Selasa, 25 Oktober 2016

Emosi Hujan

Pada kota-kota yang kutinggalkan,
Hujan meluapkan emosinya sendiri-sendiri

Di Hongkong van Papua ini,
hujan sungguh tidak kumengerti
Tak bisa aku menari bersama hujan
Tak bisa pula ia menggetarkan jiwa
Apalagi memantulkan pelangi di matamu yang
indah nan tajam itu
Dan hujan, telah meluapkan emosi kita

Jika hujan tertidur malam ini,
ingatlah,
Melaju dan menepilah
Ada bunga rumput yang tersangkut di Padang Bulan


Waena, 17 Oktober '16

Siapakah Santri?

Siapakah santri? Mereka yang sehari-hari sarungan, berbaju kurung dan kerudungan? Mereka yang hafal berbagai puji-pujian, dan seterusnya? Mereka yang mondhok di pesantren, atau alumninya?

Kata Gus Mus, santri adalah setiap mereka yang berakhlak baik.

Akhlak adalah watak dan sifat yang mendorong seseorang untuk berperilaku. Akhlak baik, watak dan sifat yang mendorong seseorang berperilaku baik atau mulia. Berbuat baik kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.

Selamat hari santri nasional, 22 Oktober 2016

Pesan pada Cyclop untuk Pak Jokowi

Puisi ini pernah dimuat di situs http://www.beritalingkungan.com/2016/10/pesan-pada-cyclop-untuk-pak-jokowi.html

Oleh: Adiani Viviana*

Selamat pagi, Gunung Cyclop
Sampai di sini saja sa bisa menatapmu
Sampai jumpa lagi. Sa titip pesan ini padamu

Si Bapak su datang lagi ke Tanah ini
Mau penuhi janji atau bikin janji kaa?

Hadir memang lebih dari sekadar ada
 Tapi tetap, harus banyak dan terus mendengar dan melihat yang terjadi di Tanah ini
Mungkin trada lagi air mata
Namun keringat perjuangan takkan pernah kering, terus mengalir
Untuk hutan sagu yang dilenyapkan, untuk suara-suara yang dibungkam,
Untuk nyawa-nyawa yang ditiadakan paksa, untuk mutiara yang dirampas,
Untuk identitas yang dihancurkan

Di sini, di poros Tanah ini, udara tak lagi ringan dihirup
Berat. Sama beratnya dengan Mama Dolly pu cerita hidup

Ia perempuan yang melahirkan 12 anak
Kini Mama Dolly pu badan pun su sering tra enak
Kini, ia menanggung hidup sendiri
Suami su meninggal karena sakit
Dan ratusan Mama Dolly tersebar di Tanah ini

Iya, hadir memang lebih dari sekadar ada
Dan kehadiran Bapak di Tanah ini selalu menyisakan berbagai cerita
Sa tratau, apakah selalu begini, banyak Polisi dan TNI beraksi
Saat Bapak akan datang ke Tanah ini
Mobil dan motor bersirine riuh menjelang Bapak tiba
Menimpa suara sirine ambulance
Di Tanah ini, hampir setiap hari suara sirine ambulance nyaring menyayat
Entah berisi mayat, maupun manusia yang sedang sekarat

Infrasutruktur yang sedang Bapak canangkan ini, mau ke mana arahnya?
Hanya mengikuti angin berbisik saja kaa?
Jangan lupakan dampak
Jangan tinggalkan kebutuhan pendidikan dan kesehatan ribuan perempuan dan anak

Atau Tanah ini tak perlu itu?
Dengarkan hati dan suara Tanah ini!

Sepertinya, di poros Tanah ini, hujanpun mulai enggan berkawan;
Hujan malam hari tak lagi menghadirkan langit bersih di waktu pagi
Hujan menyisakan sampah berserak di sana sini
Air got-got meluap ke jalanan
Hujan juga menyisakan cerita lenyapnya internet pu jaringan
Ya, langit dan awan yang memayungi tanah ini tak lagi sebersih dan sebiru dahulu
Gurat-gurat asap dan debu menjadikannya kelabu
Mirip kelabunya nasib hutan sagu
Trada lagi sa lihat gerombolan kupu-kupu

Barangkali hanya gunung Cyclop yang trada berubah
Sekejap memandangnya, ia masih tampak berwibawa, anggun dan gagah
Menatapnya menggetarkan jiwa

Kepada Cyclop, mungkin kita bisa bertitip pesan
Agar ia ingatkan Si Bapak dan kawan-kawannya;
Jika mereka sakiti dan lalai penuhi kewajiban
Jika mereka terus membelenggu kebebasan
Jika mereka terus memperkosa Ibu Kandung dari orang-orang di sini: Tanah ini !!

Sentani, 18 Oktober 2016

*Penulis adalah Pekerja Hak Asasi Manusia

Jumat, 21 Oktober 2016

RIP, Gabrielin Assem: Perempuan Pembela HAM dari Sorong

Tulisan ini pernah dimuat pada Tabloid JUBI (Jujur Bicara)


Oleh: Adiani Viviana*



Kabar kematian pembela hak asasi manusia di Papua datang silih berganti. Letak nyawa pekerja hak asasi manusia di Papua barangkali hanya sejengkal kaki dengan “pencabutnya”. Dampak terkeji dari kerja-kerja advokasi hak asasi manusia oleh mereka, adalah penyiksaan oleh aparat, dan hilangnya nyawa secara paksa. Selain itu juga derita sakit menaun, yang bisa jadi disebabkan terlampau beratnya hambatan dan tantangan pekerjaan, sementara fasilitas kesehatan sangat terbatas.

Yaa, pada kurun enam bulan terakhir, setidaknya tiga orang Pembela HAM meninggal dunia. Pada Mei 2016, kita kehilangan Robert Jitmau, akrab disapa dengan panggilan Rojit. Ia ditabrak di Jalan Ring Road Kelurahan Hamadi Kota Jayapura Pada Jumat 21 Mei 2016, sekitar pukul 05.00 WIT. Diduga keras, penghilangan nyawa terhadap Rojit dikarenakan kerja-kerja advokasinya. Rojit dikenal sebagai pekerja hak asasi manusia yang gencar dan bersuara keras dalam memperjuangkan hak-hak pedagang Asli Papua, dan memperjuangkan kondisi pasar tradisional di Tanah Papua yang lebih baik. Kini, kasus penabrakan terhadap Rojit disidangkan di Pengadilan Negeri Jayapura.

Selang dua bulan kemudian, pada Juli 2016, barisan pembela hak asasi manusia, khususnya di Tanah Papua, kembali menanggung duka. Olga Hamadi, perempuan pengacara publik, yang pernah memimpin Kontras Papua di Jayapura, meninggal pada Kamis dini hari, 28 Juli 2016 karena sakit. Ia konsisten memberikan bantuan hukum cuma-cuma, khususnya di wilayah hukum Jayapura. Salah satu kasus yang ia advokasi adalah Kasus Abepura-2005.

Pada Sabtu Sore, 1 Oktober 2016, kabar duka datang lagi. Pesan dari Sorong, Papua Barat terkirim secara berantai. Gabrielin Assem, perempuan pembela hak asasi manusia di Sorong, menghembuskan nafasnya yang terakhir. Linda pergi karena sakit. 

Antara percaya dan tidak. Saya mengabarkan pada beberapa kawan Papua yang ada di Jakarta. Lalu saya menghubungi Nina, kawan saya, juga kawan Linda. Handphone dia angkat, tapi kami sama-sama terdiam lama. Lalu kami sama-sama tak dapat menahan isak. Tangis pecah di antara kami. Belakangan, begitu banyak kabar menyedihkan dari Papua. Sedianya dalam waktu dekat Linda akan bersama kami di suatu acara.

Linda, panggilan keseharian Gabrielin Assem, bergiat di BELANTARA. Sebuah organisasi non pemerintah yang dipimpin oleh Max Binur, di Sorong. Linda adalah salah satu tulang punggung BELANTARA. Semangat kerja dan dedikasinya luar biasa, tak dapat diragukan lagi. Bukan hanya keluarga Linda dan BELANTARA, yang merasakan duka mendalam. Kepergiannya juga menjadi kehilangan besar bagi Mama-Mama Pasar di Pasar Remu, kota Sorong. 

Di saat gempuran budaya asing masuk melalui feysen anak muda, Linda justru melawan arus. Pada Februari 2016, Linda membentuk komunitas Toki Toki Noken, di Sorong. Linda menggerakkan kaum perempuan muda Sorong untuk melestarikan Noken melalui wadah yang ia motori itu. Toki Toki Noken juga menjadi tempat bagi Mama-mama Pasar Remu, untuk mengembangkan kapasitasnya dalam usaha, juga memasarkan Noken karya mereka. 

Bagaimana, su ada Noken kah? Antar, sudah. Ada pesanan!”, kata Linda pada seorang Mama penjual pisang di Pasar Remu. Pada suatu hari di bulan April 2016, Linda memperkenalkan beberapa Mama-mama binaanya di Toki Toki Noken pada saya, di Pasar Remu Sorong. Pertanyaan Linda pada Mama penjual pisang itu, sesungguhnya bentuk dan cara Linda memotifasi mereka.

“Mereka narasumber riset saya, Kak. Awalnya mereka tra mau. Menolak saya. Waktu datang ke pasar pertama kali, sa juga dimaki-maki sama Mama-mama Pasar. Mereka bilang jangan kami ditipu-tipu. Tapi kemudian sa jelaskan baik-baik, akhirnya sekarang malah jadi teman.”, cerita Linda.

Linda merupakan salah satu alumni pendidikan hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh ELSAM Jakarta dan PBI. Ia terpilih untuk mengikuti Kursus Dasar Pembela HAM pada Agustus 2015 – Februari 2016. Sebuah metode pengembangan kapasitas pembela HAM, khususnya dalam pendokumentasian. Linda mengajukan proposal riset tentang diskriminasi terhadap pedagang Asli Papua yang terjadi di Pasar Remu, Sorong. Ia berproses cukup tekun dalam menulis laporan risetnya. Kini, laporannya sedang dalam persiapan untuk publikasi.

Linda adalah sosok muda Papua, yang memilih “menjaga gawang”, di saat peta politik di Papua sedang bergejolak, dan sejumlah pemuda Papua berperan didalamnya. Linda memilih setia merawat budaya, memberdayakan Mama-mama. Ia menghidupkan semangat Mama-mama, melalui jari-jemari, dan kesabarannya. Linda telah menjadi agen perubahan bagi perempuan muda dan Mama-mama Pasar Remu khususnya, dalam menjaga dan melestarikan budaya Papua, sekaligus pemberdayaan ekonomi mereka. 

Toki Toki Noken memiliki basecamp dan etalase di sekretariat BELANTARA, Sorong. Sebuah ruang memanjang kira-kira berukuran 2x5 meter menjadi ruang Linda dan komunitasnya merajut Noken, belajar bersama, berkreasi dan bertukar ide. Di depannya, ruang yang lebih kecil menjadi etalasi Noken, tutup kepala dari kulit kayu, dan lukisan-lukisan Papua. Linda juga telah mempublikasikan Toki Toki Noken secara online melalui facebook Toki Toki Noken.

 “Sa pu tulisan tra bagus, Ka.  Sa mau belajar. Biar juga bisa publikasikan Toki Toki lebih luas”, kata Linda suatu ketika lewat telephon.

Cita-cita Linda banyak. Dan ia tidak hanya sekadar bercita-cita, tapi juga mewujudkannya tahap demi tahap. 

Nina menuliskan duka mendalamnya di facebooknya. “Sedih sekali hari ini…Linda Assem meninggal dunia. ‘Anda tidak bisa hanya bermimpi, anda harus melakukannya’. Dan dia melakukan…banyak….dan ia ingin lebih banyak….tapi hidupnya terlalu pendek”. Nina memasang foto Linda yang sedang memakai kaos biru bertuliskan “You can’t only dream, you just do”.

Yaa, Linda baru saja berulang tahun ke-26 pada 29 September 2016. Dan sehari kemudian ia lahir di alam kehidupan abadi. Kontras dengan status terakhir Linda pada facebooknya “Di antara kehidupan dan kematian”. 

Selamat jalan Linda, kamu telah berikan pembelajaran berarti bagi kaum muda Papua, dan kaum muda dimanapun berada. Mungkin Toki Toki Noken tanpa kamu bagaikan Tifa tak bertutup kulit Soa Soa. Tapi kau telah wariskan segala yang kau punya melalui tulisanmu dan Toki Toki Noken itu. Semangatmu terus menyala di sana, di antara perempuan-perempuan muda dan Mama-mama.  Selamat berkumpul dengan para pejuang kemanusian dari Tanah Papua, Kakak-Kakak yang telah berada dalam kedamaian abadi bersama Bapa di Surga.


Penulis adalah Pekerja HAM, bergiat di ELSAM Jakarta

Rabu, 13 Januari 2016

Nyanyi Sunyi di Hargo Dumillah

http://www.beritalingkungan.com/2016/01/nyanyi-sunyi-di-hargo-dumillah.html


Oleh : *Adiani Viviana


Sejak semula, aku tahu, bahwa pada akhirnya aku harus mengucapkan selamat berpisah kembali padamu, duhai tanah yang tabah, pohon-pohon purba, jurang Pangurip Urip dengan kerahasiaan abadi, sendang-sendang yang setia berabad-abad tetap basah, dan desau Hargo Dumillah yang sunyi. Aku berlambat-lambat, agar berjumpa Senja. Semua yang berjiwa lembut mencintai Senja.
 
Senja Yang Agung turun, menyelimuti deburan awan tempatku berlarian. Angkasa mekar dengan cahaya-cahaya merah berpendar. Angin gunung bergulung menuju balik bebukitan. Pucuk-pucuk merah daun Pohon Cantigi tak lagi tampak. Di ketinggian tanah dan langit ini, hatiku yang bergelombang menangkap lantunan menyeru kaum Muhammad untuk menghadapkan wajah pada Penciptanya. Memuja Senja. 

Keagungan Senja makin mencekam. Gerimis melibas aroma bunga ilalang, bangkai pohon yang terbakar, dan Edelways kering yang selamat dari kobaran api. Sementara aku, aku terseok, merintih, tenggelam dalam gelap hutan kering yang panjang. Meninggalkan jejakku, membunuh waktu, dan merekam tiap cengkerama penghuni hutan yang panas kerontang.
Aku menangis, mengetahui hidupku dalam Genggaman Waktu. Deburan awan masih menjadi singgasanaku. Mata telanjangku masih dapat menerobos pancaran fajar. 
 
Tangisku gersang, karena kakiku hanya dapat menari bersama rumput kering dan embun tipis. Mulutku hanya menyapa ranting-ranting, anggrek dan lumut kering. Dan semua yang tersisa dari ulah keji manusia. Kulit dan rambutku hanya dapat bermandikan sinar menyengat beraroma asap. Lalu menghirup udara tebal berdebu kering. Tak kujumpai Jalak hitam-Jalak hitam penuntun jalan. 

Kijang liar yang kadang sekonyong-konyong di depan mata, tak ada. Malam dan Siang, bagaimana membuka hati tangan-tangan kotor pembakar hutan ini? Bagaimana menyadarkan para cukong kayu dan para penguasa itu, juga pendaki tak berhati, kalau hutan ini bukan sekadar tempat aku, ia, mereka bermain, dan bukan sekadar tempat mencari penghidupan bagi sebagian yang lainnya? Tapi jauh dari itu, hutan ini adalah Rahim Kehidupan bagi semesta, bagi yang hidup dan yang mati. 

Berat untuk beranjak dan mengucapkan selamat tinggal pada hutan ini. 

Sebelum benar-benar mengucapkan selamat tinggal (yang mungkin untuk kembali lagi), apakah aku boleh tahu, mengapa jiwaku terpaut di sini? Mengapa selalu ingin kembali? Mengapa Buananya selalu menyimpan cerita yang tak habis untuk dibaca? Mengapa Buminya selalu memantulkan bau rindu yang membuat ngilu hati?
Seekor lebah dan kupu-kupu mengkepak-kepakan sayapnya di hadapan mataku, seolah hendak mengkabarkan sesuatu. Namun hanya sekejap, keduanya lalu terbang. Seperti awan yang berarak, yang entah ke mana bersarang. 
 
Aku akan kembali. Aku akan kembali, kupinta engkau tetaplah jadi Rahim Kehidupan. 
 
Cemoro Kandang, 31 Desember 2015
 
 
* Penulis adalah Anggota luar biasa Gopala Valentara PMPA FH UNS, dan pekerja hak asasi manusia.
 
 
 

Tentang Sebuah Nama



 Pertama kali dipublikasikan di Facebook - 10 Januari 2016


"Ini Pipiana ya? Enggak pakai "h", belakangnya? Pipianah? ", tanya petugas klinik mata di Bogor pada saya sambil menyodorkan kartu berobat pada suatu kali. "Viviana. Pakai "V, Victor". Bukan "Fanta"", jelas saya sambil mengeja.

Seorang teman yang saya tuakan juga pernah, menyebut nama belakang saya "Pipiana", saat memperkenalkan diri di depan persidangan di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Tapi esoknya dalam risalah sidang saya temukan nama saya tertulis dengan benar: Viviana. Konon, lidah orang-orang Sunda tidak mengenal huruf "F" dan "V". Keduanya berubah menjadi "P" dan "eP" pada lidah mereka. Jadi, nomor polisi pada kendaraan Bogor bukan "F", melainkan "eP". Tak ada orang bernama "Fajri" di Sunda, adanya "Pajri".

Saat saya naik kelas enam sekolah dasar, saya menuntut Bapak saya untuk mengganti nama belakang saya. Mengubah akta kelahiran saya ke kantor catatan sipil. Saya ingin punya nama seperti sebagian besar kawan-kawan saya di kelas: Robi’ah, Khusnul Khotimah, Khodijah, Surifah, Stahiroh. Nama yang saya inginkan adalah nama Ibu saya: Fatimah. Namun Bapak saya yang bernama Jusuf itu menolak. Katanya, seorang muslim tidak harus memiliki nama dengan menggunakan Bahasa Arab. Saya kecil gagal paham.

Hingga kemudian, saat saya duduk di sekolah menengah pertama, saya mengetahui salah satu teman Kakak saya ada yang bernama Kirdun. Kata Kirdun berasal dari Bahasa Arab. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya menjadi monyet. Tidak jelas betul mengapa orang tua Kirdun memberinya nama "Kirdun".

Seperti Bahasa Sunda yang merupakan bagian dari kekayaan budaya Indonesia, Bahasa Arab merupakan bagian dari budaya Arab. Kata Gus Dur, yang harus kita serap adalah ajarannya, bukan budayanya. Karena Islam datang bukan untuk mengubah hidup leluhur kita jadi budaya Arab.
Di Turki, terdapat sebuah masjid yang memiliki nama samasekali tak berbau Arab, karena tidak menggunakan Bahasa Arab. Juga tidak berbau ke-Islam-islaman. Masjid itu bernama "Anggap Saja Sudah Makan", atau dalam Bahasa Turki disebut Masjid "Shanke Yadem". Rumah Tuhan atau dalam Bahasa Arab "baitullah" itu tetap ada dan melegenda.

Masjid Anggap Saja Sudah Makan berdiri karena pemikiran dan kesungguhan niat dari Khaeruddin Afandi. Afandi bukan pemikir atau tokoh kenamaan Turki sebagaimana Mustafa Kemal Attaturk. Ia hanyalah seorang lelaki yang hidup dalam kesederhanaan. Muslim yang hidup di pinggiran Istambul itu mampu menahan nafsunya terhadap makanan-makanan lezat yang ia lihat dan inginkan. Ia menganggap diri sudah makan. Afandi menyisihkan uang makannya itu. Ia berniat mendirikan masjid. Hingga kemudian masjid yang ia impikan berdiri di tanah Turki. Warga Muslim di seputaran Istambul menyemut beribadah di sana. Dan setelah mendengar kisahnya, mereka memberinya nama masjid itu "Shanke Yadem - Anggap Saja Sudah Makan"

Setelah perang dunia pertama, terbentuk Konferensi Perdamaian Paris. Negara-negara yang kalah perang seperti Turki, Bulgaria, Hongaria, dan Austria mengadakan perjanjian dengan negara-negara baru. Perjanjian ini berisi perlindungan hak-hak kaum minoritas atas dasar agama, ras, dan bahasa.
Tentang penamaan masjid di Turki yang tak lazim itu, tidak ada bentuk penolakan apapun dari pihak manapun di Turki. Barangkali goresan sejarah, khususnya sejarah Attaturk cukup berpengaruh. Saat Turki beralih dari Kesultanan-Islam menjadi Republik-Sekuler, Attaturk mulai melarang simbol-simbol Islam. Sebutan nama "Allah"yang merujuk pada Tuhannya umat Islam, mulai digunakan dengan nama "Tanri", Bahasa Turki yang berarti juga Allah.

Di Indonesia, kata "Tanri" salah satunya digunakan sebagai nama orang. "Tanri Abeng". Jika merujuk pada Bahasa Turki, nama pengusaha yang juga mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN pada Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan itu, menjadi "Tuhan Abeng". Tak ada protes dari Turki atau pihak manapun kepada Indonesia atau keluarga Tanri Abeng untuk mengganti namanya. Berbeda dengan MUI Jawa Timur yang pada 2015, getol meminta "Tuhan", seorang lelaki tukang kayu di Banyuwangi, untuk mengubah namanya.

Pada negara-negara yang "mampu jaga jarak" dalam urusan antara negara dengan agama, seperti Turki, agama atau keyakinan dan pemeluknya dapat hidup dengan damai dan sehat. Sebaliknya, pemerintah yang kebablasan intervensi urusan agama, dapat jadi penghalang terciptanya perdamaian dalam kehidupan beragama atau berkeyakinan. Di Turki sejak April 1928, agama menjadi urusan tiap-tiap pribadi. Tiap penduduk Republik Turki boleh memilih agamanya, dan bebas beraktivitas keagamaan. Adanya Masjid Anggap Saja Sudah Makan salah satu buktinya.

Mungkin jika Islam pertama kali diajarkan di kota Xin Zhou, bukan Mekkah, ia akan identik dengan Bahasa China atau Mandarin, bukan Bahasa Arab. Tapi bukankah kebanyakan Muslim di China juga tetap menggunakan nama dengan bahasa mereka? Tengok pendiri Dinasti Ming. Ia adalah Jendral Muslim terkemuka, namanya Zhu Yuanzhang. Termasuk Laksamana Cheng Ho, penyiar Islam di bumi Nusantara ini, yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama masjid Muslim Tionghoa di kota-kota di Indonesia: Masjid Muhammad Cheng Ho. Salah satunya di kampung halaman saya, Bocari-Purbalingga.

Konon, berbeda dengan Shakespear yang menganggap apalah arti sebuah nama, dalam ajaran Islam nama memiliki kedudukan penting. Saat nama seseorang dipanggil oleh orang lain, malaikat di sekelilingnya mengamini seruan nama itu. Orang tua dianjurkan oleh Allah untuk memberikan nama yang baik kepada keturunan-keturunannya.

Yang dianjurkan adalah "baik". Baik tidak bergantung pada bahasa apa yang digunakan, melainkan pada keyakinan akan nama itu, makna dan harapannya.

Barangkali saya tidak akan mengubah atau minta ganti nama lagi. Saya suka dengan nama saya, dan bangga pada Bapak-Ibu saya atas penamaan raga saya: Adiani Viviana. Campuran dua bahasa, bukan Bahasa Arab, yang saya yakin bermakna baik. Juga nama alias saya yang tak berbahasa Arab. Lihatlah nama "Abu Lahab". Dalam sejarah Islam ia dikenal sebagai sosok dengan kebencian mendalam terhadap Islam. Juga nama "Abu Jahal" - Bapaknya Kebodohan. Keduanya menggunakan Bahasa Arab bukan?


Adiani Viviana,
Updates 31 Desember 2016