https://indonesiana.tempo.co/read/113931/2017/07/25/vi2_163/cerita-tentang-anak-air-hutan-dan-sulap
Anak perempuan
berseragam SD dalam foto ini sedang melayani pembeli di warung orang
tuanya. Saya mengambil gambar ini pada Senin, 24 Juli 2017. Warung
oleh-oleh itu terletak di tepi jalan raya Karangreja, jalan menuju
Pemalang dari arah Purbalingga, jalur utara Jawa. Kalau saya pulang
kampung bersama keluarga dengan kendaraan sendiri dan lewat jalur ini,
biasanya saya singgah di warung ini untuk beli buah nanas. Buah nanas
jadi salah satu tanaman utama di kebun dan hutan di daerah ini. Orang
tua anak perempuan ini juga punya kebun nanas.
Anak perempuan ini melayani pembeli
dengan cekatan, cepat, dan lincah. Suara keras, intonasi jelas, menyebut
harga-harga dagangan juga cepat, tangan terampil menyodorkan dagangan.
Sebenarnya ada seorang perempuan dewasa yang jaga warung juga. Tapi
sepertinya ia pekerja di kebun nanas. Ia pakai sepatu boot, pegang pisau
besar, dan baju yang ia pakai dilapisi celemek. Sedari saya di situ, ia
diam saja, tidak melayani pembeli. Hanya mengupas buah nanas. Setelah
saya bicara-bicara dengannya, saya menyimpulkan ia perempuan dengan difabel tunarungu.
“Ibu kamu ke mana, Nak?”, tanya
saya pada anak perempuan berseragam SD ini, karena saya ragu dengan
harga-harga yang ditawarkan olehnya. Beberapa sangat murah, beberapa
yang lain sangat mahal. “Ibu sakit. Baru pulang dari puskesmas”,
jawabnya cepat dan keras. Sementara perempuan dewasa yang pekerja
kebun, tidak tahu samasekali harga-harga barang. Lalu dengan suara keras
pula, saya tanya pada perempuan itu (dengan bahasa Jawa Ngapak Kromo
Inggil), “Itu anaknya yang punya warung nie kan Bu? Bapaknya ke mana?”, tanya saya. “Iya. Bapaknya ke gunung, belum balik. Betulin saluran air. Pipa saluran air kita dari gunung ada yang rusak”,
jawabnya tak kalah keras di depan muka saya. Gunung yang dimaksud
perempuan itu adalah bukit. Daerah ini memang daerah berbukit-bukit,
dengan gunung Slamet sebagai penyangganya.
Akhirnya Ibu pemilik warung muncul dari balik pintu warung. Dengan daster lusuh dan sweater
tebalnya, ia tampak kedinginan dan pucat. Saya menyapanya, dan
mengkonfirmasi harga jual yang disebutkan oleh puteri kecilnya itu.
Dan,.......yakkk....., salah semua. Minuman olahan buah nanas seharga
Rp. 25.000,- oleh puterinya dihargai Rp. 10.000,-. Lalu saya tawar jadi
20 ribu rupiah, saya tawar 15 ribu tidak dapat. Opak singkong seharga
Rp. 10.000,- puterinya jual seharga 22 ribu rupiah, nanas kecil satu
ikat Rp. 17.500,- harga versi anak kecilnya jadi 25 ribu rupiah, dan
seterusnya.
Tetiba saya
jadi teringat kebun nanas di atas bukit milik orang tua kawan baik saya,
Reggy, di Dok V Jayapura, Papua. Di sana juga, pipa air mengular dari
bukit nanas dan buah merah turun ke kampung. Kata Bapa Reggy, mereka
rumah-rumah dekat bukit itu dapat air bersih dari pipa air yang
bersumber dari gunung. Masyarakat baku buat sendiri saluran air. Ada
memang sebuah organisasi yang kasih bantuan pipa. Tapi terbatas.
Teman saya yang lainnya, Verro Meak di
Fakfak, Papua, melakukan penelitian terhadap distribusi air bersih di
Distrik Fakfak Tengah pada 2016. Bahkan di Fakfak, yang masyarakat
adatnya, khususnya Suku Mbaham Matta, memandang air sebagai sumber
kehidupan, setara agama dan ideologinya (mereka menyebutnya dengan
istilah “Kra”), namun mengalami keterbatasan air bersih. Di Distrik
Fakfak Tengah, terdapat sistem pipanisasi oleh PDAM. Tapi, dalam temuan
Verro Meak di 13 kampung dan satu kelurahan di Distrik Fakfak Tengah,
sistem pipanisasi tersebut belum termanajemen dengan baik.
Pendistribusian belum merata, saat musim kemarau tiba tidak ada solusi
mengatasi kekeringan. Selain itu, juga dijumpai indikasi perlakuan
diskriminatif dalam distribusi air.
Di banyak daerah di negeri ini,
kebutuhan air bersih di kampung-kampung bersumber dari gunung dan bukit.
Kesulitan mereka hadapi, terutama saat musim kemarau melanda. Daerah
Gunung Kidul, Yogyakarta misalnya, merupakan daerah langganan
kekeringan. Begitu juga daerah-daerah di lereng gunung Slamet Jawa
Tengah. Sejak sekitar Mei-Juni atau bulan puasa 2017 hingga kini
kesulitan air bersih, dan belum ada upaya dari pemerintah untuk
mengatasi situasi itu. Sebagaimana dilansir
https://nasional.tempo.co/read/news/2017/07/20/058892822/penduduk-lereng-gunung-slamet-mulai-kesulitan-air-bersih.
Saat saya pulang kampung Lebaran Juni 2017, debit air sungai-sungai
yang saya lewati di sepanjang lereng Slamet hingga Kampung halaman saya,
Bocari-Purbalingga, masih cukup besar. Namun saat saya pulang kembali
pada akhir Juli ini debit air sudah sangat berkurang.
Di kampung saya dan tetangga-tetangga
kampung, jika air sumur kering di musim kemarau, maka sungai adalah
sumber air bersih kami. Kadang, juga mencari dan menggali mata air baru
di sawah, atau dekat-dekat sungai. Tak jarang, perempuan, anak-anak-lah
yang menimba atau mengangsu air dengan jirigen atau ember dan berjalan
kaki jauh. Saya kanak-kanak mengalami situasi itu.
Di Hari Anak Nasional beberapa hari lalu, Presiden Jokowi melakukan kampanye anti bullying
di lingkungan anak dan sekolah, serta menghibur sejumlah anak-anak di
Jambi, Sumatera dengan main sulap. Kotak kosong disulap jadi bunga.
Ternyata pandai main sulap??! Jujur, saya takjub, setelah pada hari
buku, ia duduk-duduk bersama anak-anak di Jawa Barat untuk mendongeng
legenda-cerita rakyat Lutung Kasarung. Dan di Cilacap juga pernah
bercanda, main tebak-tebakan dengan anak-anak pakai Bahasa Ibunya
mereka, “Jawa Ngapak”.
Tapi Mr. Presiden, jangan lalu sulap
bukit-hutan penyangga kehidupan jadi jalan trans, sulap hutan adat jadi
sawah, sulap belantara kaki gunung jadi PLTP, sulap pohon sagu jadi
padi. Jangan “pindahkan” fauna di rimba belantara ke museum zoologi.
Jangan “pindahkan” flora di hutan ke kebun raya. Yang terlanjur stop
sudah sekarang, lalu lakukan pemulihan pada alam dan korban terdampak.
Sebab kalau diteruskan, presiden-presiden mendatang terlalu banyak bahan
mendongeng buat anak-anak kita. Karena hutan, bukit, sungai, belantara,
dan seisinya musnah sudah tinggal cerita, fabel, dan legenda.
Sulap distribusi dan stok air bersih di
kampung berbukit-bukit jadi lancar dan berkecukupan boleh. Sulap kulit
nanas jadi mainan anak-anak juga boleh. Air merupakan sumber kehidupan semua makhluk. Termasuk bagi anak kodok atau kecebong. Tak terkecuali bagi anak-anak. Semua orang, semua anak
perlu dan berhak atas air bersih. Anak-anak juga perlu berkawan dan bermain dengan air.
Rimba belantara mesti ada. Air harus melimpah. Tidak menyulap hutan menjadi lahan proyek berarti menjaga air terus mengalir.
Cipali, 24 Juli 2017