Minggu, 12 Oktober 2014

Gigi Ibu yang Hilang




Pada hari raya Idul Adha tahun 1993, di pagi hari seusai sholat Idul Adha situasi rumah saya di kampung halaman hiruk pikuk. Nini dukun bayi panik dan tegang. Butir-butir keringat menempel di wajahnya yang sudah keriput. Bibirnya nlekthek, gemetar. Seolah dialah yang baru selesai melahirkan. Ia was-was, takut kalau-kalau Ibu saya sudah menghembuskan nafas terakhirnya. 

Saya teringat kata dokter saat itu. Perempuan yang baru melahirkan perlu minum air putih yang banyak. Bukan minum air kopi. Proses persalinan menyita banyak cairan dari tubuh. Air putih dapat membantu proses pemulihan. Air kopi tinggi kafein, katanya, dapat mengganggu proses kerja jantung, dan tekanan darah setelah proses persalinan itu. Sepertinya semua orang mengamini, kalau perempuan yang sedang melahirkan memang sedang berjuang pada batas hidup dan mati.

Ibu ingin minum kopi. Nini dukun bayi memberi ibu segelas kopi hitam setelah ibu berhasil berjuang mengeluarkan adik dari kandungan ibu. Ibu meminumnya hingga habis. Ibu memang pecinta kopi. Mata Ibu terpejam rapat. Bibirnya mengatup kencang. Wajah putihnya pasi. Ibu pingsan sesaat setelah melahirkan anak keenamnya. Adik saya yang ke dua.

Bidan dan dokter kalah cepat datang oleh nini dukun bayi. Padahal nini dukun bayi berjalan kaki puluhan kilometer dari rumahnya menuju rumah kami. Sementara bidan, juga dokter mengendarai sepeda motor. Hitungan melahirkan nini dukun bayi tidak meleset. “Insya Allah, nanti lahir pagi hari. Setelah Sholat Idul Adha selesai”, katanya. Saya tidak tahu persis bagaimana ia mengira-iranya.

Ibu punya cerita yang berbeda-beda pada enam kali proses persalinannya. Tiap kali ibu bercerita tentang salah satu diantara enam itu, rasa cinta dan kagum saya pada ibu selalu bertambah mendalam. Tapi pada  enam kali proses persalinan itu, selalu ada dua kesamaan. Satu, ibu melahirkan enam bayinya secara alami di rumah. Tak ada yang lahir di rumah bersalin. Dua, tiap mengandung, ibu sakit gigi. 

Dokter selalu menyarankan ibu untuk cabut gigi seusai melahirkan. Ibu menurutinya. Ibu telah melahirkan enam bayi. Dalam kurun waktu 1974 – 1993, ibu telah kehilangan enam giginya karena dicabut seusai melahirkan.

Bagi saya, ibu saya adalah ibu terbaik sedunia. Ia perempuan yang kuat. Melebihi kuatnya para pendaki  gunung Annapurna. Atau gunung tertinggi di dunia sekalipun. Hatinya lebih luas dari samudera. Ia guru yang baik. Pelawak yang gokil. Partner bisnis yang oke sip mantap. Meski bukan partner memasak yang kompak. Juga bukan partner berantem yang asyik. 

Ibu sering melawak tanpa disadari. “Bu, itu es teh manis ya?”, “Bukan. Air teh saya taruh kulkas”, katanya tanpa basa-basi. Setelah saya menyipitkan mata dan menarik bibir, barulah ia sadar dan terkekeh sendiri. Selain kopi, sesekali ibu suka es teh manis. Ibu suka yang manis-manis. Tapi Bapak tidak terlalu manis. Hanya saat mudanya, di foto-foto Bapak terlihat  tampan. Ibu  tidak takut yang manis-manis merusak giginya. Ia yakin dalam hidupnya hanya akan sakit gigi saat mengandung saja.

Idul Adha selalu mengingatkan Ibu pada kelahiran anak keenam. Anak terakhirnya. Dan sejak enam tahun terakhir ini, Idul Adha juga mengingatkan Ibu pada kehidupan baru suaminya, Bapak kami. Idul Adha enam tahun lalu, adalah hari pertama Bapak kami menjadi pasien haemodialisa, hingga kini. Idul Adha enam tahun lalu, Ibu mengajarkan pada Bapak dan kami tentang kekuatan. Bagaimana meneladani ketaatan Nabi Ibrahim dalam berkorban dan mengabdi pada Tuhannya. Untuk mendapat ampunan dan tebusan-Nya. Enam tahun lalu, meski ibu tak bisa memasakkan daging untuk kami, meski gigi-gigi kami tak bisa mengunyah daging bersama-sama, mengelilingi meja makan, tapi pada wajah ibu yang sayu, saya masih bisa melihat rona bercahaya.

Orang bilang, sorga ada di bawah telapak kaki ibu. Dan mungkin, kehidupan kami ber-enam, ada di balik gigi ibu. Jika kami ber-enam masing-masing memberi ibu satu gigi buatan, barangkali dapat mengganti enam gigi ibu yang hilang itu. Tapi, gigi emas sekalipun tidak akan pernah dapat mengganti kemuliaan dan pengorbanannya untuk kami. Terima kasih Bu, telah memberi kami jalan kehidupan hingga nafas kami kini.

Bogor, 5 Oktober 2014