Jumat, 20 April 2012

Pohon Tua dan Pak Alley


Pada suatu malam, di Jalan Raya Bogor di sepanjang Cilangkap, terlihat gerombolan orang berjalan kaki menuju arah Bogor, dan ke arah sebaliknya, arah Jakarta. Sementara, di sebuah tempat, yaitu tempat dimana gerombolan orang yang berjalan kaki itu mulai bertolak, terlihat puluhan orang sedang mengerumuni bangkai pohon tua.

Situasi semakin padat dan bising ketika sebuah mobil dari Tim SAR Bogor mendenging-denging melaju dengan kecepatan tinggi mendekati bangkai pohon tua itu.

Seorang anggota Brimob yang berdiri di tengah jalan dengan sepeda motornya berdiri melintang jalan, sangat sibuk menginstruksikan para pengemudi kendaraan dari arah Jakarta menuju Bogor untuk berbalik arah. Tangan kanannya tak henti-hentinya memberi isyarat putar balik, tanpa memberitahu alasan dari instruksinya itu. Dalam keadaan darurat, sebuah instruksi memang harus secara cepat dan sigap diedarkan dan dilaksanakan.

Malam itu, Rabu 20 Maret 2012, saya turut menjadi pejalan kaki bersama gerombolan orang yang berjalan kaki kiloan meter menuju ke arah Bogor. Angkot berwarna biru tua yang saya tumpangi dari PAL dengan tujuan terakhir Cibinong, turut berbalik arah mengikuti instruksi “komandan”.

“Ada apa ne. Ada apa ne?”, diliputi rasa ingin tahu, para penumpang saling bertanya dalam saling ketidaktahuan.

Sopir angkot, berusaha menjadi informan pertama bagi para penumpangnya. Setelah putar balik, sambil terus mengemudikan angkotnya diantara padatnya kendaraan lain, ia terus berusaha bertanya, berteriak, pada sesama sopir angkot.

“Pohon guedhe tumbang melintang jalaaaaaan”, seorang sopir angkot berteriak dari balik kemudinya.

“Huhhh”, para penumpang mengeluh. Sopir angkot mempersilahkan saya beserta penumpang lainnya untuk turun, tanpa membayar ongkos. Ia akan menuju arah Jakarta lagi.

Awalnya saya berjalan kaki bersama 5 orang, namun tiga orang dari 5 tersebut tidak berjalan kaki sampai Cibinong. Karena memang tujuan mereka tidak begitu jauh dari lokasi tumbangnya pohon tua. Tinggalah saya bersama Pak Alley, berduet jalan kaki hingga pasar Cibinong.

Saat melewati pohon tua yang roboh itu, kami sempat mendekatinya. Itu adalah Pohon Asam raksasa yang sudah dimakan usia. Mungkin usianya setua Jalan Raya Bogor itu sendiri, tempat dimana Pohon Asam raksasa tumbuh, berdiam, dan tumbang.

Jalan Raya Bogor, merupakan jalan raya legendaris yang menghubungkan Bogor dengan Jakarta. Jalan Raya ini telah ada sebelum Marsekal Herman Willem Daendels memerintahkan membangun Jalan Raya Pos antara Anyer sampai Panarukan.

“Emang pu’un udah waktunya roboh. Udah tua. Dari jaman Belanda itu udah ada”, cerita Pak Alley pada saya disela-sela kami jalan kaki.

Jaman Belanda yang dimaksud Pak Alley, tentu adalah jaman Daendels tersebut. Menurut beberapa pengamat budaya, dan pelaku sejarah, salah satu penanda atau peninggalan di sepanjang jalan Raya Bogor pada masa Daendeles tersebut, memang hanya pohon-pohon Asam tua yang berdiri berderet di tepi jalan itu.

Kulit kayu pohon-pohon itu terlihat sangat hitam legam, dan seperti mau terkelupas. Namun begitu, daunnya selalu bersemi mengikuti musim, sehingga sangat hijau dan rindang, cocok sebagai pohon peneduh jalan. Di pagi hari, mereka terlihat sangat cerah dan berwibawa. Pada siang harinya, pohon-pohon itu terlihat berdiri anggun bersahaja. Namun, dimalam hari, terlebih jika turun hujan, pohon-pohon itu menjadi terlihat seperti tidak bersahabat dengan para pengguna Jalan Raya Bogor.

Pohon-pohon tua yang berhasil survival dan terus survive itu memiliki peranan yang sangat berarti bagi kebersihan udara di sepanjang Jalan Raya Bogor tersebut. Setiap menit terdapat kendaraan bermotor yang melintasi jalan tersebut. Ratusan sepeda motor, angkutan umum, truk, bus, kendaraan pribadi, tronton, kountainer melintasi Jalan Raya Bogor. Seiring dengan laju ratusan kendaraan tersebut, tercipta berton-ton zat karbondioksida yang tidak baik untuk kesehatan pernafasan, dan kulit manusia.

Jalan Raya Bogor, juga dikenal sebagai jalur pabrik. Di sepanjang jalan itu, terdapat puluhan pabrik skala besar yang beroperasi tiap hari. Mulai dari pabrik mesin air, makanan, tekstil, hingga minuman. Proses produksi pabrik tentu juga menghasilkan zat karbondioksida, yang berkontribusi besar pada pencemaran udara.

Kesetiaan pohon-pohon Asam tua pada Jalan Raya Bogor tak bersyarat. Justru ia menjadi penetralisir zat beracun karbondioksida tersebut. Pada saat pepohonan melakukan fotosintesa untuk menghasilkan zat oksigen, pada saat yang bersamaan ia menghisap zat karbondioksida.

Nafas Pak Alley mulai terdengar tak beraturan. Keringat mulai menetes dari keningnya. Namun, di sepanjang jalan, ia terus saja bercerita.

Rambutnya memang telah memutih semua. Namun giginya masih rapi. Jika melihat jalannya yang masih tegap dengan ritme yang cepat pula, siapa menyangka ia telah berusia 71 tahun. Pak Alley, mampu bertahan karena semangat hidup yang tinggi, terus beraktivitas dan bermanfaat bagi sesama.

Begitu juga Pepohonan. Pohon, mampu bertahan hidup lebih dari 3 tahun. Lebih lama satu tahun, dibanding semak-semak. Bahkan, sebatang Pohon Cemara di Jepang, ditengarai telah memiliki usia selama 7200 tahun. Tiap bagian dari pohon cemara memiliki manfaat, mulai dari kayu, getah, daun, biji, hingga rantingnya.

Saya teringat pada pohon yang berbentu huruf V, pohon tua yang tumbuh di ketinggian sekian mdpl (meter di atas permukaan laut) mendekati Hargodumillah, puncak gunung Lawu. Sahabat-sahabat saya, Monica Christihani, Choiriyah, Yulius Sigit, dan Wuwuh Setiono, memberinya nama pohon Victory. Namun, saya memberinya nama pohon Viviana. Mereka berempat lebih dulu mengenal pohon V, dibanding saya. Terakhir saya mengunjungi Lawu, di pertengahan tahun 2004, pohon V masih hidup. Tegak berdiri.

Melewati depan Pabrik Roti dan Café Maxim, saya mulai memelankan ritme jalan kaki saya. Tapi tidak dengan Pak Alley, ia terus melaju.

“Saya mah tiap pagi jalan-jalan. Jalan kaki ndak pakai sandal, mengikuti jalur rel mati”, seru pak Alley menceritakan salah satu aktivitas hariannya.

Ia tinggal bersama anak perempuannya. Anak tunggal. Istri pak Alley telah meninggal. Suami anak perempuannya juga telah meninggal. Dulu, pak Alley adalah sopir angkot, jalur Cibinong-Pasar Rebo. Kini mereka hidup dari uang kiriman Cucu pak Alley yang bekerja di Bandung.

“Nah, sampai juga kita Neng. Neng mah, lurus kan ya? Saya mau mampir pasar dulu, beli kue pukis buat cicit. Demen banget ama kue pukis yang di pengkolan situ”, sambil menyeka keringatnya dengan sapu tangan, Pak Alley memberi aba-aba perpisahan.

Saya menyambut aba-aba itu dengan mengucapkan terima kasih dan menyodorkan tangan, menyebutkan nama saya.

“Saya Pak Alley. Ndak tahu dah, dari lahir namanya segitu doang. Hati-hati ya Neng. Ati-ati masih naik satu angkot lagi”, Pak Alley menyebutkan namanya, diikuti nasehat buat saya, sambil melambaikan tangan, berbelok menuju pengkolan tempat penjual Pukis kesukaan cicitnya.

Seperti manusia yang berregenerasi, pohon-pohon Asam tua di sepanjang jalan Raya Bogor juga perlu regenerasi. Tumbang satu tumbuh seribu.

Jumat, 09 Maret 2012

Negara Saya Butuh 1000 Mesin Cuci Darah



Oleh : Adiani Viviana

Bunyi mesin haemodialisa yang mendenging bersaut-sautan jadi seperti suara orang meraung. Waktu sudah menunjukkan pukul 08. 30 WIB. Namun, di Sabtu pagi itu, saya hanya melihat dua orang suster saja yang sedari tadi terlihat hilir mudik dalam ruangan Haemodialisa Rumah Sakit Umum Daerah PMI Bogor Jawa Barat itu.

Hampir semua tempat tidur sudah “dikapling” oleh pasien Haemodialisa. Beberapa diantara pasien itu ada yang sudah berbaring sambil memejamkan mata, ada yang berbaring sambil tangannya terus menggerakkan tasbih, ada yang duduk berselonjor diatas tempat tidur sambil menundukkan kepala, ada yang duduk di bibir tempat tidur saling berhadapan dengan pasien lain sambil mengobrol menceritakan kondisi tubuh masing-masing selama seminggu terakhir, dan sebagian yang lain menunggu di luar ruangan karena tempat yang sudah mereka kapling masih dirapikankan oleh suster jaga.

Haemodialisa atau biasa disingkat HD, dalam istilah sehari-hari biasa disebut cuci darah. Pasien cuci darah adalah orang-orang yang yang secara medis dinyatakan mengalami gagal ginjal atau ginjalnya sudah tidak berfungsi normal lagi. Menurut dr. Winarni, dokter spesialis ginjal dari Rumah Sakit Pertamina Pusat Jakarta, penyebab gagal ginjal secara umum ada dua, yaitu penyakit gula darah atau diabetes akut dan penyakit hipertensi atau darah tinggi yang menaun.

Vonis cuci darah dapat mengenai siapa saja, tanpa melihat jenis kelamin maupun usia. Secara medis, cuci darah bukanlah sebuah penyembuhan atas tidak berfungsinya organ ginjal. Ia merupakan sebuah upaya medis untuk menjaga agar kesatuan tubuh tetap dapat beraktivitas dengan baik.

Frekuensi cuci darah bergantung pada tingkat kerusakan ginjal pasien. Ada pasien yang harus menjalani cukup 1 (satu) kali dalam seminggu, ada yang 2 (dua) kali dalam seminggu dan yang paling banyak adalah 3 (tiga) kali dalam seminggu. Sekali proses cuci darah itu sendiri berlangsung antara 3,5 (tiga setengah) jam sampai dengan 5 (lima) jam. Bahkan pada awal-awal seseorang menjalani cuci, biasanya ia menyelesaikan proses sampai 6 (enam) jam.

Vonis cuci darah seperti sebuah tamparan perih bagi orang yang dikenai vonis tersebut, tak terkecuali juga buat keluarga dekat. Terlebih jika yang dikenai vonis adalah orang yang masih berusia muda atau usia produktif. Hal itu menjadi pukulan yang cukup berat.

Saya mengalami situasi itu, saat dokter spesialis ginjal RSPP Jakarta dengan tegas dan lugas menyampaikan vonis untuk Bapak saya, dihadapan saya, pada 21 November 2008 silam. Kaki terasa tak menginjak bumi, tangan terasa lemas, saat pertama kali mendengar vonis dokter.

“Berdasarkan hasil pemeriksaan, ditemukan cacat permanen pada ginjal Bapak, pada suatu hari memerlukan cuci darah. Kondisi ginjalnya sudah menjelang cuci darah…..”, jelas dokter Winarni menerangkan hasil tes urine, ronxen, dan tes darah Bapak saya. “Tapi yang lain-lain bagus, gula, jantung, hati, bagus”, lanjutnya.

Dokter perempuan yang biasa disapa dengan panggilan dokter Win itu terus menepuk dan mengelus punggung saya. “Yang sabar ya mbak ya, nanti pelan-pelan disampaikan ke Bapak, Ibu dan saudara-saudara”. Kaki dan suara saya gemetaran. Saya tengok ke belakang, Bapak saya dengan setelan baju tidur berwarna biru laut sedang meringkuk dengan botol infuse menggantung di atasnya.

“Saat ini, kondisi tekanan darahnya perlu distabilkan, melalui obat dan menu makan. Tekanan darah yang tinggi, akan terus merusak ginjal”, jelas dokter Win, memberi saran.

Sebetulnya ketika itu saya tidak terlalu tahu tentang cuci darah. Tapi putusan dokter yang mengharuskan Bapak saya menjalani cuci darah, seperti bunyi dentangan lonceng yang menakutkan. Bahkan, ketika itu saya tidak tahu, bahwa cuci darah harus dijalani selamanya, tidak boleh berhenti, karena bisa mengganggu atau merusak organ tubuh lainnya. Itulah yang membuat orang dan keluarga yang divonis cuci darah menjadi sock. Selain karena proses cuci darah dan upaya penjagaan lainnya agar kondisi tetap stabil, memakan biaya yang tidak sedikit. Merupakan sebuah mukjizat jika seorang yang sedang menjalani cuci darah dinyatakan dapat berhenti cuci dan bisa beraktivitas secara normal tanpa gangguan ginjal.

“Yang harus dilakukan sekarang adalah, pertama menerima penjelasan dokter, kedua membuat sarana cuci darah, yaitu memasang kateter atau cimino, ketiga pertahankan tekanan darah tetap stabil”, jawab dokter Win, saat saya dan Kakak Pertama saya menanyakan apa yang harus kami lakukan segera.

Emosi Bapak saya tak bisa dibendung. Ia berbicara dengan nada meninggi kepada dokter spesialis ginjal itu. Bapak saya belum bisa menerima kenyataan dan penjelasan dokter yang berasal dari Solo itu. Di hadapan dokter Win, Ibu saya, kakak saya, dan saya, ia menyatakan diri tidak bersedia untuk menjalani cuci darah. Kami meninggalkan rumah sakit dengan kebingungan tersendiri. Namun bagi dokter Win, ia biasa menghadapi situasi seperti itu. Penolakan dari pasien atas penjelasan dan sarannya, dan kebingungan anggota keluarga.

“Apa ada alternative lain Dok, selain cuci darah?”, tanya kami. “Bagaimana dengan cangkok ginjal, Dok?”, sambung Kakak Pertama saya.

“Cangkok ginjal itu, cangkok ginjal sehat dimasukkan ke ginjal, dan itu yang akan bekerja. Kalau sudah cangkok memang ndak perlu cuci, tapi memerlukan obat secara terus menerus untuk memelihara ginjal cangkok tetap bagus. Supaya barang asing itu tidak ditolak oleh badan. Dan untuk obatnya sendiri semahal biaya cuci juga. Belum biaya cangkoknya. Biaya cangkoknya untuk keseluarah bisa sampai 200 juta”, terang dokter Win.

“Kalau untuk cangkok bisa pakai askes, Dok?”, tanya saya.
“Cangkok belum bisa pakai askes, Mbak. Dan cangkok juga harus benar-benar tepat memilih ginjalnya”, jawab dokter Win.

“Semua, terserah pak Yusup dan keluarga ya. Tapi saran saya, melihat kondisi ginjal pak Yusup, sebaiknya segera dilakukan cuci darah saja”, lanjut dokter Win.

Kami terdiam.

“Dan tidak harus di RSPP, Mas. Seingat saya, di Rumah Sakit Margono sudah ada layanan cuci darah. Silahkan dicari informasi lengkapnya dulu. Atau di Sarjito, Jogja”, dokter Win terus memberi saran.

Rumah Sakit Margono yang ia maksud adalah Rumah Sakit Umum Daerah Margono Soekarjo, sebuah rumah sakit umum daerah di Purwokerto. Orang tua saya sendiri tinggal di Purbalingga, sekitar dua jam dari Purwokerto.

Salah satu tanda ginjal sudah tidak berfungsi adalah seluruh badan menjadi gatal-gatal. Namun pada kulit tidak ada bercak merah atau bentol-bentol. Kondisi itu disebabkan menumpuknya racun dalam tubuh. Karena ginjal sudah tidak mampu menyaring racun, dan tidak mampu menahan kestabilan jumlah cairan. Tanda lainnya adalah terasa mual atau berasa ingin muntah, air seni tidak bisa keluar, dengan sendirinya nafsu makan menurun dan tidak bisa tidur. Jika kondisi seperti itu terus dibiarkan, maka kaki, perut, dan pipi bisa menjadi bengkak karena kelebihan cairan.

Setengah berlari saya mencari ojek untuk pergi ke sentra tanaman obat di dekat Klenteng Cibinong. Tanaman yang saya cari adalah Kumis Kucing dan Tempuyung. Menurut buku yang pernah saya baca, kedua jenis tanaman tersebut dapat memperlancar air seni. Waktu itu kondisi Bapak saya sangat menyedihkan, seluruh tubuhnya gatal-gatal, ia ingin sekali buang air seni tapi tidak bisa keluar.

“Sudah, sudah, kamu bayar satu pot saja. Yang lain-lain tidak usah dibayar. Semoga Cocok ya, semoga bisa jadi obat ya. Tidak perlu cuci segala.” Begitu kata Cici dan Koko pemilik Sentra tanaman Obat itu. Mereka memberikan dua pot tanaman kumis kucing, satu ikat daun kumis kucing, dan satu ikat daun sambiloto. Pada halaman depan rumah mereka terpampang plang dengan tulisan berbunyi “Sopo Nyono”. Setahu saya, itu adalah bahasa Jawa yang artinya “Siapa Sangka”. Mereka tidak memiliki stok tanaman Tempuyung.

Segenggam daun Kumis Kucing saya masukkan ke dalam panci yang berisi segelas besar air putih. Lalu direbus, sampai tersisa setengah gelas. Sambil menunggu air itu siap minum, saya terus berdoa di dapur, wajah saya hadapkan diatas panci yang airnya terus mendidih. Ibu saya berusaha menenangkan Bapak yang terus mengerang. Sementara Kakak saya masih terjebak macetnya ibukota, perjalanan pulang dari RSPP untuk bertemu dokter yang memeriksa Bapak saya.

Sekitar satu jam setelah meminum rebusan daun Kumis Kucing, Bapak saya bisa buang air seni. Namun tidak banyak. Tapi sedikit dapat mengurangi rasa sakit perutnya, sehingga ia bisa tertidur barang sekejap. Saya dan Ibu saya merasa sangat lega.

Pada akhirnya, kondisi Bapak saya sendiri yang membuatnya bersedia untuk menjalani cuci darah. RSPP adalah Rumah Sakit pertama tempat Bapak saya menjalani cuci darah. Cuci berjalan sampai sekitar 6 (enam) jam. Saya tidak ikut menunggui. Di hari itu saya harus melakukan tugas kerja yang tidak bisa saya tinggalkan. Pengalaman pertama cuci, Bapak saya, Ibu saya dan Kakak saya sudah dihadapkan pada situasi mencekam. Salah satu Pasien cuci lainnya yang berbaring tepat disamping Bapak saya menghembuskan nafas terakhirnya pada saat proses cuci sedang berlangsung. Yang memprihatinkan, suster dan keluarga yang menunggui tidak tahu kalau ia sudah tutup mata untuk selamanya. Mereka pikir sedang tidur. Meskipun ketakutan dengan pengalaman pertama itu, Ibu dan Kakak perempuan saya berusaha menenangkan diri dan membesarkan hati Bapak saya.

Sekali cuci di RSPP habis biaya kurang lebih sembilan ratus ribu rupiah termasuk administrasi. Ketika itu Bapak saya belum menggunakan asuransi kesehatan. Agar proses cuci berjalan lancar dan tidak pegal-pegal dan kram, maka pasien cuci darah dianjurkan untuk memasang cimino (alat, seperti selang/ nadi buatan) yang dipasang secara permanen. Biasanya di pasang pada tangan bagian dalam bukan bagian punggung/luar. Proses pemasangan alat tersebut biasa disebut dengan operasi cimino.

“Operasi cimino, menghabiskan biaya lebih dari 10 juta. Itu operasi kecil, tergantung ketrampilan dokter bedahnya. Bisa terjadi kegagalan juga”, terang dokter Win suatu ketika memberikan informasi tentang operasi cimino.

“Nanti menunggu kondisi fit ya. Minggu depan silahkan datang lagi kesini. Kita periksa lagi. Proses operasinya tidak lama kok”, jelas dokter Soetopo. Seorang ahli bedah di Rumah Sakit Medistra Jakarta Selatan. Atas rekomendasi dari dokter Win, Bapak saya dirujuk untuk operasi cimino di RS Medistra, dengan dokter bedah dokter Soetopo.

Awal tahun 2009, operasi cimino berjalan lancar. Sejak itu, pada tangan kiri Bapak saya seperti ada aliran air yang mengalir. Jika jari kita tempelkan pada bagian yang dipasang cimino, akan sangat terasa getarannya, aliran darahnya.

“Nah, mulai sekarang tangan kiri Bapak jangan dipakai untuk membawa barang yang berat ya. Tapi harus tetap digerak-gerakkan. Bisa dengan mengepal-ngepal bola karet. Atau gerakan membuka dan menutup genggaman tangan”, dr Soetopo memberikan saran, sebelum kami meninggalkan rumah sakit.

“Ini Pak, antenanya terjatuh”, dokter Soetopo mengejar kami saat kami berjalan menuju lift. Antena yang dimaksud dokter Soetopo adalah peci Bapak saya.

Kami mulai mencari tahu semua hal berkaitan dengan cuci darah, pengobatan ginjal baik alternative maupun medis, rumah sakit-rumah sakit yang terdapat pelayanan cuci darah dan masih bisa menampung pasien baru, menu-menu makanan bagi pasien cuci darah, dan semua hal yang terkait dengan upaya medis itu.

Sejumlah pengobatan alternative pernah kami coba, obat-obat herbal pun pernah kita upayakan, namun kenyataan berbicara lain, proses cuci darah harus terus berjalan, satu minggu dua kali. Rebusan sarang semut, rebusan daun sukun, propolis, lidah buaya, madu hutan pedalaman Kalimantan, undur-undur yang dimasukkan ke dalam kapsul, adalah beberapa obat herbal yang pernah dikonsumsi Bapak saya. Dari beberapa obat herbal tersebut, Bapak saya merasa “ketagihan” dengan propolis dan undur-undur. Bapak saya terhitung setia mengkonsumsi keduanya. Mang Wadhih, tetangga jauh, juga turut setia mencarikan undur-undur. “Gampang kok nyarinya, Mbak. Cuman di tepi rumah, sekitar tanah kering”, begitu katanya suatu ketika saat mengantar hasil buruannya ke rumah kami.

Jenis dan cara pengolahan makanan untuk Bapak saya pun diatur dengan ketat. Pasien cuci darah tidak boleh mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan dalam jumlah banyak. Buah-buahan yang dikonsumsi-pun hanya buah-buah tertentu saja. Misalnya pepaya. Untuk sayuran, cara penyajiannya juga berbeda dengan orang sehat pada umumnya. Sayuran dapat dipotong-potong tipis dulu, kemudian dicuci dengan air hangat, selanjutnya direndam dalam air selama kurang lebih satu jam, terakhir dibilas dengan air mengalir, baru siap untuk dimasak. Hal itu dilakukan untuk dapat mengurangi kadar kalium dalam sayuran. Beberapa sayuran yang dianjurkan diantaranya adalah Lobak putih dan Labu siem rebus.

Di Indonesia, pelayanan cuci darah oleh Rumah Sakit masih sangat minim/ terbatas. Bahkan di Jakarta, tidak semua Rumah Sakit (swasta maupun Negeri) memiliki layanan cuci darah. Selain itu, RS yang memiliki layanan cuci darah-pun hanya memiliki mesin cuci dalam jumlah yang sedikit. Satu-satunya Rumah Sakit yang memiliki mesin pencuci darah dalam jumlah yang banyak adalah Rumah Sakit Umum Angkatan Udara Halim Perdana Kusuma. Terdapat tiga bangsal yang luas dan panjang di sana, satu bangsal dapat menampung puluhan orang pasien, dan dilengkapi dengan dua buah ruang VIP, dapur, gudang, ruang suster, ruang pendaftaran, ruang tunggu dan kamar kecil tentunya. Jumlah suster atau perawat-pun sebanding dengan jumlah pasien. Sehingga pelayanan cuci darah tidak ada yang berlangsung di malam hari. Jam 5 sore, ruangan itu sudah tutup. Rumah Sakit tersebut sering menjadi rujukan atau rekomendasi untuk cuci darah.

Jarak dan waktu tempuh yang lumayan panjang, membuat kami memutuskan untuk mencari Rumah Sakit lain terdekat untuk cuci darah Bapak saya. Kami tinggal di Cibinong, secara geografis terlihat dekat dengan Jakarta. Namun ia masuk wilayah hukum Jawa Barat. Perjalanan Cibinong – RS Halim cukup membuat Bapak saya kecapaian.

Ikatan batin dengan para perawat, Suster Kepala, dan para pasien satu bangsal sudah mulai tumbuh di hati kami saat itu. Berbagi pengalaman, saling membesarkan hati dan menyemangati, sudah menjadi agenda rutin yang dijalani di sela-sela proses cuci darah.

Ada dua sosok yang masih membekas di memori saya. Pertama yaitu sosok suster kepala, suster Margaretha, biasa disapa Sus Etha. Ia tak hanya seorang suster yang hanya bersinggungan dengan jarum suntik, ginjal buatan, slang panjang, dan peralatan cuci lainnya. Tapi lebih dari itu, ia mampu menjadi motivator yang ramah, bijak, penuh keyakinan dan harapan yang mampu membangkitkan semangat hidup para pasiennya. Sikap dan suaranya yang lantang dan tegas dengan perawakan tinggi besar, berambut ikal dan berkulit gelap khas Indonesia Timur, tidak menyamarkan kelembutan dan ketulusan hatinya. Sosok kedua adalah perawat laki-laki bernama pak Agus. Ia perawat yang sabar, teliti, ramah pada pasien dan keluarga pasien, dan cekatan.

Kami menulis daftar Rumah Sakit se-Bogor dengan mencari-cari di dunia mayantara. Dengan penuh harapan, kami menelpon satu persatu rumah sakit-rumah sakit yang sudah terdaftar tersebut untuk mencari informasi, apakah rumah sakit tersebut memiliki pelayanan cuci darah dan masih bisa menampung pasien baru serta bisa menggunakan asuransi kesehatan?.

Ketika itu (tahun 2009), se-Bogor, hanya ada dua rumah sakit yang memiliki layanan cuci darah. Yaitu RSUD PMI Bogor dan sebuah panti rehabilitasi. Bapak saya sempat melakukan cuci darah di panti yang terletak di Jalan Padjadjaran itu. Namun hanya sekali. Selain pelayanan yang kurang berkenan di hati kami, juga karena Bapak saya ragu dengan kondisi mesin cuci-nya. Mesin cuci tua. Sekali cuci di sana menghabiskan sekitar enam ratus ribu rupiah.

Kami beralih ke RSUD PMI Bogor. Perjalanan dari rumah menuju RSUD PMI hanya setengah jam, melalui jalan Tol Jagorawi. Tidak seperti di RSU Angkatan Udara Halim yang memiliki banyak mesin cuci, di RSU PMI Bogor, ketika itu hanya memiliki mesin cuci darah sebanyak 13 buah. Sementara pasien cuci lebih dari 50 orang. Tak heran jika pelayanan cuci darah dibuka hingga tengah malam, dan berakhir di dini hari. Sementara jumlah suster jaga sekali shift, hanya berjumlah empat-enam orang. Perbandingan yang tidak proporsional itu juga menyebabkan, pasien yang datang tidak bisa langsung “ditusuk”. Ditusuk adalah istilah di kalangan pasien dan suster untuk menyebut proses cuci akan dimulai. Pasien harus menunggu mesin siap pakai. Karena mesin yang baru digunakan juga harus istirahat. Selain menunggu mesin siap pakai, juga karena harus menunggu giliran suster siap menusuk. Suster 4-6 melayani 13 pasien. Menusuk seorang pasiean memakan waktu paling lama dua puluh menit.

Tidak ada ruang VIP di ruang haemodialisa itu. Hanya terdiri satu bangsal. Sebuah televisi, sebuah kulkas, sebuah tempat sholat bagi suster, ruang tunggu yang berukuran sekitar 3x2 meter, dan sebuah toilet.

Mulanya Bapak saya mendapat bagian shift siang-sore. Kemudian, mencoba bertukar shift dengan pasien lain. Bapak saya memilih shift pagi-siang. Hari Rabu dan Sabtu, merupakan hari “dinas” Bapak saya ke Rumah Sakit PMI. Seperti orang yang akan berangkat bekerja, jam 7 pagi sudah berangkat. Namun, seringkali baru ditusuk jam 8.30, jam 9, bahkan pernah jam 10 baru ditusuk karena kerusakan mesin-mesin yang mengharuskan mesin diperbaiki terlebih dahulu. Pasien gelisah saat itu. Keluarga yang menunggu menenangkan dengan berbagai cara.

Ibu saya yang paling setia menunggui Bapak saya cuci darah. Ia bertekad akan terus mendampinginya untuk cuci darah, asalkan Bapak saya tidak patah semangat. Sementara saya, lebih sering menunggui di hari Sabtu. Baik pasien yang sudah tua maupun yang masih muda, memang seyogyanya ada keluarga yang menemani sepanjang proses cuci darah berlangsung. Selain memberi semangat pada pasien saat meraka merasa lelah, keluarga yang menunggui juga bisa menolong memberikan makanan atau minuman untuk pasien.

“Tidak pernah mengira sebelumnya ya, Bapak menjalani masa pensiun dengan begini. Aku menikmati masa pensiun menjadi suster HD”, kata Ibu saya suatu ketika didepan Rumah Sakit, sambil sedikit menerawang duduk bersama saya dan Kakak Perempuan saya.

“Iya. Jangan-jangan, Bapak kira, HD itu Harley Davidson, ya Mbak. Hehehe”, saya mencoba membuayarkan suasana.

Selama proses cuci darah, pasien akan berbaring terlentang antara 4-5 jam. Jika dalam proses tersebut diselingi dengan posisi yang lain, pasien harus sangat berhati-hati saat menggerakkan anggota tubuhnya. Terutama bagian yang ditusuk (biasanya tangan, atau paha). Jika bagian yang ditusuk tersebut tertekuk, bisa mengakibatkan “kebocoran” atau bocor. Bocor adalah istilah diantara pasien dan suster untuk menyebut, darah yang sedang dicuci menetes keluar. Sementara suster-suster di RSU PMI Bogor sering menggantinya dengan istilah bocro. Saat proses cuci berlangsung, pasien diperbolehkan makan ataupun minum.

Kawan-kawan seperjuangan Bapak saya memiliki latar belakang yang berbeda-beda bagaimana mereka sampai harus menjalani cuci darah, dan menjalaninya di RSU PMI Bogor. Pak Sholeh misalnya. Ia adalah seorang pensiunan pegawai Kantor Urusan Agama. Ia juga seorang petani. Ia memiliki sawah berhektar-hektar, memiliki kebun yang mirip seperti hutan, dan memiliki ribuan ayam pedaging. Ia beternak ayam pedaging. Kalau musim panen ayam tiba, ia selalu membawakan ayam bakar yang banyak buat ibu saya. Semua perkebunan dan peternakannya itu terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya yaitu di Rangkas Bitung, sudah masuk wilayah banten. Hipertensi menaun telah mengakibatkan kerusakan ginjalnya. Ia harus menjalani cuci darah. Rumah Sakit terdekat dari Rangkas Bitung yang melayani cuci darah adalah RSU PMI Bogor. Tidak ada rumah sakit lain yang lebih dekat. Seminggu dua kali, setiap hari Rabu dan Sabtu ia pergi ke RSU PMI. Jam 04.30 pagi, ia harus sudah berangkat. Jika lewat dari jam itu, ia akan kesiangan sampai rumah sakit. Disamping memang jarak yang cukup jauh, akses jalan yang harus ia tempuh cukup sulit. Harus melewati jalan yang masih berkerikil, jalan sempit, dan juga melalui jalur macet.

Pak Sholeh termasuk pasien yang bandel. Ia seringkali mengkonsumsi makanan pantangannya secara tidak terkontrol. Pertengahan tahun 2011 lalu, ia meninggal dunia, mendahului sahabat-sahabatnya, karena terjatuh saat sedang mengecat rumahnya. Ketika itu hipertensinya sedang naik tinggi, karena ia makan semua makanan yang ia inginkan ; daun singkong rebus, sambal, sate, jengkol. Ia sempat dilarikan ke Rumah Sakit, kemudian koma. Bukan hanya istri dan keluarganya yang kehilangan pak Sholeh. Bapak dan Ibu saya juga sangat kehilangan. Pak Sholeh dan Bu Sholeh menjadi teman karib Bapak dan Ibu saya, sejak mereka bertemu pertama kali di RSU PMI.

Sementara itu, Pak Denny, seorang pensiunan tentara yang tinggal di Jonggol, juga harus berangkat pagi-pagi buta, jam 4.30 ke RS PMI Bogor untuk cuci darah. Tak pernah ada keluarga pak Denny yang mengantar maupun menemaninya di Rumah Sakit. Ia selalu pergi seorang diri. Istrinya telah meninggal dunia. Anaknya telah berkeluarga dan tinggal di luar kota.

Sementara Denny, laki-laki berusia 29 tahun, juga harus menempuh perjalanan panjang setiap hari Rabu dan Sabtu dari rumahnya di Cipanas menuju RSU PMI Bogor. Begitu juga dengan Ibu Arnasih, yang tinggal di Cisarua.

Lain lagi Ibu Siregar. Sebelum ia sakit, ia dan suaminya, pak Siregar, tinggal di Riau. Namun, karena di Riau sangat susah untuk mendapatkan akses cuci darah, ia dan suaminya memutuskan untuk berpindah ke Bogor, tinggal bersama anaknya yang berdomisili di Bogor.

Begitu juga Bapak saya. Kampung halaman kami adalah di Purbalingga. Di RSUD terdekat dengan rumah kami, sekitar satu jam dari rumah kami, belum terdapat pelayanan cuci darah. RSUD terdekat selanjutnya yaitu Rumah Sakit Margono Soekarjo di Purwokerto. Disana telah terdapat pelayanan cuci darah, namun mesin cuci hanya sedikit, dan telah penuh oleh pasien. Karenanya untuk mengupayakan perawatan terbaik, Bapak dan Ibu saya memilih berpindah ke Bogor.

Suatu ketika, saya mendapati Ibu saya sedang menangis di kamarnya, sambil membaca sms pada telepon genggamnya. Pelan-pelan saya dekati. Lalu Ibu saya bercerita, ia baru saja mendapat sms dari temannya di kampung, yang mengabarkan, suaminya meninggal, sakit yang sama dengan Bapak saya. Namun, ia hanya beberapa kali cuci darah, kemudian memilih untuk berhenti, karena besarnya biaya dan jauhnya tempat untuk cuci darah.

Beberapa minggu yang lalu, Ibu saya juga menerima sms dari Bibi saya di Kampung, yang mengabarkan bahwa salah seorang tetangga kami, Dedy Rosihun, divonis oleh dokter untuk menjalani cuci darah. Kaki, perut, dan pipinya sudah bengkak. Kami memikirkan, betapa repotnya Dedy Rosihun dan keluarganya. Jarak tempuh dari rumah menuju rumah sakit yang terdapat pelayanan cuci darah bisa mencapai 3 jam jika menggunakan transportasi umum. Belum biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi kateter/ cimino, dan biaya cuci darah karena tidak menggunakan askes yang biasanya sekali cuci memakan biaya 700 ribu rupiah.

Di Cibinong, setidaknya terdapat 3 Rumah Sakit besar, satu rumah sakit umum daerah, dan dua buah rumah sakit swasta. Namun, tak satupun terdapat pelayanan cuci darah pada rumah sakit tersebut. Menurut perkiraan Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia, Dharmeizar, saat ini diperkirakan terdapat sekitar 300 ribu penderita gagal ginjal di Indonesia.

Jika mencegah lebih baik daripada mengobati, tentu informasi dan pengetahuan tentang organ tubuh penyaring racun dan penjaga keseimbangan cairan itu, menjadi penting bagi masyarakat Indonesia di segala penjuru. Bagaimana kerja ginjal, apa saja fungsi ginjal, seperti apa tanda-tanda ginjal mulai tidak berfungsi, bagaimana cara pencegahan gagal ginjal, atau bagaimana cara merawat ginjal dengan baik, bagaimana jika ginjal dinyatakan tidak berfungsi?. Diperlukan penyuluhan secara khusus dari pemerintah, tentang organ penting tubuh itu. Informasi tentang bagaimana prosedur mendapatkan pelayanan cuci darah secara gratis, misalnya melalui pelayanan jamkesda atau jamkeskin juga menjadi penting.

Namun Demikian, telah banyak masyarakat Indonesia yang mengalami gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah. Mirisnya, telah banyak pula penderita yang meninggal karena tidak mendapatkan akses cuci darah, baik terkendala oleh biaya ataupun pelayanan dari rumah sakit. Sekali lagi, tidak semua rumah sakit di Indonesia telah memiliki pelayanan cuci darah.

Pada hari Minggu, 19 Februari 2012 lalu, suster, dokter, dan pasien, dengan nama Keluarga Besar Pasien HD RSU PMI Bogor, mengadakan selamatan bersama di Rumah Sakit PMI Bogor. Mereka mensyukuri adanya penambahan mesin cuci darah di RSU PMI Bogor sebanyak 15 unit, serta selamatan karena RS PMI Bogor telah membangun gedung haemodialisa baru, dengan ruang yang lebih besar dari yang sebelumnya. Mulai tanggal 20 Februari 2012, para pasien mulai menempati gedung baru tersebut. Mulai tanggal itu pula, tidak ada lagi pelayanan shift malam.

Mesin cuci baru itu didatangkan dari Negeri Sakura, Jepang. Menurut salah seorang pasien cuci darah, Haji Chaeruddin, di beberapa Negara, ia mencontohkan; Arab, Jepang dan China, mesin cuci darah yang menunggu pasien. Sedangkan di Indonesia terbalik, pasien yang harus mengantri menunggu giliran mesin cuci kosong. Haji Chaeruddin bisa mencontohkan, karena ia memang sering bepergian keluar negeri. Jika sedang di luar negeri atau luar kota, ia akan melakukan cuci darah di rumah sakit terdekat di kota atau Negara yang ia kunjungi. Di kalangan pasien dan suster, istilah berpindahnya cuci darah seperti itu disebut travel.

Penambahan mesin cuci baru tersebut, memang sudah waktunya dilakukan. Sudah banyak mesin yang lama yang cukup mengkhawatirkan bagi pasien, jika terus digunakan. Kerusakan mesin cuci, saat proses cuci darah berlangsung, dapat mengakibatkan pasien mengalami kram, kejang, dan pusing-pusing.

Penambahan mesin cuci dan pembangunan gedung baru di RSU PMI Bogor, disambut gembira oleh Keluarga Besar HD. Ini seperti kado peringatan hari ginjal sedunia yang diperingati setiap hari Kamis minggu kedua bulan Maret, yang tahun 2012 ini jatuh pada tanggal 8 Maret.

Jika negara mampu menyediakan 1000 unit mesin cuci darah baru, yang setidaknya bisa didistribusikan di puskesmas/ rumah sakit pada tingkat kecamatan, satu rumah sakit minimal satu unit, maka akan ada 1000 puskesmas atau rumah sakit yang bisa melayani proses cuci darah.

Menurut Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia, saat ini sekitar 30 juta penduduk Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama adalah diabetes dan hipertensi.

Kita bisa memberi kado untuk dua buah ginjal dalam tubuh kita, dengan minum air putih 8-10 gelas per hari, mengurangi konsumsi minuman yang mengandung soda, cola, atau alcohol, tidak menahan kencing dalam waktu yang lama, tidak mengkonsumsi obat-obatan tanpa resep dokter secara berkepanjangan. Kado ini bukan hanya kita berikan saat peringatan hari ginjal saja tentunya, tapi tiap hari, dimulai dari hari ini.

Senin, 30 Januari 2012

Kehadiran Dokter Jeban dan Kealpaan Negara


Di Cibinong, tidak jauh dari tempat tinggal saya, terdapat sebuah rumah praktek dokter yang selalu ramai dikunjungi pasien. Kata Ibu saya, kerumunan pasien itu mirip orang demo. Bukan karena kemujaraban pengobatan yang membuat para pasien berdatangan, melainkan karena murahnya biaya pengobatan yang ditetapkan sang dokter. Setiap pasien, apapun penyakitnya, siapapun orangnya, hanya dikenai biaya SEPULUH RIBU RUPIAH sudah termasuk biaya obat. Karena itulah, orang-orang menjuluki sang dokter dengan nama DOKTER JEBAN.

Kehadiran rumah pengobatan dan komitmen dokter jeban dalam melayani orang sakit, menjadi sebuah akses tersendiri bagi masyarakat sekitar terhadap pemenuhan kesehatan/ pengobatan dengan biaya yang murah dan proses yang cepat.
Merupakan cerita lama di Indonesia, ketika kita mendengar berita tentang meninggalnya seseorang karena terlambat diobati lantaran tidak mempunyai biaya yang cukup untuk berobat, atau meninggalnya seseorang karena ditelantarkan oleh pihak rumah sakit lantaran tidak bisa membayar uang muka rawat inap.

Merupakan cerita lama juga, ketika kita mendengar berita tentang berbelit-belitnya proses dan prosedur pengurusan pengobatan gratis bagi si miskin.

Dalam kondisi kesehatan yang genting seperti itu, dan berujung pada meninggalnya seseorang, berarti Negara telah lalai menjalankan tanggungjawabnya terhadap pemenuhan hak atas kesehatan bagi tiap-tiap warga negaranya.

Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Karenanya Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Kealpaan Negara itu telah menggerakan hati dan membulatkan tekad dokter jeban muda untuk berjuang keras agar di masa mendatang bisa menjadi seorang dokter. Ketika duduk di bangku sekolah menengah atas, dokter jeban harus menerima kenyataan pahit dan memilukan dengan meninggalnya sang ayah. Tak ada dokter yang mengobati ayahnya, lantaran keluarga dokter jeban remaja tidak memiliki biaya untuk berobat. Dokter jeban remaja berjanji pada dirinya sendiri, kelak ia harus menjadi dokter dan mengabdikan dirinya bagi orang-orang sakit yang tidak punya.

Sewaktu saya dan keluarga saya masih tinggal di kampung halaman, Purbalingga, kami memiliki dokter langganan. Namanya dokter Jhoni. Ia keturunan Tionghoa yang memilih menjadi abdi Negara dengan jalan menjadi dokter PNS (pegawai negeri sipil). Dokter Jhoni mengawali kariernya dengan bertugas di puskesmas kecamatan kami, Karanganyar. Ketika itu saya belum lahir.

Suatu ketika, beberapa saat setelah saya lulus kuliah, saya didera sakit tukak lambung. Dokter Jhoni mengobati saya di rumah sakit Nirmala, rumah sakit swasta yang ia bangun bersama rekan seprofesinya.

Disela-sela ia memeriksa saya, ia sering bercerita tentang pengalamannya dahulu, ketika bertugas di puskesmas kecamatan kami. Para pasien yang datang berobat ke puskesmas, seringkali tidak membayar dengan uang, melainkan dengan hasil bumi. Jagung, pisang, ubi, kelapa, ikan, merupakan pengganti uang.

Menurut dokter Jhoni, di Indonesia, sekarang ini, profesi dokter PNS tidak diminati lagi oleh para dokter muda. Mereka lebih berfikir provit oriented. Sisi-sisi kemanusiaan diabaikan.

Jika profesi advokat dijuluki sebagai officium nobile atau profesi yang terhormat, menurut saya, sesungguhnya, pada beberapa profesi tertentu, seperti guru, wartawan, petani, penulis dan dokter juga sangat layak dijuluki sebagai the officium nobile. Profesi-profesi tersebut secara langsung maupun tidak, merupakan promotor nilai-nilai kemanusiaan dan akses pemenuhan hak-hak pokok seperti hak atas pendidikan, informasi, kesejateraan lahir, ilmu pengetahuan, dan kesehatan.

Kehadiran dokter jeban dalam melayani pasien, sama halnya dengan keberadaan advokat probono, yang tidak menerima bayaran dari kliennya, lantaran si klien adalah masyarakat yang buta hukum dan tidak mampu.

Negara masih sangat terseok-seok dalam menjalankan tanggung jawab menyediakan fasilitas kesehatan bagi warga negaranya. Apalagi memberi perhatian terhadap para dokter yang tulus menjalankan misi kemanusiaan, mungkin sama sekali tak terdaftar dalam agenda Negara.