Sabtu, 30 Agustus 2014

Hidup, Mati, Hidup


*Adiani Viviana


Malaikat Izrail mencabut nyawa manusia bisa di mana saja. Kadang malah terlihat seperti suka-suka. Tapi ia hanya menjalankan tugas. Tempat menutup mata seseorang adalah salah satu ketentuan yang sudah Tertulis. Orang Indonesia ke Singapura dulu, beberapa hari di sana, baru wafat. Izrail menunggu dan menjemput di sana, tidak mau mencabutnya di Indonesia. Kenapa harus rumit begitu? Karena sudah Tertulis. 

Aku pernah mengira, kalau Semeru adalah tempat terakhirku dan dua orang sahabat mudaku. Buat yang tidak mengalami, mungkin terdengar hiperbolis. Tapi begitulah. Dalam kondisi tersesat itu, aku kira Izrail sudah siaga I atau Siaga II menghadang kami dalam jurang curam itu. Ternyata itu hanya pikiran dan perasaan kami yang sangat manusiawi. 

Waktu kanak-kanak, aku juga pernah mengira, kalau aku akan mati dalam puing-puing masjid itu. Sekolah Dhinniyah sore menjadi kelabu. "Robohnya Surau Kami", bukan sekadar judul cerita atau film di Indonesia. Tapi nyata dalam kanak-kanakku. Aku kecil dan beberapa teman kecilku bercucuran darah. Dalam pelukan Ibu temanku, aku bilang "Apa aku akan mati di sini, Bu?", "Enggak, sebentar lagi dokter tiba". Aku berdoa, "Ya Alloh, aku mohon aku jangan mati yaa". Doa anak kecil, dan Ibu yang baik cepat sampai. Karena konon, Tuhan dan beribu Malaikat sayang dan memulikan mereka. Tangan-tanganNYA selalu menjaga mereka dari arah yang tak terduga-duga. Berhati-hatilah kepada dua makhluk itu; anak kecil, dan ibu yang baik. Kalau masjid itu sudah tertulis menjadi tempat terakhirku, walaupun dokter lebih dulu tiba dan lebih cepat menanganiku dibanding datangnya Izrail, pasti tetap saja hasil kerja Izrail yang akan berbuah. 

Dunia kerja Malaikat tak serupa dunia kerja manusia. Bagi yang Berkeyakinan akan Nikmat dan Indahnya perjumpaan dengan Zat Yang Menghidupkan dan Mematikan, dimanapun tempat terakhir di muka bumi ini, yang terpenting adalah mati dalam keadaan berserah diri pada Zat itu. Mati dalam kerelaan hati, dan berbahagia karena telah sempurna menjalankan tugas sebagai manusia di muka bumi ; mencintai dan menyayangi semesta dan seisinya tanpa batas. Tapi kita diperbolehkan membunuh beberapa jenis binatang, diantaranya Tikus dan Anjing Galak. Kalau tidak galak, jangan dibunuh!

Selamat Idul Fitri 1435 H

 Dear : Teman-teman yang baik, para sahabat, dan saudara


Katanya, kata "opor" itu berasal dari bahasa Belanda. Sedangkan ketupat itu "Indonesia bangets" ; isinya, yaitu beras, melambangkan keagrarisan Indonesia. Bungkusnya, janur atau daun pohon kelapa, adalah tanaman tepian pantai-laut. Medannya nenek moyang kita yang seorang pelaut. 

Setiap Lebaran, Indonesia dan Belanda menjadi begitu dekat di meja makan orang-orang Indonesia. Lalu menyatu di dalam perut yang mengunyahnya.

Mina aidzin walfaidzin teman-teman yang baik, mohon maaf lahir dan batin. Selamat merayakan lebaran bersama orang-orang  tercinta, dan selamat berbagi dengan sesama. Tunjukkan Islam rahmat bagi semesta alam. Yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan kasih sayang, bukan kekerasan.

 

Ibu dan Pemilu


Bogor, 9 April 2014

Dalam pemilu, bapakku selalu golput. Sedangkan ibu selalu memilih. Setiap hari Pemilu tiba, pagi-pagi Bapakku mengeluarkan Vespanya, lalu mengendarainya. Pulang menuju kampung kelahirannya. Padahal di sana ia juga tidak memilih. Mungkin itu hanya pelarian sesaat untuk membuang rasa tidak enak pada tetangga atau pada mertua, karena tidak tampak di tempat pemungutan suara. Zaman itu, orang yang memilih golput belum bisa diterima dengan baik. 

Bapakku tidak pernah menyuruh apalagi memaksa ibu dalam menentukan pilihannya. Termasuk pada zaman hanya ada tiga partai. Tapi pada zaman itu, pilihan ibu selalu sama dengan pilihan kakek. Hingga pada suatu pemilu ibu memiliki pilihannya sendiri. Pilihan yang berbeda dengan Bapaknya. Ibu gelisah. Ibu melakukan sholat istikharoh atau sholat untuk meminta petunjuk pada Allah dalam menentukan pilihan atau mengambil keputusan. Ibu ingin memberikan suaranya berdasar keyakinannya sendiri yang terbaik. Dengan harapan baik dan dukungan moral untuk yang ia pilih. Kakek menerima perbedaan itu. 

Hingga zaman terus berganti. Dalam satu rumah atau satu keluarga masing-masing memiliki pilihan yang berbeda-beda, atau golput sekalipun bukan sesuatu yang harus diperdebatkan. Saling menerima pandangan dan pilihan yang berbeda. 

Menyarankan untuk tidak golput, boleh. Memaksa, tidak boleh. Kata ibu, yang penting bukan golput karena malas keluar rumah, jalan ke TPS. Atau karena tidak mau tahu. Selamat berpesta demokrasi!

No Tittle


Pagi yang sepi. tak ada cericit burung. tak ada lalu lalang belalang dan capung. 
aku dan ayah bermandikan matahari di kebun jagung. hamparan jagung ini mulai menua. berbungkus klaras krem tua. jenggot yang kering kecoklatan mencuat keluar. 
aku dan ayah tahu, di dalamnya tersembunyi bulir-bulir kuning keemasan. Bulir-bulir harapan yang dulu kami semai. 
Ayah, kita tidak akan menuainya sekarang. Kita menunggu ibu pulang. Mari simpan keranjang kita. Mungkin esok pagi kita sudah bisa mandi matahari bersama ibu. Lalu saat petang, keranjang kita telah penuh hasil panenan. 

~5/5/14, self record of dream in the train~

Sandro Gatra Menerima Diversity Awward 2014


"Keberagaman adalah kekayaan yang harus dirayakan"-Soekarno-


Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) memberikan Diversity Award 2014 untuk kategori media online kepada Sandro Gatra pada 14 Mei 2014. Sandro adalah jurnalis kompas.com. Gatra, adalah nama belakangnya.Sandro seorang Kristian. Rumah tinggalnya berada di depan masjid. Selama ini ia hidup damai saling berdampingan dalam perbedaan. Namun kawan Sandro di Bekasi, mengalami hal yang sebaliknya. Ia kesulitan untuk beribadah dan memiliki rumah ibadah. Dari situ, Sandro mulai mewartakan masalah keberagaman. Alumnus jurnalistik Iisip Jakarta ini mengajak para jurnalis untuk menghilangkan mindset "sesat", "menyimpang", terhadap sesuatu yang minor. 

Orang yang baru pertama kenal Sandro, akan mengira kalau Sandro adalah junalis Majalah Gatra. Karena nama belakangnya itu. Saya teringat, pertama kali bertemu Sandro. Ia menghadiri undangan konferensi pers Institute for Criminal Justice Reform di Taman Ismail Marzuki. Saat itu, Sandro masih reporter mula. Ia hadir meliput siaran pers amicus curiae yang kami sampaikan ke Mahkamah Agung untuk mendukung Pemred Majalah Play Boy Indonesia. 

Barangkali Sandro menjadikan jurnalis bukan semata sebagai pekerjaan. Namun lebih dari itu sebagai panggilan jiwa. Karena jurnalis adalah pewarta, bukan pembawa petaka. Selamat kepada Sandro Gatra.

Jakarta Selatan, 14 Mei 2014

Rabu, 27 Agustus 2014

Negara, Banjir, dan Bunga



Jakarta, 9 Maret 2014

Minggu-minggu lalu, setelah musim dingin, hujan, dan banjir berkurang, kabarnya di negara-negara tetangga  berlangsung festifal bunga. Di China, orang berbondong-bondong pergi ke Bukit Mei Hwa. Mereka bergembira menikmati indahnya bunga-bunga yang bermekaran di sana. Di New York berlangsung pameran Anggrek. Sejumlah biodiversitas Anggrek bermekaran. Sebagian Anggrek didatangkan dari Asia Tenggara. Dari foto kawan saya yang tinggal di Taiwan, Yenni Suyeni, juga terlihat pohon-pohon bunga di tepi jalan bermekaran. Berwarna kuning semarak. Orang-orang yang melewatinya mengambil foto berlatarbelakang semarak pohon bunga. Mereka tersenyum dengan wajah yang ceria. 

Bunga dan festifal bunga seolah dilangsungkan untuk menghibur orang-orang setelah berdiam diri di rumah sepanjang musim hujan dan dingin. Atau mereka yang telah berjibaku dengan banjir. 

Bagaimana di Indonesia. Tidak pernah orang-orang dimanjakan oleh Negara. Negara tidak mau tahu. Apalagi memikirkan sampai ke pemulihan hati. Membuat gembira. Penanggulangan banjir saja, masyarakat banyak yang melakukannya secara mandiri dan swadaya. Orang-orang dibiarkan menghibur diri, mencari dan mengadakan penghiburan sendiri. Setelah Jakarta dan kota-kota lain dilanda banjir, malah orang-orang lalu disuguhi banjir kasus korupsi yang satu persatu dikuak oleh KPK.