Rabu, 13 Januari 2016

Nyanyi Sunyi di Hargo Dumillah

http://www.beritalingkungan.com/2016/01/nyanyi-sunyi-di-hargo-dumillah.html


Oleh : *Adiani Viviana


Sejak semula, aku tahu, bahwa pada akhirnya aku harus mengucapkan selamat berpisah kembali padamu, duhai tanah yang tabah, pohon-pohon purba, jurang Pangurip Urip dengan kerahasiaan abadi, sendang-sendang yang setia berabad-abad tetap basah, dan desau Hargo Dumillah yang sunyi. Aku berlambat-lambat, agar berjumpa Senja. Semua yang berjiwa lembut mencintai Senja.
 
Senja Yang Agung turun, menyelimuti deburan awan tempatku berlarian. Angkasa mekar dengan cahaya-cahaya merah berpendar. Angin gunung bergulung menuju balik bebukitan. Pucuk-pucuk merah daun Pohon Cantigi tak lagi tampak. Di ketinggian tanah dan langit ini, hatiku yang bergelombang menangkap lantunan menyeru kaum Muhammad untuk menghadapkan wajah pada Penciptanya. Memuja Senja. 

Keagungan Senja makin mencekam. Gerimis melibas aroma bunga ilalang, bangkai pohon yang terbakar, dan Edelways kering yang selamat dari kobaran api. Sementara aku, aku terseok, merintih, tenggelam dalam gelap hutan kering yang panjang. Meninggalkan jejakku, membunuh waktu, dan merekam tiap cengkerama penghuni hutan yang panas kerontang.
Aku menangis, mengetahui hidupku dalam Genggaman Waktu. Deburan awan masih menjadi singgasanaku. Mata telanjangku masih dapat menerobos pancaran fajar. 
 
Tangisku gersang, karena kakiku hanya dapat menari bersama rumput kering dan embun tipis. Mulutku hanya menyapa ranting-ranting, anggrek dan lumut kering. Dan semua yang tersisa dari ulah keji manusia. Kulit dan rambutku hanya dapat bermandikan sinar menyengat beraroma asap. Lalu menghirup udara tebal berdebu kering. Tak kujumpai Jalak hitam-Jalak hitam penuntun jalan. 

Kijang liar yang kadang sekonyong-konyong di depan mata, tak ada. Malam dan Siang, bagaimana membuka hati tangan-tangan kotor pembakar hutan ini? Bagaimana menyadarkan para cukong kayu dan para penguasa itu, juga pendaki tak berhati, kalau hutan ini bukan sekadar tempat aku, ia, mereka bermain, dan bukan sekadar tempat mencari penghidupan bagi sebagian yang lainnya? Tapi jauh dari itu, hutan ini adalah Rahim Kehidupan bagi semesta, bagi yang hidup dan yang mati. 

Berat untuk beranjak dan mengucapkan selamat tinggal pada hutan ini. 

Sebelum benar-benar mengucapkan selamat tinggal (yang mungkin untuk kembali lagi), apakah aku boleh tahu, mengapa jiwaku terpaut di sini? Mengapa selalu ingin kembali? Mengapa Buananya selalu menyimpan cerita yang tak habis untuk dibaca? Mengapa Buminya selalu memantulkan bau rindu yang membuat ngilu hati?
Seekor lebah dan kupu-kupu mengkepak-kepakan sayapnya di hadapan mataku, seolah hendak mengkabarkan sesuatu. Namun hanya sekejap, keduanya lalu terbang. Seperti awan yang berarak, yang entah ke mana bersarang. 
 
Aku akan kembali. Aku akan kembali, kupinta engkau tetaplah jadi Rahim Kehidupan. 
 
Cemoro Kandang, 31 Desember 2015
 
 
* Penulis adalah Anggota luar biasa Gopala Valentara PMPA FH UNS, dan pekerja hak asasi manusia.
 
 
 

Tentang Sebuah Nama



 Pertama kali dipublikasikan di Facebook - 10 Januari 2016


"Ini Pipiana ya? Enggak pakai "h", belakangnya? Pipianah? ", tanya petugas klinik mata di Bogor pada saya sambil menyodorkan kartu berobat pada suatu kali. "Viviana. Pakai "V, Victor". Bukan "Fanta"", jelas saya sambil mengeja.

Seorang teman yang saya tuakan juga pernah, menyebut nama belakang saya "Pipiana", saat memperkenalkan diri di depan persidangan di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Tapi esoknya dalam risalah sidang saya temukan nama saya tertulis dengan benar: Viviana. Konon, lidah orang-orang Sunda tidak mengenal huruf "F" dan "V". Keduanya berubah menjadi "P" dan "eP" pada lidah mereka. Jadi, nomor polisi pada kendaraan Bogor bukan "F", melainkan "eP". Tak ada orang bernama "Fajri" di Sunda, adanya "Pajri".

Saat saya naik kelas enam sekolah dasar, saya menuntut Bapak saya untuk mengganti nama belakang saya. Mengubah akta kelahiran saya ke kantor catatan sipil. Saya ingin punya nama seperti sebagian besar kawan-kawan saya di kelas: Robi’ah, Khusnul Khotimah, Khodijah, Surifah, Stahiroh. Nama yang saya inginkan adalah nama Ibu saya: Fatimah. Namun Bapak saya yang bernama Jusuf itu menolak. Katanya, seorang muslim tidak harus memiliki nama dengan menggunakan Bahasa Arab. Saya kecil gagal paham.

Hingga kemudian, saat saya duduk di sekolah menengah pertama, saya mengetahui salah satu teman Kakak saya ada yang bernama Kirdun. Kata Kirdun berasal dari Bahasa Arab. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya menjadi monyet. Tidak jelas betul mengapa orang tua Kirdun memberinya nama "Kirdun".

Seperti Bahasa Sunda yang merupakan bagian dari kekayaan budaya Indonesia, Bahasa Arab merupakan bagian dari budaya Arab. Kata Gus Dur, yang harus kita serap adalah ajarannya, bukan budayanya. Karena Islam datang bukan untuk mengubah hidup leluhur kita jadi budaya Arab.
Di Turki, terdapat sebuah masjid yang memiliki nama samasekali tak berbau Arab, karena tidak menggunakan Bahasa Arab. Juga tidak berbau ke-Islam-islaman. Masjid itu bernama "Anggap Saja Sudah Makan", atau dalam Bahasa Turki disebut Masjid "Shanke Yadem". Rumah Tuhan atau dalam Bahasa Arab "baitullah" itu tetap ada dan melegenda.

Masjid Anggap Saja Sudah Makan berdiri karena pemikiran dan kesungguhan niat dari Khaeruddin Afandi. Afandi bukan pemikir atau tokoh kenamaan Turki sebagaimana Mustafa Kemal Attaturk. Ia hanyalah seorang lelaki yang hidup dalam kesederhanaan. Muslim yang hidup di pinggiran Istambul itu mampu menahan nafsunya terhadap makanan-makanan lezat yang ia lihat dan inginkan. Ia menganggap diri sudah makan. Afandi menyisihkan uang makannya itu. Ia berniat mendirikan masjid. Hingga kemudian masjid yang ia impikan berdiri di tanah Turki. Warga Muslim di seputaran Istambul menyemut beribadah di sana. Dan setelah mendengar kisahnya, mereka memberinya nama masjid itu "Shanke Yadem - Anggap Saja Sudah Makan"

Setelah perang dunia pertama, terbentuk Konferensi Perdamaian Paris. Negara-negara yang kalah perang seperti Turki, Bulgaria, Hongaria, dan Austria mengadakan perjanjian dengan negara-negara baru. Perjanjian ini berisi perlindungan hak-hak kaum minoritas atas dasar agama, ras, dan bahasa.
Tentang penamaan masjid di Turki yang tak lazim itu, tidak ada bentuk penolakan apapun dari pihak manapun di Turki. Barangkali goresan sejarah, khususnya sejarah Attaturk cukup berpengaruh. Saat Turki beralih dari Kesultanan-Islam menjadi Republik-Sekuler, Attaturk mulai melarang simbol-simbol Islam. Sebutan nama "Allah"yang merujuk pada Tuhannya umat Islam, mulai digunakan dengan nama "Tanri", Bahasa Turki yang berarti juga Allah.

Di Indonesia, kata "Tanri" salah satunya digunakan sebagai nama orang. "Tanri Abeng". Jika merujuk pada Bahasa Turki, nama pengusaha yang juga mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN pada Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan itu, menjadi "Tuhan Abeng". Tak ada protes dari Turki atau pihak manapun kepada Indonesia atau keluarga Tanri Abeng untuk mengganti namanya. Berbeda dengan MUI Jawa Timur yang pada 2015, getol meminta "Tuhan", seorang lelaki tukang kayu di Banyuwangi, untuk mengubah namanya.

Pada negara-negara yang "mampu jaga jarak" dalam urusan antara negara dengan agama, seperti Turki, agama atau keyakinan dan pemeluknya dapat hidup dengan damai dan sehat. Sebaliknya, pemerintah yang kebablasan intervensi urusan agama, dapat jadi penghalang terciptanya perdamaian dalam kehidupan beragama atau berkeyakinan. Di Turki sejak April 1928, agama menjadi urusan tiap-tiap pribadi. Tiap penduduk Republik Turki boleh memilih agamanya, dan bebas beraktivitas keagamaan. Adanya Masjid Anggap Saja Sudah Makan salah satu buktinya.

Mungkin jika Islam pertama kali diajarkan di kota Xin Zhou, bukan Mekkah, ia akan identik dengan Bahasa China atau Mandarin, bukan Bahasa Arab. Tapi bukankah kebanyakan Muslim di China juga tetap menggunakan nama dengan bahasa mereka? Tengok pendiri Dinasti Ming. Ia adalah Jendral Muslim terkemuka, namanya Zhu Yuanzhang. Termasuk Laksamana Cheng Ho, penyiar Islam di bumi Nusantara ini, yang namanya kemudian diabadikan sebagai nama masjid Muslim Tionghoa di kota-kota di Indonesia: Masjid Muhammad Cheng Ho. Salah satunya di kampung halaman saya, Bocari-Purbalingga.

Konon, berbeda dengan Shakespear yang menganggap apalah arti sebuah nama, dalam ajaran Islam nama memiliki kedudukan penting. Saat nama seseorang dipanggil oleh orang lain, malaikat di sekelilingnya mengamini seruan nama itu. Orang tua dianjurkan oleh Allah untuk memberikan nama yang baik kepada keturunan-keturunannya.

Yang dianjurkan adalah "baik". Baik tidak bergantung pada bahasa apa yang digunakan, melainkan pada keyakinan akan nama itu, makna dan harapannya.

Barangkali saya tidak akan mengubah atau minta ganti nama lagi. Saya suka dengan nama saya, dan bangga pada Bapak-Ibu saya atas penamaan raga saya: Adiani Viviana. Campuran dua bahasa, bukan Bahasa Arab, yang saya yakin bermakna baik. Juga nama alias saya yang tak berbahasa Arab. Lihatlah nama "Abu Lahab". Dalam sejarah Islam ia dikenal sebagai sosok dengan kebencian mendalam terhadap Islam. Juga nama "Abu Jahal" - Bapaknya Kebodohan. Keduanya menggunakan Bahasa Arab bukan?


Adiani Viviana,
Updates 31 Desember 2016