Kamis, 15 Desember 2011








PANORAMA DAN VEGETASI DI PUNGGUNGAN GUNUNG SALAK - 2
Gambar 1 : Kawah Ratu
Gambar 2 : Sumber Air di jalur pendakian menuju kawah Ratu
Gambar 3 : Bunga Tapak Dara berwarna pink keunguan
Gambar 4 : Tanaman Pegagan
Gambar 5 : Bunga Kecubung Putih
Foto-foto diambil oleh Adiani Viviana pada Sabtu-Minggu, 19-20 November 2011

Kawah Ratu merupakan kawah aktif yang selalu mengepulkan uap panas dan mengeluarkan bau khas belerang. Kawah Ratu terletak pada ketinggian 1.338 meter diatas permukaan laut. Kawah ini terletak di lereng Gunung Salak. Secara administratif, Gunung Salak masuk ke dalam wilayah Sukabumi dan kabupaten Bogor, Jawa Barat. Mata air di hutan Gunung Salak sangat berlimpah. Sehingga vegetasi hutannya cukup berfariasi. Bunga Tapak Dara, tanaman pegagan, banyak dijumpai di kaki Gunung Salak. Kedua tanaman itu memang hidup di daerah lembab atau berair. Baik Tapak Dara maupun Pegagan merupakan tanaman obat. Tapak Dara dapat menjadi obat kanker, sedangkan Pegagan dapat menjadi obat luka luar.







Panorama dan Vegetasi di Kaki Gunung Salak
Foto-foto diambil oleh Adiani Viviana pada Sabtu, 19 November 2011
ICJR, WCSC University of Berkeley dan Elsam Melakukan Upaya Pengintegrasian Nilai-nilai HAM di Wilayah Rentan Konflik ke Dalam Kurikulum Pendidikan Aparat Penegak Hukum


Jakarta - Dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini, ICJR (institute for Criminal Justice Reform) bersama Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat) serta WCSC University of Berkeley (Wolrd Crime Studies Center) mengimplementasikan program Peningkatan Kapasitas Penegak Hukum dan Pengarusutamaan HAM di Wilayah Rentan Konflik, dalam konteks in program dilaksanakan di Papua. Ketiga organisasi ini bekerjasama dengan Mahkamah Agung dan dengan dukungan US Federal, telah mengimplementasikan beberapa kegiatan dalam mencapai tujuan-tujuan program tersebut.

Pada Selasa, 22 November 2011 bertempat di Hotel Ibis Tamarin Jakarta, ketiganya melaksanakan FGD (Focus Group Discussion) dengan mengambil tema Pengintegrasian Nilai-nilai HAM dalam Kurikulum Pendidikan Aparat Penegak Hukum di Wilayah Rentan Konflik. Selain untuk memperkenalkan modul HAM yang telah disusun oleh tim Penyusun Modul dari ICJR, WCSC dan Elsam, FGD juga bertujuan untuk mengetahui kurikulum HAM yang dimiliki oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan di masing-masing institusi penegak hukum, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, Ditjen PAS dan Mahkamah Agung. Sehingga ketiga lembaga penyelenggara dapat membuat pemetaan seberapa jauh kira-kira nilai-nilai dan standar-standar HAM di wilayah rentan konflik dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan masing-masing lembaga tersebut.

“Kegiatan dan upaya ini ditempuh oleh ICJR, WCSC dan Elsam, karena kami telah rampung melaksanakan beberapa tahap pelatihan HAM bagi Aparat Penegak Hukum di Tanah Papua. Pelatihan diawali dari tahap Pelatihan Dasar Satu dan diakhiri dengan pelatihan tahap Pelatihan Untuk Pelatih Tahap Tiga. Dalam tiap-tiap tahap tersebut, Tim menyusun sebuah Modul HAM di wilayah rentan konflik sebagai panduan pelatihan”, papar Adiani Viviana, Sekretaris Eksekutif ICJR dalam sambutannya. “Hari ini, di tempat lain, di Hotel Aryadutha Jakarta, juga sedang dilaksanakan Pelatihan tahap terakhir, yaitu TOT Tahap tiga”, sambungnya.

Sejak awal program ini dirancang, ICJR, WCSC dan Elsam telah berusaha mengumpulkan pendapat dari para stakeholder yang tergabung dalam Dewan Penasehat Program. Hal tersebut disampaikan oleh Aviva Nababan, Pimpinan Program, dalam pengantarnya di diskusi tersebut. Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh modul-modul yang telah disusun oleh tiga lemabaga tersebut adalah bahwa konteks HAM di dalamnya bukan hanya tentang hak moral tetapi juga hak konstitusional. “ Pada modul-modul HAM lain, modul diawali dengan instrument HAM internasional. Namun pada modul ini dimulai dengan instrumen nasional, konstitusi”, hal itu disampaikan oleh Rinno Arna, fasilitator dalam FGD yang juga telah berpengalaman dalam penyusunan Modul HAM khususnya HAM pada kurikulum pendidikan Kepolisian.

”Secara metodologis, modul menggunakan pendekatan reflektif, karena dimulai dengan pengalaman yang sudah bertahun-tahun dilakukan oleh penegak hukum. Hanya, selama ini mereka belum bisa menandai proses itu sebagai langkah HAM sesuai dengan konstitusi”, lanjut Rinno dalam mengawali memfasilitasi diskusi tersebut.

Hadir dalam FGD, perwakilan dari empat badan pendidikan dan latihan institusi penegak hukum, Kurnia Yani Darmono mewakili Mahkamah Agung, Andi Wijaya Rifa’i mewakili Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Syafruddin mewakili Lembaga Pendidikan Polri, dan Rakhmat Budiman Taufani mewakili Kejaksaan Agung. Dalam FGD ini, Tim Penyusun Modul diwakili oleh Roichatul Aswidah, D. Andi Nur Aziz dan Ikhana Indah. Tim memaparkan garis besar yang telah mereka susun dalam masing-masing modul.

Prinsip-prinsip HAM, sejatinya telah masuk dalam kurikulum pendidikan bagi para hakim maupun calon hakim. Menurut Kurnia Yani Darmono, prinsip HAM yang telah masuk ada dua yaitu Pendidikan HAM mengenai sejarah instrumen HAM, dan bagaimana prinsip dasar HAM internasional disepadankan dengan prinsip hukum nasional. ”Dengan kata lain, penegakkan HAM dalam sistem peradilan yang layak”, tambahnya. Sementara itu, di institusi pendidikan dan pelatihan Kejaksaan, HAM juga menjadi salah satu mata kuliah wawasan. Hal itu disampaikan oleh Rakhmat Budiman Taufani. Menurutnya, HAM khususnya bagi aparat penegak hukum, sangat diperlukan bagi institusi kejaksaan, bukan saja yang bertugas di Papua. Andi Wijaya Rifa’i dari Ditjen PAS juga menginformasikan, bahwa mata kuliah khusus tentang HAM telah diajarkan di Akademi Pemasyarakatan. Namun begitu, pemahaman tentang HAM, masih sangat diperlukan bagi para Widiyaswara (pengajar) di badan pendidikannya tersebut. Sedangkan di pendidikan kepolisian, HAM telah menjadi mata ajar tersendiri. Dalam diskusi tersebut, Syafruddin, memberikan masukan terkait program yang dilaksanakan oleh tiga lembaga ini, yaitu agar dalam pelaksanaan pelatihan, khususnya TOT, peserta yang direkrut adalah benar-benar petugas lapangan, sehingga mampu mengerti dan menghayati HAM secara mendalam.

Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih empat jam itu sangat menarik, dan penting menjadi catatan bersama. Karenanya, ICJR, WCSC dan Elsam, akan mengupayakan langkah yang lebih jauh untuk dapat mengintegrasikan modul HAM bagi aparat penegak hukum di wilayah rentan konflik, yang telah mereka susun. Rencana Tindak Lanjut dari diskusi ini adalah, akan dilaksanakan forum yang membahas pemetaan dari modul/kurikulum yang dimiliki masing-masing institusi penegak hukum dengan modul tim ICJR, WCSC dan Elsam. (Diani)
Blok Komodo, Cendana, dan Melati ; “Arena Bermain” bagi Anak Kupang yang Berhadapan dengan Hukum

KUPANG – Dalam daur hidup manusia, jika masa remaja seringkali dikatakan sebagai masa-masa yang indah dan tak akan terlupakan, maka masa sebelumnya, yaitu masa kanak-kanak, merupakan masa yang paling menyenangkan. Masa dimana seseorang bebas bermain dan belajar mengenali segala sesuatu yang ada di sekeliling. Tanpa beban. Pada fase itu, anak-anak merupakan individu dengan kelabilan psikologi, belum mandiri, dan mudah terpengaruh oleh lingkungan.

Kehidupan dimana anak-anak menjalani hari-harinya, sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Penjara maupun tahanan, tentu merupakan tempat yang tidak diinginkan baik oleh orang tua maupun anak-anak untuk menjalani hari-harinya. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa sejak Januari hingga Agustus 2010, dari 1100 pengaduan masyarakat, 130 (11%) diantaranya adalah pengaduan tentang Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Sementara, KPAI mencatat, Indonesia hanya memiliki 16 unit Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak dari 33 Propinsi yang ada.

Satu dari 16 unit tersebut adalah Lapas Anak Klas IIA Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Yohannes Seo dan Palce Amalo, Peneliti ICJR di Kupang, menuliskan hasil observasinya terhadap Lapas Anak Klas IIA Kupang tersebut dalam sebuah ”Laporan Awal Observasi Wilayah Kupang” terkait dengan riset Komprehensif Kebijakan Penahanan dan Pra-Peradilan di Indonesia, yang sedang dilaksanakan oleh ICJR.

Menurut data yang dihimpun oleh Yohanes dan Palce, Lapas Anak klas IIA Kupang didirikan pada tahun 1997. Didalam bangunan tersebut, terdapat sebuah sekolah formal, setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sekolah tersebut merupakan titipan dari SMP Negeri 11 Kupang. Tercatat sebanyak 25 siswa mengikuti kelas belajar tersebut. Tenaga pendidik adalah guru-guru dari SMP N 11 Kupang dan dibantu oleh petugas Lapas Anak. Gedung tersebut juga dilengkapi dengan sebuah lapangan voli sebagai sarana olahraga.

Palce Amalo pada presentasinya dalam FGD Konsultasi Publik Kota Kupang – “Riset Komprehensif Kebijakan Penahanan dan Pra-Peradilan di Indonesia” yang dilaksanakan oleh ICJR pada Selasa, 25 Oktober 2011 di Hotel T-More Kupang, menyampaikan bahwa Lapas Anak Klas IIA Kupang menampung 58 narapidana dan satu tahanan yang masih dalam proses peradilan di Pengadilan Negeri Kupang. Sebanyak 41 orang anak terlibat kasus asusila, 4 orang anak terlibat kasus penganiayaan, 3 orang anak terlibat dengan kasus ketertiban, 2 orang anak terlibat kasus kealphaan dan 8 orang anak terlibat kasus pencurian.

AKP. Yudhabaskoro, Kasat reskrim Polresta Kupang, dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa terhadap perkara-perkara anak yang masuk ke Polresta Kupang, hanya dikenakan wajib lapor, terhadapnya dilakukan pembinaan saja. Namun, terhadap perkara-perkara anak yang menarik perhatian masyarakat tetap dilakukan penahanan. Penahanan sendiri menurut Kasatreskrim Kupang pada kasus-kasus tertentu, seperti pengrusakan dan penganiayaan, biasanya dilakukan penahanan untuk melindungi tersangka dari aksi balas dendam. Disamping itu, aparat juga mendengarkan masukan dari masayarakat, terkadang ada permintaan dari tokoh masayarakat atau tokoh agama agar dilakukan penahanan terhadap seseorang tersangka. Conny Sahetapy, Jaksa dari Kejaksaan Negeri Kupang menyambung, bahwa untuk melakukan penahanan, institusi Kejaksaan mengacu pada KUHAP, jika penyidik sudah menahan, maka Kejaksaan akan melanjutkan penahanannya.

Sementara itu, Ahmad Lakoni Harnie, Hakim dari Pengadilan Negeri Kupang menyampaikan, bahwa untuk melakukan penahanan, Pengadilan melihat situasi dan kondisi seseorang yang ditahan. Misalnya terhadap seorang ibu yang memiliki balita, maka sangat mungkin ditangguhkan atau dialihkan tahanannya menjadi tahanan rumah. Contoh lain, terhadap anak yang melakukan pidana ringan sementara di lain sisi ia akan melaksanakan ujian sekolah, maka dengan kondisi tersebut Pengadilan akan mengeluarkan penetapan tentang pengalihan dan penangguhan penahanan.

Menyinggung tentang akses bantuan hukum, menurut Ali Antonius, Advokat yang juga mantan dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, hak atas bantuan hukum di kota Kupang relatif terpenuhi terutama bagi mereka yang ancaman pidananya diatas lima tahun. Namun begitu, di daerah-daerah terpencil hak masyarakat akan bantuan hukum belum terpenuhi. Hal itu disebabkan, advokat-advokat di NTT terpusat berada di kota-kota kabupaten saja. Ahmad Lakoni Harni menambahkan, sebenarnya, anggaran di Pengadilan untuk alokasi bantuan hukum berlebih. Untuk perkara-perkara anak juga sudah tersedia anggarannya, namun tidak sedikit dari mereka (Terdakwa Anak-red) yang menolak tawaran bantuan hukum tersebut. Sementara itu, Ester Mantaon dari Rumah Perempuan menyampaikan perihal pentingnya pendampingan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Bimbingan rohani, asupan gizi dan pergaulan dalam tahanan adalah tiga hal penting yang harus diperhatikan.

Simon Nili, Pemimpin Redaksi Timor Expres sekaligus aktivis Aliansi Jurnalis Independen Kupang menambahkan, tentang penempatan tahanan anak dalam blok tahanan juga harus diperhatikan dari segi pengelompokan usia. Anak yang sudah lama tinggal di penjara hingga usianya bertambah menjadi dewasa atau bukan anak-anak lagi mestinya dipindah ke Lapas Dewasa. Hal tersebut berdasarkan pengamatan dan pengalaman Simon dalam memberikan materi belajar menulis pada Lapas Anak Kupang. Yohanes Seo mencatat, Lapas Anak Klas IIA Kupang terdiri dari tiga blok, yaitu Blok Komodo, Cendana dan Melati yang memiliki kapasitas 120 orang. Dengan jumlah tersebut, maka anak-anak yang berhadapan dengan hukum itu memiliki ”arena bermain” yang leluasa. Tidak terjadi over kapasitas. Namun demikian, bukan tak mungkin over kapasitas tidak terjadi, menurut keterangan AKP. Yudhabaskoro, tiap tahunnya perkara anak di Kupang meningkat khususnya untuk kasus pencabulan dengan korban dan tersangka yang masih anak-anak. Ahmad Lakoni Harnie juga mengamini pernyataan tersebut.

(diani