Jumat, 20 April 2012

Pohon Tua dan Pak Alley


Pada suatu malam, di Jalan Raya Bogor di sepanjang Cilangkap, terlihat gerombolan orang berjalan kaki menuju arah Bogor, dan ke arah sebaliknya, arah Jakarta. Sementara, di sebuah tempat, yaitu tempat dimana gerombolan orang yang berjalan kaki itu mulai bertolak, terlihat puluhan orang sedang mengerumuni bangkai pohon tua.

Situasi semakin padat dan bising ketika sebuah mobil dari Tim SAR Bogor mendenging-denging melaju dengan kecepatan tinggi mendekati bangkai pohon tua itu.

Seorang anggota Brimob yang berdiri di tengah jalan dengan sepeda motornya berdiri melintang jalan, sangat sibuk menginstruksikan para pengemudi kendaraan dari arah Jakarta menuju Bogor untuk berbalik arah. Tangan kanannya tak henti-hentinya memberi isyarat putar balik, tanpa memberitahu alasan dari instruksinya itu. Dalam keadaan darurat, sebuah instruksi memang harus secara cepat dan sigap diedarkan dan dilaksanakan.

Malam itu, Rabu 20 Maret 2012, saya turut menjadi pejalan kaki bersama gerombolan orang yang berjalan kaki kiloan meter menuju ke arah Bogor. Angkot berwarna biru tua yang saya tumpangi dari PAL dengan tujuan terakhir Cibinong, turut berbalik arah mengikuti instruksi “komandan”.

“Ada apa ne. Ada apa ne?”, diliputi rasa ingin tahu, para penumpang saling bertanya dalam saling ketidaktahuan.

Sopir angkot, berusaha menjadi informan pertama bagi para penumpangnya. Setelah putar balik, sambil terus mengemudikan angkotnya diantara padatnya kendaraan lain, ia terus berusaha bertanya, berteriak, pada sesama sopir angkot.

“Pohon guedhe tumbang melintang jalaaaaaan”, seorang sopir angkot berteriak dari balik kemudinya.

“Huhhh”, para penumpang mengeluh. Sopir angkot mempersilahkan saya beserta penumpang lainnya untuk turun, tanpa membayar ongkos. Ia akan menuju arah Jakarta lagi.

Awalnya saya berjalan kaki bersama 5 orang, namun tiga orang dari 5 tersebut tidak berjalan kaki sampai Cibinong. Karena memang tujuan mereka tidak begitu jauh dari lokasi tumbangnya pohon tua. Tinggalah saya bersama Pak Alley, berduet jalan kaki hingga pasar Cibinong.

Saat melewati pohon tua yang roboh itu, kami sempat mendekatinya. Itu adalah Pohon Asam raksasa yang sudah dimakan usia. Mungkin usianya setua Jalan Raya Bogor itu sendiri, tempat dimana Pohon Asam raksasa tumbuh, berdiam, dan tumbang.

Jalan Raya Bogor, merupakan jalan raya legendaris yang menghubungkan Bogor dengan Jakarta. Jalan Raya ini telah ada sebelum Marsekal Herman Willem Daendels memerintahkan membangun Jalan Raya Pos antara Anyer sampai Panarukan.

“Emang pu’un udah waktunya roboh. Udah tua. Dari jaman Belanda itu udah ada”, cerita Pak Alley pada saya disela-sela kami jalan kaki.

Jaman Belanda yang dimaksud Pak Alley, tentu adalah jaman Daendels tersebut. Menurut beberapa pengamat budaya, dan pelaku sejarah, salah satu penanda atau peninggalan di sepanjang jalan Raya Bogor pada masa Daendeles tersebut, memang hanya pohon-pohon Asam tua yang berdiri berderet di tepi jalan itu.

Kulit kayu pohon-pohon itu terlihat sangat hitam legam, dan seperti mau terkelupas. Namun begitu, daunnya selalu bersemi mengikuti musim, sehingga sangat hijau dan rindang, cocok sebagai pohon peneduh jalan. Di pagi hari, mereka terlihat sangat cerah dan berwibawa. Pada siang harinya, pohon-pohon itu terlihat berdiri anggun bersahaja. Namun, dimalam hari, terlebih jika turun hujan, pohon-pohon itu menjadi terlihat seperti tidak bersahabat dengan para pengguna Jalan Raya Bogor.

Pohon-pohon tua yang berhasil survival dan terus survive itu memiliki peranan yang sangat berarti bagi kebersihan udara di sepanjang Jalan Raya Bogor tersebut. Setiap menit terdapat kendaraan bermotor yang melintasi jalan tersebut. Ratusan sepeda motor, angkutan umum, truk, bus, kendaraan pribadi, tronton, kountainer melintasi Jalan Raya Bogor. Seiring dengan laju ratusan kendaraan tersebut, tercipta berton-ton zat karbondioksida yang tidak baik untuk kesehatan pernafasan, dan kulit manusia.

Jalan Raya Bogor, juga dikenal sebagai jalur pabrik. Di sepanjang jalan itu, terdapat puluhan pabrik skala besar yang beroperasi tiap hari. Mulai dari pabrik mesin air, makanan, tekstil, hingga minuman. Proses produksi pabrik tentu juga menghasilkan zat karbondioksida, yang berkontribusi besar pada pencemaran udara.

Kesetiaan pohon-pohon Asam tua pada Jalan Raya Bogor tak bersyarat. Justru ia menjadi penetralisir zat beracun karbondioksida tersebut. Pada saat pepohonan melakukan fotosintesa untuk menghasilkan zat oksigen, pada saat yang bersamaan ia menghisap zat karbondioksida.

Nafas Pak Alley mulai terdengar tak beraturan. Keringat mulai menetes dari keningnya. Namun, di sepanjang jalan, ia terus saja bercerita.

Rambutnya memang telah memutih semua. Namun giginya masih rapi. Jika melihat jalannya yang masih tegap dengan ritme yang cepat pula, siapa menyangka ia telah berusia 71 tahun. Pak Alley, mampu bertahan karena semangat hidup yang tinggi, terus beraktivitas dan bermanfaat bagi sesama.

Begitu juga Pepohonan. Pohon, mampu bertahan hidup lebih dari 3 tahun. Lebih lama satu tahun, dibanding semak-semak. Bahkan, sebatang Pohon Cemara di Jepang, ditengarai telah memiliki usia selama 7200 tahun. Tiap bagian dari pohon cemara memiliki manfaat, mulai dari kayu, getah, daun, biji, hingga rantingnya.

Saya teringat pada pohon yang berbentu huruf V, pohon tua yang tumbuh di ketinggian sekian mdpl (meter di atas permukaan laut) mendekati Hargodumillah, puncak gunung Lawu. Sahabat-sahabat saya, Monica Christihani, Choiriyah, Yulius Sigit, dan Wuwuh Setiono, memberinya nama pohon Victory. Namun, saya memberinya nama pohon Viviana. Mereka berempat lebih dulu mengenal pohon V, dibanding saya. Terakhir saya mengunjungi Lawu, di pertengahan tahun 2004, pohon V masih hidup. Tegak berdiri.

Melewati depan Pabrik Roti dan Café Maxim, saya mulai memelankan ritme jalan kaki saya. Tapi tidak dengan Pak Alley, ia terus melaju.

“Saya mah tiap pagi jalan-jalan. Jalan kaki ndak pakai sandal, mengikuti jalur rel mati”, seru pak Alley menceritakan salah satu aktivitas hariannya.

Ia tinggal bersama anak perempuannya. Anak tunggal. Istri pak Alley telah meninggal. Suami anak perempuannya juga telah meninggal. Dulu, pak Alley adalah sopir angkot, jalur Cibinong-Pasar Rebo. Kini mereka hidup dari uang kiriman Cucu pak Alley yang bekerja di Bandung.

“Nah, sampai juga kita Neng. Neng mah, lurus kan ya? Saya mau mampir pasar dulu, beli kue pukis buat cicit. Demen banget ama kue pukis yang di pengkolan situ”, sambil menyeka keringatnya dengan sapu tangan, Pak Alley memberi aba-aba perpisahan.

Saya menyambut aba-aba itu dengan mengucapkan terima kasih dan menyodorkan tangan, menyebutkan nama saya.

“Saya Pak Alley. Ndak tahu dah, dari lahir namanya segitu doang. Hati-hati ya Neng. Ati-ati masih naik satu angkot lagi”, Pak Alley menyebutkan namanya, diikuti nasehat buat saya, sambil melambaikan tangan, berbelok menuju pengkolan tempat penjual Pukis kesukaan cicitnya.

Seperti manusia yang berregenerasi, pohon-pohon Asam tua di sepanjang jalan Raya Bogor juga perlu regenerasi. Tumbang satu tumbuh seribu.