Tulisan ini pertama kali dipubliksasikan pada:
https://www.indonesiana.id/read/136025/para-perempuan-dan-pemuda-agen-sampah#
Miskinah, perempuan yang memimpin
“Tabungan Sampah” merasa lega, karena ia bersama rombongannya, warga RT
02 RW 01 Sigaluh Banjarnegara Jawa Tengah, akhirnya dapat duduk dalam
satu gerbong Kereta Api Joglo Semar dalam perjalanan mereka menuju Jogja
pada Maret 2019. Awalnya puluhan orang itu dapat tempat duduk
terpencar. Miskinah dan ketua RT lalu melobi pegawai Stasiun Kereta Api
Purwokerto, stasiun keberangkatan mereka.
Miskinah patut khawatir apabila
rombongannya duduk terpencar, karena sebagian besar dari mereka adalah
lansia yang seumur hidupnya baru pertama kali naik kereta api. Berkat
sampah yang mereka tabung, para lansia itu akhirnya bisa merasakan naik
kereta.
Pada akhir 2013, warga RT 02 Sigaluh
memulai kebiasaan nabung sampah. Sebuah sistem pengendalian dan
pengolahan sampah yang diciptakan dan disepakati bersama oleh para
pemuda Sigaluh beserta warga. Ide nabung sampah bukan ide serta merta
yang lahir lalu terwujud. Untuk sampai pada ide ini, seperti aliran
sungai Serayu di Sigaluh: panjang dan berliku.
Sungai serayu adalah sungai legendaris
di Banjarnegara yang menjadi sumber kehidupan makhluk hidup di sekitar
sungai dan jadi kebanggaan masyarakat Banjar khususnya. Masalah mulai
muncul, ketika masyarakat bangga memilikinya, tapi enggan merawat dan
menjaga. Tepian Serayu justru menjadi tempat nyaman warga untuk buang
sampah rumah tangga. Sampah menumpuk terbawa arus sungai hingga berakhir
di Waduk Mrican, sebuah bendungan air di Banjarnegara. Mrican laksana
Tempat Pembuangan Akhir sampah. Selain menumpuknya sampah di waduk,
perilaku buruk itu juga menimbulkan masalah baru, yaitu pendangkalan
debit air waduk.
Mereka yang buang sampah di sungai
adalah warga yang tidak memiliki kebun. Sedangkan beberapa warga yang
punya kebun membuang sampahnya di kebun sendiri. Menurut Nur Mualim,
aktivis pemuda di Sigaluh, perumahan penduduk di Sigaluh makin hari
makin padat, yang berarti jumlah sampah rumah tangga juga makin
meningkat. Mari kita coba ilustrasikan, seandainya dalam satu hari ada
20 rumah yang masing-masing buang sampah di sungai seberat satu
kilogram, maka tiap hari ada 20 kg sampah yang mengotori sungai. Cukup
besar bukan? Di lain sisi, Kementrian Lingkungan Hidup RI mengeluarkan
data bahwa Indonesia menghasilkan sekitar 64 juta ton timbulan sampah
per tahunnya atau setara 175.000 ton per hari. Data itu mengambil asumsi
bahwa tiap orang menghasilkan sampah per hari sebesar 0, 7 Kg.
Nur Mualim, yang juga seorang Pecinta
Alam (ia bergiat melalui Perhimpunan Pegiat Alam GASDA SMU Negeri 1
Purbalingga), tergerak untuk berupaya menyelamatkan lingkungan Sigaluh
dari dampak buruk masalah sampah. Strategi yang ia pakai adalah
mensinergikan gerakan peduli lingkungan dengan pendekatan hobi. Tim
penggerak pertama yang ia gandeng yaitu orang-orang muda Sigaluh.
Sasaran strategis berikutnya: perempuan Sigaluh.
Alim bersama beberapa kawannya merintis
klub olahraga tubing, sebuah olahraga air arus deras dengan menggunakan
ban. Nama klubnya SEKATA -Serayu Kedaton Tubing Adventur-. Disamping
tubing, hobi lama memancing juga tetap dihidupkan. Dengan menekuni hobi
tersebut para pemuda sering berkumpul untuk merencanakan kegitan,
meningkatkan pengetahuan, dan mempertemukan gagasan-gagasan penyelamatan
lingkungan termasuk mengkampanyekan gerakan stop tangkap ikan dengan
strum listrik dan racun. Rumah Alim jadi markas atau dapur tempat mereka
berkumpul.
Melalui desa, sekumpulan orang muda itu
merealisasikan pengadaan tempat sampah. Namun upaya ini menimbulkan
masalah baru, yaitu tidak adanya lahan sebagai Tempat Pembuangan Akhir.
Dari situ lahir ide lagi, untuk pemisahan jenis sampah. Limbah sampah
plastik diolah jadi barang kerajinan daur ulang seperti tas, bantal, dan
lain-lain. Tapi seiring proses itu, mereka terbentur pada masalah baru
lagi, yaitu pemasaran produk daur ulang tersebut.
“Jadi soal kebiasaan buang sampah di
pinggir sungai, yaa...belum ada perubahan juga. Kita juga kesulitan
menemukan upaya atau solusi yang pas, yang tidak menimbulkan masalah
baru. Lama-lama kami (para pemuda) kewalahan juga. Itulah kemudian kami
bergegas pada sasaran kelompok kedua, menggandeng Ibu-ibu Sigaluh untuk
berperan juga”, kata Alim.
Dari sampah kembali ke sampah. Konsep
itu yang kemudian diusung oleh kelompok muda dan perempuan Sigaluh.
Mereka menemukan sistem pengelolaan sampah yang cocok dengan kondisi dan
kebutuhan mereka. Sistem itu mereka sebut “Tabungan Sampah”. Salah satu
rumah warga dijadikan tempat berkumpul, tiap dua minggu sekali warga
berdatangan untuk menimbang sampah mereka, pengepul rongsok yang mereka
pilih juga selalu datang tepat waktu. Mereka berbagi peran, ada yang
jadi pencatat, ada yang jadi bendahara, dan lain-lain. Tiap Kepala
Keluarga akan dicatat hasil timbangan sampahnya untuk dirupiahkan.
Warga membawa semua jenis sampah.
Pengepul akan memilah mana sampah yang dapat dirupiahkan, dan mana yang
tidak (sampah basah). Sampah basah akan dititipkan pada pengepul untuk
dibuang di Tempat Pembuangan Akhir. Dengan begitu, sistem ini selain
memiliki nilai ekonomi dan sosial juga telah megurangi masalah
pengelolaan sampah.
Ririn, yang mendapat tanggungjawab
sebagai pencatat sekaligus bendahara tiap dua minggu sekali akan
menyetor tabungan warga. Menjelang hari raya, tabungan itu dibagikan
pada para pemiliknya. Namun jika terdapat kebutuhan tak terduga,
misalnya kekurangan dana dalam kegiatan warga, maka atas dasar
kesepakatan, tabungan akan diambil untuk mendanai kegiatan tersebut.
Pada tiap dua minggunya itu, rata-rata
per Kepala Keluarga menyetor sampah sebanyak satu karung sampah non
organik. Sementara sampah organiknya sebelum dititipkan ke pengepul,
sudah dipilah dulu oleh warga untuk pakan ternak seperti ayam, ikan dan
lainnya juga untuk pupuk tanaman di kebun. Yang tidak punya kolam dan
kebun, mereka biasanya memberikan sampah organik itu kepada tetangga
yang butuh.
Tabungan Sampah yang telah dijalankan
oleh warga RT 02 RW 01 Sigaluh ini telah menginspirasi RT lain untuk
melakukan gerakan lingkungan. Ada yang mengadopsi Tabungan Sampah
seperti RT 02, ada pula yang menciptakan sistem sendiri. Di RT 02
sendiri, sejauh ini sistem ini berjalan dengan baik. Rata-rata warga
memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk bersama-sama menerapkan
sistem pengendalian dan pengolahan sampah tersebut. Alim menuturkan,
warga rutin datang dua minggu sekali untuk setor sampah tanpa harus
dikomando.
“Dan ini dilakukan oleh seluruh
warga. Tidak ada yang menolak sistem ini, atau tidak mendukungnya. Semua
mengikuti Tabungan Sampah”, jelas Alim.
Pemanfaatan sampah organik juga
berjalan. Jika kegiatan-kegiatan RT menyisakan sampah, maka begitu
kegiatan selesai warga sudah terbiasa bergegas untuk membersihkannya.
Memilah sampah organik dan non organik sudah menjadi kebiasaan,
membersihakan lingkungan dari sampah relatif sudah jadi budaya warga.
Menurut Alim, tidak dibutuhkan tenaga
besar untuk membangun kesadaran tersebut. RT yang terdiri dari sekitar
52 KK itu mayoritas adalah pensiunan PNS yang relatif memiliki waktu
luang untuk melakukan kegiatan bersama warga. Status itu juga memudahkan
dalam membangun kesadaran akan pentingnya lingkungan yang bersih dan
sehat.
Organisasi dan perkumpulan juga
merupakan faktor penunjang berhasilnya penerapan Tabungan Sampah. Jika
para pemuda Sigaluh punya wadah organisasi karang taruna dan hoby, para
perempuan Sigaluh juga memiliki forumnya sendiri. Seperti PKK yang rutin
dilakukan pertemuan pada tiap tanggal 10, forum-forum agama dan budaya
misalnya musik rebana pada tiap malam Sabtu, dawis mingguan, serta
pengajian dan arisan pada tiap Jum’at. Pada forum-forum itu pula mereka
akan mendiskusikan isu-isu bersama. Termasuk soal lingkungan hidup dan
sampah.
Jadi, jika pada 12-13 Oktober 2019 pada
Kongres Sampah Jawa Tengah di desa Kesongo Kabupaten Semarang diserukan
upaya pengurangan sampah harus dilakukan oleh semua kalangan dan dapat
dimulai dari rumah, maka sebenarnya warga Sigaluh RT 02 sudah memulainya
sejak enam tahun lalu.
Nur Mualim menuturkan, bahwa untuk
menerapkan sistem Tabungan Sampah ini, mereka tidak membentuk satuan
petugas khusus atau semacam polisi sampah.
“Polisinya ya mereka sendiri. Tapi
kalau kita lihat dan dengar dengan baik, polisinya adalah Ibu-ibu,
mereka jadi polisi di rumahnya masing-masing”, tutur Alim.
Urusan sampah kerap terdengar sebagai
urusan kecil yang seolah bukan masalah. Tapi itu hanya kedengarannya
saja, lihat dengan cermat, maka tidak begitu faktanya. Sebagai contoh
kecil, mari lihat di rumah kita masing-masing. Di dalam dapur kita,
biasanya terdapat tong sampah yang isinya didominasi sampah basah. Dan
tiap hari berproduksi, sehingga tiap hari pula harus dibuang. Bagaimana
jika dalam sehari atau dua hari sampah itu tidak kita buang, terus
menumpuk dan mengonggok di dapur kita? Yang ada adalah menggunung, tidak
enak dilihat, menghadirkan bau tak sedap, dan pada sampah-sampah
tertentu dapat mengundang lalat serta melahirkan ulat. Bagaimana pula
misalnya truk sampah libur tidak mengangkut tumpukan sampah pada tiap
rumah? Kita akan kebingungan ke mana tumpukan sampah kita hendak kita
buang. Karena faktanya dalam soal pengelolaan sampah, masyarakat kita
memang masih tergantung pada Tempat Pembuangan (Akhir).
Saya telah memulai sejak sekitar lima
tahun lalu untuk terbiasa memilah sampah organik dan non organik di
rumah. Sampah-sampah plastik (seperti botol dkk) termasuk juga baju
bekas atau pantas pakai, saya kumpulkan terpisah dari sampah basah.
Kemudian, seminggu atau dua minggu sekali saya berikan pada pemulung
yang lewat depan rumah. Sementara itu untuk mengurangi sampah kantong
plastik, saya membudayakan belanja tanpa kantong plastik. Gantinya saya
pakai tas kain buatan Ibu saya, atau tas plastik lipat yang memang
dibuat untuk digunakan berulang-ulang. Kadang saya juga mencontoh
orang-orang Papua Asli, yaitu menggunakan Noken Papua. Perilaku-perilaku
itu saya kampanyekan setidaknya pada anggota seisi rumah tinggal saya.
Langkah kecil gerakan lingkungan memang
efektif dan harus dimulai dari lingkup domestik. Karena perilaku hidup
sehat dan penyelamatan lingkungan erat kaitannya dengan kebiasaan atau
budaya yang terbangun pada kelompok terkecil dalam masyarakat: keluarga.
Dari situ dimungkinkan lahir kesadaran di tingkat kelompok-kelompok
yang lebih besar, dan langkah nyata penyelamatan lingkungan.
Seperti yang dilakukan warga Sigaluh RT
02 RW 01, mereka tidak berhenti pada gerakan pengendalian dan pengolahan
sampah saja, tapi juga masalah lingkungan lainnya. Pada 2014, mereka
pernah melakukan penghijauan di sepanjang tepian Serayu yang masuk dalam
wilayah geografis mereka. Gerakan penanaman sayur di depan rumah juga
dilakoni oleh warga, juga pengelolaan saluran pipa air limbah.
Meskipun upaya-upaya warga Sigaluh RT 02
dalam melakukan upaya penyelamatan lingkungan mendapat dukungan dari
pihak pejabat Desa dan para tokoh masyarakat, namun, menurut Alim dan
kawan-kawannya, mereka juga masih butuh dukungan yang lebih luas lagi,
terutama di level pengambil kebijakan. Karena mereka juga memiliki
rencana-rencana lain yang memiliki dampak jangka panjang, misalnya
pembuatan hutan kota yang dalam mewujudkannya memerlukan kerjasama
dengan para pengambil kebijakan. Sebab masalah lingkungan memang bukan
masalah yang dapat selesai dengan serta merta. Seperti kereta api,
bergerbong-gerbong dan panjang, masalah lingkungan juga berlapis-lapis,
dan panjang urusannya.