Rabu, 22 Maret 2017

De Majestic

Oleh: Adiani Viviana


Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di https://indonesiana.tempo.co/read/109185/2017/03/16/vi2_163/de-majestic

Ini adalah gedung bioskop legendaris di Bandung, Jawa Barat. Namanya De Majestic. Kabarnya, di sinilah Bung Karno dan Ibu Inggrid menonton bersama untuk pertama kalinya saat mereka pacaran (tidak diketahui kapan waktunya). Di sini pula untuk pertama kalinya film Loetoeng Kasaroeng diputar, yaitu pada 31 Desember 1926. Pemainnya para pribumi, sutradaranya Belanda.


Bangunan berkapasitas 500 orang ini selesai dibangun pada 1925. Arsiteknya Prof. Ir. Wolff Schoemaker, seorang berkebangsaan Belanda yang lahir, berdiam, dan meninggal di Hindia Belanda –Indonesia-. Selain seorang arsitek, ia juga guru besar di ITB kala itu. Karya-karya Schoemaker dianggap menjadi simbol pemberontakan terhadap jajahan aliran internasionalisme, yang menurutnya tidak efisien dan boros ornamen.

Pada zaman kolonial Belanda itu, De Majestic merupakan gedung elite bagi kaum elite. Semua yang datang ke sini berpakaian rapi dan bersepatu. Saya rasa saat itu kalau tidak bersepatu mungkin “clinguk’an” (tengok kiri kanan diam-diam). Bahkan pada zaman itu ada aturan di De Majestic yang berbunyi verbodden voor en honder inlander: dilarang masuk bagi anjing dan pribumi. Pribumi disejajarkan dengan anjing? Jelas saat itu De Majestic hanya diperuntukan bagi mereka para Toean dan Mevrouw. Sekarang, pakai sandal boleh saja. Sandal juga bagian dari simbol pemberontakan. Pemberontakan pada jajahan aliran elite, dan jajahan aliran bijak yang kaku. Bapak petugas di De Majestic menatap berkali-kali ke arah kaki saya pada siang itu, Rabu 8 Maret 2017. Seperti mau tegur saya? Jadi saya sapa duluan saja. Lalu kami mengobrol.

Jadi bener nie, saya boleh masuk Pak? Biasanya saya pakai sandal jepit, lho Pak. Ini mirip sepatu sandal kok Pak?”, saya mulai cerewet.

Seperti sepatu dan sandal, yang menjadi saksi bisu tiap langkah perjalanan kaki, mesin pemutar film bermerk PHILIPS yang kini dipajang di lobi De Majestic juga menjadi saksi bisu perjalanan sejarah gedung ini. Mulai dari perubahan namanya: dari Concordia Bioscoop – Oriental Bioskop – Bioskop Dewi – Asia Africa Culture CenterNew Majestic hingga menjadi De Majestic, perubahan peruntukannya, pengelolanya, hingga kisah-kisah yang terjadi di gedung yang kini menjadi cagar budaya kelas A itu. Karena ia cagar budaya, maka jika bangunan direnovasi tidak boleh mengubah bentuk dan material gedung. Bangunan oleh dan pada zaman Belanda menggunakan material kapur, pasir, dan batubata. Jarang menggunakan semen. Tekstur dan kekuatannya beda dengan bangunan saat ini. Dalam perjalanan sejarahnya, gedung bioskop yang berdiri kokoh itu pernah beralih fungsi sebagai gedung serba guna, pertunjukan seni, budaya, dan musik.

Pada 9 Februari 2008, sebuah grup musik bawahtanah kota Bandung bernama Beside melakukan konser di De Majestic. Grup musik metal itu meluncurkan album pertamanya, Against Ourselves. Penonton yang hadir melebihi kapasitas, rusuh, dan 11 orang muda meninggal dalam perhelatan ini. Setelahnya, De Majestic dapat dibilang mati suri. Musik, sebuah media yang mampu menembus batas dimensi, bersifat universal, mampu menyuarakan kemanusiaan dan perdamaian, telah mengiringi 11 orang muda itu pergi ke alam lain. Menembus batas kehidupan.

Sembilan tahun kemudian, pada 24 Februari 2017, gedung ini kembali dibuka, dengan perubahan konsep tanpa mengubah interiornya. Fungsinya sebagai pertunjukan seni budaya Sunda, kapasitas maksimal 100 orang saja, pengelolanya adalah Perusahaan Daerah Jasa dan Kepariwisataan Provinsi Jawa Barat. Pada 24 Februari 2017 itu pula gedung ini resmi bernama De Majestic. Campuran dua bahasa, Belanda dan Inggris. Dalam bahasa Belanda kata “majestic” menjadi “majestieus” yang berarti “yang besar” atau “lux”. Kata “majestieus” itu sendiri berasal dari kata “majesteit” artinya “raja” atau “royalty”.

Di sepanjang jalan Braga Bandung, hingga kini masih berdiri gedung-gedung bersejarah dan bernilai seni tinggi, tinggalan kolonial Belanda. Segala tentang penjajahan memang meninggalkan ketidakadilan dan luka. Tapi negara penjajah dapat “sedikit baik”, setidaknya dengan meninggalkan sesuatu yang bernilai positif. Tidak hanya menindas, mengeruk, dan menggaruk saja.

Dari gedung-gedung masa penjajahan di sepanjang jalan Braga itu, saya paling suka dengan gedung yang berada di jalan Braga No 1: De Majestic ini. Dari depan terlihat unik dan berkarakter, masuk ke dalamnya terasa dan tampak etnik romantik, beraura kuat. Secara keseluruhan kharismatik. Seperti Bung Karno.