Pertama kali dipublikasikan di Facebook - 10 Januari 2016
"Ini Pipiana ya? Enggak pakai "h", belakangnya? Pipianah? ", tanya
petugas klinik mata di Bogor pada saya sambil menyodorkan kartu berobat
pada suatu kali. "Viviana. Pakai "V, Victor". Bukan "Fanta"", jelas saya
sambil mengeja.
Seorang teman yang saya tuakan juga pernah,
menyebut nama belakang saya "Pipiana", saat memperkenalkan diri di depan
persidangan di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Tapi esoknya
dalam risalah sidang saya temukan nama saya tertulis dengan benar:
Viviana. Konon, lidah orang-orang Sunda tidak mengenal huruf "F" dan
"V". Keduanya berubah menjadi "P" dan "eP" pada lidah mereka. Jadi,
nomor polisi pada kendaraan Bogor bukan "F", melainkan "eP". Tak ada
orang bernama "Fajri" di Sunda, adanya "Pajri".
Saat saya naik
kelas enam sekolah dasar, saya menuntut Bapak saya untuk mengganti nama
belakang saya. Mengubah akta kelahiran saya ke kantor catatan sipil.
Saya ingin punya nama seperti sebagian besar kawan-kawan saya di kelas:
Robi’ah, Khusnul Khotimah, Khodijah, Surifah, Stahiroh. Nama yang saya
inginkan adalah nama Ibu saya: Fatimah. Namun Bapak saya yang bernama
Jusuf itu menolak. Katanya, seorang muslim tidak harus memiliki nama
dengan menggunakan Bahasa Arab. Saya kecil gagal paham.
Hingga
kemudian, saat saya duduk di sekolah menengah pertama, saya mengetahui
salah satu teman Kakak saya ada yang bernama Kirdun. Kata Kirdun
berasal dari Bahasa Arab. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
artinya menjadi monyet. Tidak jelas betul mengapa orang tua Kirdun
memberinya nama "Kirdun".
Seperti Bahasa Sunda yang merupakan
bagian dari kekayaan budaya Indonesia, Bahasa Arab merupakan bagian dari
budaya Arab. Kata Gus Dur, yang harus kita serap adalah ajarannya,
bukan budayanya. Karena Islam datang bukan untuk mengubah hidup leluhur
kita jadi budaya Arab.
Di Turki, terdapat sebuah masjid yang
memiliki nama samasekali tak berbau Arab, karena tidak menggunakan
Bahasa Arab. Juga tidak berbau ke-Islam-islaman. Masjid itu bernama
"Anggap Saja Sudah Makan", atau dalam Bahasa Turki disebut Masjid
"Shanke Yadem". Rumah Tuhan atau dalam Bahasa Arab "baitullah" itu tetap ada dan melegenda.
Masjid Anggap Saja Sudah Makan berdiri karena pemikiran dan kesungguhan
niat dari Khaeruddin Afandi. Afandi bukan pemikir atau tokoh kenamaan
Turki sebagaimana Mustafa Kemal Attaturk. Ia hanyalah seorang lelaki
yang hidup dalam kesederhanaan. Muslim yang hidup di pinggiran Istambul
itu mampu menahan nafsunya terhadap makanan-makanan lezat yang ia lihat
dan inginkan. Ia menganggap diri sudah makan. Afandi menyisihkan uang
makannya itu. Ia berniat mendirikan masjid. Hingga kemudian masjid yang
ia impikan berdiri di tanah Turki. Warga Muslim di seputaran Istambul
menyemut beribadah di sana. Dan setelah mendengar kisahnya, mereka
memberinya nama masjid itu "Shanke Yadem - Anggap Saja Sudah Makan"
Setelah perang dunia pertama, terbentuk Konferensi Perdamaian Paris.
Negara-negara yang kalah perang seperti Turki, Bulgaria, Hongaria, dan
Austria mengadakan perjanjian dengan negara-negara baru. Perjanjian ini
berisi perlindungan hak-hak kaum minoritas atas dasar agama, ras, dan
bahasa.
Tentang penamaan masjid di Turki yang tak lazim itu,
tidak ada bentuk penolakan apapun dari pihak manapun di Turki.
Barangkali goresan sejarah, khususnya sejarah Attaturk cukup
berpengaruh. Saat Turki beralih dari Kesultanan-Islam menjadi
Republik-Sekuler, Attaturk mulai melarang simbol-simbol Islam. Sebutan
nama "Allah"yang merujuk pada Tuhannya umat Islam, mulai digunakan
dengan nama "Tanri", Bahasa Turki yang berarti juga Allah.
Di
Indonesia, kata "Tanri" salah satunya digunakan sebagai nama orang.
"Tanri Abeng". Jika merujuk pada Bahasa Turki, nama pengusaha yang juga
mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN pada Kabinet Pembangunan VII
dan Kabinet Reformasi Pembangunan itu, menjadi "Tuhan Abeng". Tak ada
protes dari Turki atau pihak manapun kepada Indonesia atau keluarga
Tanri Abeng untuk mengganti namanya. Berbeda dengan MUI Jawa Timur yang
pada 2015, getol meminta "Tuhan", seorang lelaki tukang kayu di
Banyuwangi, untuk mengubah namanya.
Pada negara-negara yang "mampu jaga jarak" dalam urusan antara
negara dengan agama, seperti Turki, agama atau keyakinan dan pemeluknya
dapat hidup dengan damai dan sehat. Sebaliknya, pemerintah yang
kebablasan intervensi urusan agama, dapat jadi penghalang terciptanya
perdamaian dalam kehidupan beragama atau berkeyakinan. Di Turki sejak
April 1928, agama menjadi urusan tiap-tiap pribadi. Tiap penduduk
Republik Turki boleh memilih agamanya, dan bebas beraktivitas keagamaan.
Adanya Masjid Anggap Saja Sudah Makan salah satu buktinya.
Mungkin jika Islam pertama kali diajarkan di kota Xin Zhou, bukan
Mekkah, ia akan identik dengan Bahasa China atau Mandarin, bukan Bahasa
Arab. Tapi bukankah kebanyakan Muslim di China juga tetap menggunakan
nama dengan bahasa mereka? Tengok pendiri Dinasti Ming. Ia adalah
Jendral Muslim terkemuka, namanya Zhu Yuanzhang. Termasuk Laksamana
Cheng Ho, penyiar Islam di bumi Nusantara ini, yang namanya kemudian
diabadikan sebagai nama masjid Muslim Tionghoa di kota-kota di
Indonesia: Masjid Muhammad Cheng Ho. Salah satunya di kampung halaman
saya, Bocari-Purbalingga.
Konon, berbeda dengan Shakespear yang
menganggap apalah arti sebuah nama, dalam ajaran Islam nama memiliki
kedudukan penting. Saat nama seseorang dipanggil oleh orang lain,
malaikat di sekelilingnya mengamini seruan nama itu. Orang tua
dianjurkan oleh Allah untuk memberikan nama yang baik kepada
keturunan-keturunannya.
Yang dianjurkan adalah "baik". Baik
tidak bergantung pada bahasa apa yang digunakan, melainkan pada
keyakinan akan nama itu, makna dan harapannya.
Barangkali saya
tidak akan mengubah atau minta ganti nama lagi. Saya suka dengan nama
saya, dan bangga pada Bapak-Ibu saya atas penamaan raga saya: Adiani
Viviana. Campuran dua bahasa, bukan Bahasa Arab, yang saya yakin
bermakna baik. Juga nama alias saya yang tak berbahasa Arab. Lihatlah
nama "Abu Lahab". Dalam sejarah Islam ia dikenal sebagai sosok dengan
kebencian mendalam terhadap Islam. Juga nama "Abu Jahal" - Bapaknya
Kebodohan. Keduanya menggunakan Bahasa Arab bukan?
Adiani Viviana,
Updates 31 Desember 2016