Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di https://indonesiana.tempo.co/read/109185/2017/03/16/vi2_163/de-majestic
Ini
adalah gedung bioskop legendaris di Bandung, Jawa Barat. Namanya De Majestic. Kabarnya, di sinilah Bung
Karno dan Ibu Inggrid menonton bersama untuk pertama kalinya saat mereka
pacaran (tidak diketahui kapan waktunya). Di sini pula untuk pertama kalinya
film Loetoeng Kasaroeng diputar, yaitu pada 31 Desember 1926. Pemainnya para
pribumi, sutradaranya Belanda.
Bangunan
berkapasitas 500 orang ini selesai dibangun pada 1925. Arsiteknya Prof. Ir.
Wolff Schoemaker, seorang berkebangsaan Belanda yang lahir, berdiam, dan
meninggal di Hindia Belanda –Indonesia-. Selain seorang arsitek, ia juga guru
besar di ITB kala itu. Karya-karya Schoemaker dianggap menjadi simbol
pemberontakan terhadap jajahan aliran internasionalisme, yang menurutnya tidak
efisien dan boros ornamen.
Pada
zaman kolonial Belanda itu, De Majestic
merupakan gedung elite bagi kaum elite. Semua yang datang ke sini
berpakaian rapi dan bersepatu. Saya rasa saat itu kalau tidak bersepatu mungkin
“clinguk’an” (tengok kiri kanan diam-diam). Bahkan pada zaman itu ada aturan di
De Majestic yang berbunyi verbodden voor en honder inlander:
dilarang masuk bagi anjing dan pribumi. Pribumi disejajarkan dengan anjing?
Jelas saat itu De Majestic hanya
diperuntukan bagi mereka para Toean
dan Mevrouw. Sekarang, pakai sandal
boleh saja. Sandal juga bagian dari simbol pemberontakan. Pemberontakan pada
jajahan aliran elite, dan jajahan
aliran bijak yang kaku. Bapak petugas di De
Majestic menatap berkali-kali ke arah kaki saya pada siang itu, Rabu 8
Maret 2017. Seperti mau tegur saya? Jadi saya sapa duluan saja. Lalu kami
mengobrol.
“Jadi bener nie, saya boleh masuk Pak?
Biasanya saya pakai sandal jepit, lho Pak. Ini mirip sepatu sandal kok Pak?”,
saya mulai cerewet.
Seperti
sepatu dan sandal, yang menjadi saksi bisu tiap langkah perjalanan kaki, mesin
pemutar film bermerk PHILIPS yang kini dipajang di lobi De Majestic juga menjadi saksi bisu perjalanan sejarah gedung ini.
Mulai dari perubahan namanya: dari Concordia
Bioscoop – Oriental Bioskop – Bioskop Dewi – Asia Africa Culture Center – New
Majestic hingga menjadi De Majestic,
perubahan peruntukannya, pengelolanya, hingga kisah-kisah yang terjadi di
gedung yang kini menjadi cagar budaya kelas A itu. Karena ia cagar budaya, maka
jika bangunan direnovasi tidak boleh mengubah bentuk dan material gedung.
Bangunan oleh dan pada zaman Belanda menggunakan material kapur, pasir, dan
batubata. Jarang menggunakan semen. Tekstur dan kekuatannya beda dengan
bangunan saat ini. Dalam perjalanan sejarahnya, gedung bioskop yang berdiri
kokoh itu pernah beralih fungsi sebagai gedung serba guna, pertunjukan seni,
budaya, dan musik.
Pada
9 Februari 2008, sebuah grup musik bawahtanah kota Bandung bernama Beside melakukan konser di De Majestic. Grup musik metal itu
meluncurkan album pertamanya, Against
Ourselves. Penonton yang hadir melebihi kapasitas, rusuh, dan 11 orang muda
meninggal dalam perhelatan ini. Setelahnya, De
Majestic dapat dibilang mati suri. Musik, sebuah media yang mampu menembus
batas dimensi, bersifat universal, mampu menyuarakan kemanusiaan dan
perdamaian, telah mengiringi 11 orang muda itu pergi ke alam lain. Menembus
batas kehidupan.
Sembilan
tahun kemudian, pada 24 Februari 2017, gedung ini kembali dibuka, dengan
perubahan konsep tanpa mengubah interiornya. Fungsinya sebagai pertunjukan seni
budaya Sunda, kapasitas maksimal 100 orang saja, pengelolanya adalah Perusahaan
Daerah Jasa dan Kepariwisataan Provinsi Jawa Barat. Pada 24 Februari 2017 itu
pula gedung ini resmi bernama De Majestic.
Campuran dua bahasa, Belanda dan Inggris. Dalam bahasa Belanda kata “majestic” menjadi “majestieus” yang berarti “yang besar” atau “lux”. Kata “majestieus” itu sendiri berasal dari
kata “majesteit” artinya “raja” atau
“royalty”.
Di
sepanjang jalan Braga Bandung, hingga kini masih berdiri gedung-gedung
bersejarah dan bernilai seni tinggi, tinggalan kolonial Belanda. Segala tentang
penjajahan memang meninggalkan ketidakadilan dan luka. Tapi negara penjajah
dapat “sedikit baik”, setidaknya dengan meninggalkan sesuatu yang bernilai
positif. Tidak hanya menindas, mengeruk, dan menggaruk saja.
Dari
gedung-gedung masa penjajahan di sepanjang jalan Braga itu, saya paling suka
dengan gedung yang berada di jalan Braga No 1: De Majestic ini. Dari depan
terlihat unik dan berkarakter, masuk ke dalamnya terasa dan tampak etnik
romantik, beraura kuat. Secara keseluruhan kharismatik. Seperti Bung Karno.