dari kayu, kami menunggu sepiring Lentog yang katanya nikmat dan gurih itu. Hmmmmm..., saya tidak sabar untuk melahapnya saat sepiring Lentog sudah di tangan saya.

Sepiring Lentog berisi irisan lontong (lontong daun, bukan plastik) yang disiram dengan lodeh yang terdiri dari gori atau nangka muda, irisan tahu dan tempe kemudian ditaburi bawang goreng plus kuah santan.

"Lauknya, mbak. mau nambah apa?" Ibu peracik Lentog menawarkan lauk pauk yang biasa menjadi teman ketika kita menyantap Lentog.
"Ada sate telur puyuh semur, sate usus, krupuk, telur asin bakar".
Saya memilih kerupuk dan setusuk sate telur puyuh semur. Rsanya memang nikmat. Gurih. Namun porsi Lentog sangat sedikit, bahkan untuk ukuran saya. Jadi tidak heran penyantap Lentog biasanya akan habis lebih dari satu piring.

Pada mulanya, Lentog dijual oleh laki-laki saja dengan memikul seperangkat perlengkapan Lentog dengan berkeliling. Pada perkembangannya Lentog mulai dijual di kios-kios oleh para ibu-ibu rumah tangga. Seporsi lentog dihargai mulai dari 2000 rupiah.

"enak to? murah meriah. iso ngirit urip ning kene", celoteh Adit, seusai kami menyantap menu sarapan Lentog.

Kini, selain Jenang Kudus, Lentog juga sudah menjadi icon kuliner kota Kudus.


Ket : Foto-foto diambil oleh Adiani Viviana, pada Juli 2010 menggunakan Kamera Handphone 6275i

Rabu, 13 Juli 2011

kuliner




Makanan dalam jepretan kamera ini namanya nasi goreng Jayawijaya. Sesuai namanya, nasi goreng ini tersaji di sebuah tempat makan di Jayapura, Papua, Indonesia.

Pertama kali saya menginjakkan kaki di Jayapura (Juni 2010), saya tidak langsung "jelajah" ataupun orientasi medan. Perjalanan di udara yang hampir tujuh jam membuat badan terasa pegal. Saya memilih istirahat, mengingat esok harinya harus bertandang ke beberapa instansi pemerintahan di Jayapura.

Pilihan tempat menginap adalah di hotel Aston. Perkenalan saya dengan nasi goreng Jayawijaya terjadi saat saya harus mengakses internet via laptop, mau tidak mau saya harus masuk restoran hotel, untuk mendapat pasword internet.

", silahkan Ibu, pilih menunya" dengan ramah dan senyum mengembang, seorang perempuan muda hitam manis dengan rambut ikal yang dikepang kuda kecil-kecil, pekerja restoran, menyodorkan selembar kertas bertuliskan sederet menu makanan dan minuman.

Nasi Goreng Jayawijaya dan es palu betung. Satu kata di belakang nasi goreng membuat saya tertarik memilihnya. Sebelum menu yang saya pesan tersaji di meja, sambil tastus di laptop, saya membayangkan rupa dan rasa pilihan makan malam saya itu.
"Mungkin disusun menyerupai bentuk gunung.di bagian sisi gundukan nasinya, dilapisi makanan berwarna putih, menyerupai salju. pasti gurih rempah", gumam saya dalam imaji.

"Silahkan Ibu, nasi goreng Jayawijaya dan es palu betung". Pesanan saya datang. Ternyata tidak seperti gunung. Di atas nasi goreng tersusun pisang goreng tepung yang di goreng kering, terbuat dari pisang kepok. Di sisi lain, ditaburi bumbu cair lengket berwarna putih seperti getah karet (belakangan baru saya tahu, cairan putih itu adalah sagu). Nasi goreng ini rasanya sangat gurih dan unik. Aroma rempah-rempahnya sangat terasa di lidah. Buat saya porsinya sangat banyak, namun habis juga. Porsi makanan yang di jual di tempat-tempat makan di Jayapura memang porsi besar.


Ket : Foto-foto diambil oleh Adiani Viviana pada Juni 2010 menggunakan kamera handphone Nokia 6275i

Kasus Pidana Khoe Seng Seng

Court finds land buyer guilty of libel
The Jakarta Post, Jakarta | Wed, 07/15/2009 4:25 PM


The East Jakarta District Court Wednesday found a land buyer, Kho Seng Seng alias Aseng, guilty of defaming property giant PT Duta Pertiwi Tbk for writing a complaint about the firm in a newspaper.

The convict, however, will only serve a one-year probation sentence. He will be jailed for six months if he makes another defamatory statement against the company, presiding Judge Robinson Tarigan said.

The verdict received relentless boos from the audience, who had expected Aseng’s acquittal after another court recently found a housewife not guilty in a libel case in Tangerang.

Aseng, along with two other tenants, wrote a complaint letter to various dailies, saying PT Duta Pertiwi had sold them land that actually belonged to the regional authorities. Aseng's letter was published in Kompas newspaper in 2006.

The company sued him under Article 311 of the Criminal Code on libel.

"I am very disappointed," Aseng said after the trial. "The trial procedures were flawed and the judges’ logic was outrageous."

Adiani Viviana, one of Aseng's legal advocates, said her team would appeal the decision in the High Court.

"But we heard rumors the judges who found Aseng guilty would be promoted to the High Court. We are afraid our client will get the same treatment then," she said.

Selasa, 12 Juli 2011

Kasus Pidana Erwin Arnada

Tiga Lembaga Ajukan Pendapat Hukum Soal Playboy
Kamis, 20 Januari 2011 | 05:12 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta - Tiga lembaga kajian dan advokasi hukum menyampaikan pendapat hukum (amicus curiae) dalam perkara yang menjerat Pemimpin Redaksi Playboy Indonesia Erwin Arnada, yang kini memasuki tahap peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung.
Ketiga lembaga itu adalah Indonesia Media Defense Litigation Network, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat.

Senior Associate ICJR Indonesia, Anggara Suwahju, mengatakan ketiga lembaga itu mengajukan amicus curiae agar Mahkamah Agung melihat kasus Playboy Indonesia secara komprehensif.

Menurut Anggara, kasus majalah Playboy Indonesia, yang menyeret Erwin Arnada ke pengadilan, tidak bisa serta-merta dilihat dari satu sisi nilai. "Harus dilihat dari keseluruhan nilai dan kontennya," kata Anggara di Jakarta kemarin.

Ketiga lembaga memasukkan berkas amicus curiae ke Mahkamah Agung pada Jumat lalu. Adiani Viviana dari ICJR mengatakan, Senin lalu mereka telah memastikan bahwa amicus curiae sudah sampai ke meja para hakim agung.

Lewat amicus curiae, ketiga lembaga itu ingin memberi pandangan kepada majelis hakim agung yang akan memutuskan perkara pidana kesusilaan tersebut. Dalam memberi pandangan, ketiga lembaga itu memakai uji kebahayaan (harm test), penilaian masyarakat umum, serta prinsip kebebasan berekspresi dan kebebasan pers sebagai patokan.

Dalam putusan kasasinya, Mahkamah Agung menyatakan Erwin Arnada bersalah dan melanggar Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Kesusilaan. Majelis kasasi MA pun menjatuhkan vonis dua tahun penjara.

Di tingkat pertama, jaksa mendakwa Erwin dengan pasal kesusilaan dan menuntut dia dihukum dua tahun penjara. Tapi, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada April 2007, Erwin dibebaskan.

Konsep amicus curiae berasal dari tradisi Romawi. Konsep ini mengizinkan pengadilan mengundang pihak ketiga untuk menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan kasus-kasus yang jarang terjadi.

Di Indonesia, amicus curiae belum banyak digunakan. Dalam kasus kebebasan berekspresi, baru tiga amicus curiae yang diajukan ke pengadilan, yakni kasus majalah Time melawan Soeharto, kasus Upi Asmaradana, dan kasus Prita Mulyasari.

Pengajuan amicus curiae di Indonesia mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal itu berbunyi, "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat."

Dasar hukum amicus curiae lainnya adalah Pasal 180 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal itu menyatakan, "Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat diminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan."

ANNISA ANINDITYA

Kasus Pidana SMW Vs Risang Bima Wijaya

Batalkan Semua Putusan Risang!
Senin Berkas Diteken, Rabu Dikirim ke MA

Sumber : RADAR JOGJA


SLEMAN - Kuasa hukum Risang Bima Wijaya dari LBH Pers meminta pembatalan semua putusan atas kasus yang menimpa kliennya. Putusan yang diminta untuk dibatalkan dalam kasus kriminalisasi terhadap pers ini mulai dari putusan PN Sleman, PT DIJ serta Mahkamah Agung (MA).

Permintaan itu tertuang dalam tanggapan dan kesimpulan dalam sidang lanjutan Peninjauan Kembali (PK) di PN Sleman, kemarin. Dalam sidang dengan hakim tunggal Syamsul Edi SH dan JPU Kamari SH, kuasa hukum Risang yang terdiri atas Hendrayana SH, Muhammad Halim SH, Agus Ramdani SH, Adiani Viviana SH, Sholeh Ali SH, Bayu Wicaksono SH, Mimi Maftuha SH dan Endar Sumarsono SH mengajukan tanggapan dan kesimpulan setebal 13 halaman.

Menurut LBH Pers, ada beberapa alasan sehingga pihaknya meminta pembatalan putusan. Pertama, adanya novum baru yang diajukan dalam sidang persidangan PK. Novum baru itu berupa klarifikasi yang dibuat mantan anggota Dewan Pers RH Siregar saat menjadi saksi dalam sidang di PN Sleman 8 Juli 2004.

Klarifikasi yang dibuat RH Siregar menyatakan dirinya tidak setuju penggunaan pasal KUHP untuk mengadili wartawan yang melakukan tugas jurnalistik. "Dalam surat klarifikasi tertanggal 6 Desember 2004, RH Siregar antara lain menulis: Mengacu risalah sidang pengadilan 8 Juli 2004 itu ternyata catatan jalannya tanya jawab persidangan tidak akurat, tidak jelas dan tidak lengkap. Seolah-olah saya (RH Siregar) setuju terhadap Risang Bima Wijaya dituntut pidana penjara berdasar KUHP. Besar kemungkinan kalimat-kalimat itu kesimpulan JPU dari catatan sidang yang kurang jelas," ungkap.

Hal lain yang dijadikan alasan, kata Hendrayana dari LBH Pers, dakwaan JPU salah orang atau error in persona. Pasalnya, penanggung jawab pemberitaan adalah pemimpin redaksi, bukan pemimpin umum. "Bahwa pemohon/terpidana pada saat kasus ini terjadi menjabat sebagai pemimpin umum SKH Radar Jogja. Padahal berdasarkan azas komando, seharusnya yang bertanggungjawab atas isi pemberitaan adalah pemimpin redaksi," ujarnya.

Alasan lainnya, putusan dianggap prematur atau terlalu dini. Dikatakan, perkara ini berhubungan dengan karya jurnalistik, sehingga penyelesaian sengketanya harus diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa pers sebagaimana yang diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Dalam UU Pers telah diatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pers. Bilamana seseorang atau sekelompok orang merasa keberatan/dirugikan oleh suatu pemberitaan, ada mekanisme atau prosedur penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh. Yakni melalui hak jawab, hak koreksi atau mengadukan kepada organisasi profesi wartawan," ucapnya.

Berdasarkan hal itu, kata Hendrayana pihaknya meminta tuntutan JPU tidak dapat diterima. Menyatakan pemohon/terpidana Risang Bima Wijaya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menista dengan tulisan secara berlanjut. "Membebaskan pemohon/terpidana atas segala dakwaan, serta mengembalikan nama baik dan hak-hak pemohon/terpidana serta harkat dan martabatnya seperti sediakala," ungkap Hendrayana.

Sidang ditunda Senin (4/2) dengan agenda penandatanganan berkas materi yang akan dikirimkan ke Mahkamah Agung (MA). Menurut hakim Syamsul Edi, jika Senin berkas bisa diteken, rencananya (6/2) akan dikirimkan ke MA di Jakarta.

Jumat, 01 Feb 2008
(oto)

Senin, 11 Juli 2011

DUKA ACEH LUKA KITA (Kumpulan Puisi Penyair Indonesia Mengenang Tragedi Aceh Dan Bencana Tsunami)


Penerbit : Jakarta Citra bekerjasama dengan Koperasi 
Sejahtera Seniman Indonesia [KSSI]

Penyusun : Lazuardi Adi Sage / Imam Wahyudi AR / Endo Senggono / Juli Sofyan / Putri Miranda / Jeyhana / Dewi Ambar Sari

Pengarah : Hamsad Rangkuti / Sides Sudiyanto DS / Cak Kandar 

Pengantar : Salahuddin Wahid

Rancang Cover/Design : Iwan S.Coto
Cetakan Pertama : 2005
ISBN : 979-8977-13-0

 PARA PENULIS :

Afrizal Anoda
Doel CP Allisah
Kardy Syaid
Wiratmadinata
Sutan Iwan Soekri Munaf
Soeparwan G.Parikesit
Teguh Esha
M.Aan Mansyur
Beni Jusuf
Arung Wardana
W.Suroso
Ratu Cahyaningrat.SE
David Krisna Alka
Muhammad Erfan
Erwan Juhara
Din Saja
Salami Akhmad
Idris Brandy
Sides Sudyanto DS
Lazuardi Adi Sage
Charles Humprey
H.E.Mr.Shaban Shahidi Moaddab
Juli Sofyan
Dewi Ambar Sari
Nani Tandjung
Imam Wahyudie AR
Miranda Putri
Jeyhan
Maroeli Simbolon
Joe Simbolon
Eddy Siswanto
Chandra Arga Dinata
Ferizal Sikumbang
Dinullah Rayes
Diah Hadaning
Remmy Novaris DM
Idris Pasaribu
M.Dienaldo
Prayoga Murbeng
A.Sani
Syarifuddin A.Ch
Imam Ma’arif
Rudi Supriyadi
Agusyanto Bakar
Uki Simboro
Adiani Viviana
Prijono Tjiptoherijanto
Djoko Edi Soetjipto Abdurrahman
Andi Asikin Suyuti
Rama Prihandana
Syahnagra Ismail
Mohammad Jafar Hafsah
Dana H.Basuki
Djoko Sidik Pramono
Denting Sihkami
Tetty Julianti
Rahman Arge
N.Syamsuddin CH.Haesy
Sys Ns
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------