Rabu, 10 September 2008

News

Eranya Berlomba-Lomba Membungkam Pers

(oleh ; Adiani Viviana)

Hari ini, Selasa tanggal 9 (sembilan) bulan 9 (sembilan) tahun 2008 menjadi hari kelabu bagi para insan pers dan masyarakat Indonesia. Ruang sidang PN Jakarta Pusat yang dipenuhi pengunjung itu menjadi saksi bisu atas ketidakberpihakan Penegak Hukum terhadap kebebasan pers, hak masyarakat akan informasi dan tentunya ketidakberpihakan terhadap KEADILAN.

Sidang pembacaan putusan kasus PT. Asian Agri Group (AAG) Vs PT. Tempo Inti Media (Majalah Tempo), yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Panusunan Harahap, telah mengabulkan sebagian gugatan Penggugat (AAG) dan menolak seluruhnya eksepsi Tergugat (Majalah Tempo). Majelis hakim sepakat dengan AAG bahwa Majalah Tempo dinyatakan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum karena penghinaan. Majelis menghukum Tempo untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 50 juta. Tempo juga diminta menyampaikan permintaan maaf kepada para Penggugat melalui Majalah Tempo, Koran Tempo, dan Harian Kompas selama tiga hari berturut-turut, yang materinya akan ditentukan oleh para Penggugat. Jika lalai, Tempo diancam akan dikenakan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp1 juta per hari.

Putusan tersebut menjadi preseden buruk sekaligus ancaman berat bagi kebebasan pers di Negara kita. Kebebasan Pers mati suri. Pasca reformasi kebebasan pers sempat bersemi, memberi secercah harapan baik bagi insan pers dan masyarakat yang mendamba kebebasan dan kemerdekaan pers. Namun, kini kebebasan pers mati suri. Maka matinya demokrasi di negeri ini pun tinggal menunggu hitungan hari. Pasca reformasi, pembredelan memang sepi, namun rupanya para pihak yang anti terhadap kebebasan pers memiliki cara bredel gaya baru. Para Penegak hukum (hakim) sedang gemar sekali untuk berlomba-lomba membungkam pers melalui putusan-putusan yang membungkam pers.

Sungguh ironis dan menyedihkan, ketika menyampaikan berita dan informasi (pemenuhan hak rakyat atas informasi) diganjar dengan hukuman-hukuman, dibalas dengan vonis telah melakukan penyerangan kehormatan maupun nama baik. Begitu mudahnya para hakim menggunakan pasal-pasal penghinaan dan pencemaran nama untuk menjerat para insan pers yang mewartakan suatu fakta, dan bahkan pada warga Negara yang menyampaikan pendapat dan pikirannya. Akankah kita akan kembali ke dalam era “diam seribu bahasa”, karena takut bicara? Wartawan Metta Dharmasaputra yang menulis berita investigasinya pada Majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007 mengenai dugaan penggelapan pajak oleh Asian Agri Group ini menjadi bukti hidupnya kembali era tersebut.

Dalam putusan kasus AAG Vs Tempo ini sangat tercermin bahwa para hakim sama sekali tidak memperhatikan kepentingan publik. Kepentingan segolongan orang tertentu (yang memiliki kekuasaan) tertentulah yang telah berhasil membangkitkan nafsu para hakim untuk membungkam pers. Dalam putusannya, para hakim sama sekali tidak menggunakan keterangan para saksi maupun ahli yang dihadirkan oleh Tempo dalam persidangan. Termasuk keterangan Saksi dari Biro Hukum KPK yang membenarkan adanya dugaan penggelapan pajak oleh AAG. Atas dasar apa pula para hakim menganggap Tempo telah mengabaikan asas praduga tak bersalah? Bahkan pemakaian data oleh hakim pun tidak tepat, yang menyatakan bahwa “hak jawab baru di muat hampir setahun setelah ada gugatan”. Hal itu adalah tidak benar. Karena AAG baru melayangkan hak jawab 11 bulan setelah Tempo memuat berita dugaan penggelapan pajak tersebut. Majelis hakim juga menilai bahwa pemuatan hak jawab oleh Tempo tidak cukup memadai, tidak proporsional dan bertentangan dengan asas kepatutan dan sifat kehati-hatian. Sebegitu rinci kah hakim dalam menilai hak jawab tersebut? Ataukah hakim kita begitu “dalam ilmu jurnalistiknya”?.

Sekali lagi, vonis terhadap Majalah Tempo ini merupakan bentuk nyata ketakberpihakan penegak hukum terhadap kebebasan pers, terhadap hak masyarakat, dan terhadap keadilan.

Atas dasar apa, Tempo dihukum untuk menyampaikan permohonan maaf secara tertulis pada media besar 3 (tiga) kali penerbitan berturut-turut? Undang-undang mana yang mengaturnya?

Jika hari ini Majalah Tempo sebagai media besar di tanah air yang setia dalam jurnalisme investigasi mendapat pukulan telak dengan vonis PN Jakarta Pusat tersebut, kemudian beberapa waktu lalu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga mengabulkan gugatan PT. Riau Andalan Pulp And Paper, maka setiap waktu hal serupa bisa menimpa media manapun di negeri ini.

PN Jkt Pst, 9/9/08

12.53 – 15.25 WIB