Kamis, 28 Juli 2011

Sisi Lain Bukti Sentul







Berada di bukit atau gunung bisa membuat perasaan saya membumbung tinggi. Karena tiap-tiap tempat sunyi memiliki jiwanya sendiri-sendiri. Tiap tempat sunyi menghadirkan nuansa berbeda.

Saya sudah melaju ke tempat yang lebih tinggi, tapi perasan membumbung tinggi itu belum juga muncul. Hampa.

Langit yang menggelantung rendah, awan yang memayungi, hamparan bugenvile, rimbun pinus, sama sekali tidak bisa menghadirkan perasaan itu.

Yang hadir adalah perasaan lain. Hampa. Karena tanah tinggi itu sudah tidak punya jiwanya lagi. Gerombol rumah yang mirip kastil-kastil tampak di sana-sini. Di gundukan tanah yang lain terlihat rumah-rumah megah seperti istana di tengah hutan. Dipagari pinus-pinus yang tegap berdiri seperti patung polisi.

Saya terus menerobos, mengikuti lika-liku jalan itu. Dan pada tanah-tanah yang lain, saya menemukan sisi lainnya. Sisi lain dari bukit yang kesohor namanya. Bukit Sentul. Saya masih mendapati sisi-sisi cantiknya dyang saya abadikan dalam "kamera genggam" saya. (foto bersambung ke 2)

My Activity

Mengapa Metodologi Menjadi Kebutuhan Dasar dalam Sebuah Penelitian?


Ruang pertemuan-ruang pertemuan dalam hotel itu hampir semuanya sedang digunakan untuk acara diskusi. Beberapa pengguna adalah Kantor Pemerintahan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Perusahaan Swasta. Lokasi yang strategis dan bangunan yang masih baru dengan interior modern minimalis menjadikan The Akmani Hotel menjadi pilihan alternative para penggunanya.

Hari itu, Senin, 25 Juli 2011, salah satu ruang pertemuan pada lantai M The Akmani menjadi tempat bertemunya para Penegak Hukum dari beberapa Institusi. Bukan soal kasus Nazarudin yang sedang mendunia yang mereka bahas. Bukan pula kasus Gayus Tambunan si mafia pajak Indonesia. Pagi hingga siang itu, para penegak hukum tersebut sedang berdiskusi tentang penelitian. Sebuah penelitian. Seperti apa jika para penegak hukum duduk bersama mendiskusikan seluk beluk penelitian?

“Sebuah penelitian, semestinya tidak terlalu luas cakupannya. Ia harus bisa mengangkat sebuah tema atau tematik. Sehingga penelitian itu focus”, papar DR. Salman Luthan, S.H.,MH. Ia adalah Hakim Agung Mahkamah Agung RI.

“Penelitian harus dibedakan, apakah penelitian akademik atau penelitian kebijakan. Penelitian kebijakan juga dibedakan lagi, apakah kebijakan yang sudah jadi atau implementasi dari kebijakan (undang-undang) tersebut “, lanjut Salman, yang merupakan Hakim Agung non karier dari unsur akademisi, yang diangkat pada Februari 2010 yang lalu. Sebelum menjabat Hakim Agung, Salam Luthan adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, UII Yogyakarta. Hingga sekarang, Salman-pun masih aktif mengajar di UII.

“Salah satu hal yang memperkuat study penelitian adalah metodologi. Metodoloogi apa yang dipakai dalam penelitian? Sebuah penelitian mesti memiliki bab tersendiri yang menguraikan pilihan metodologi yang digunakan”, hal tersebut disampaikan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara, praktisi hukum yang juga advokat senior.

Hari itu, DR. Salman Luthan, S.H.,MH., dan Abdul Hakim Garuda Nusantara hadir memenuhi undangan ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) dalam acara Advisory Board Meeting Program. Saat ini, ICJR sedang mengimplementasikan sebuah program reformasi kebijakan penahanan dan pra-peradilan di Indonesia, yang salah satu aktifitasnya adalah riset komprehensif tentang kebijakan penahanan dan pra-peradilan, dengan lokasi observasi di lima kota di Indonesia.

“Kelemahan penelitian yang dilakukan oleh LSM-LSM adalah soal metodologi”, komentar Abdul Hakim.

“Hal itu sering dilupakan. Padahal pemilihan metodologi sangat penting”, lanjut Abdul Hakim.

Selain Salman Luthan dan Abdul Hakim, hadir pula Ifdhal Kasim, S.H. (ketua Komnas HAM), Sihan, S.H. (perwakilan dari Kejaksaan Agung RI), dan Abdul Haris Semendawai, S.H.,L.LM. (Ketua LPSK). Sementara dari ICJR hadir para peneliti dan pengelola program.

“Metodologi menjadi titik berangkat dalam sebuah penelitian”, Ifdhal Kasim menyambung Abdul Hakim.

“Dan tiap pemilihan metodologi memiliki halangan dan pertanggung jawabannya sendiri-sendiri”, timpal Abdul Hakim. Ia mencontohkan laporan Bapennas tentang indeks demokrasi tahun 2009 yang menurutnya telah menggunakan metodologi yang sangat baik.

Metodologi memiliki pengertian yang luas dan dalam. Setidaknya dibandingkan dengan metode. Suwardi Endraswara (Peneliti cum Dosen UNY), mengatakan bahwa metodologi menyangkut dasar-dasar epistemologis sedangkan metode lebih ke arah aplikasi, menyangkut cara yang operasional dalam penelitian. Epistemologi adalah ilmu tentang metodologi dan dasar-dasar pengetahuan dengan keterbatasan dan kekuasannya.

Hampir semua peserta diskusi sepakat, bahwa metodologi dalam sebuah penelitian adalah sangat penting. Apapun bentuk penelitian tersebut.

Selain, DR. Salman Luthan, S.H.,MH., Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ifdhal Kasim, S.H., Pohan Lisphay, S.H. (dalam diskusi ini diwakili oleh Sihan, S.H.), Advisory Board Program atau Dewan penasehat program juga beranggotakan perwakilan dari Depkum HAM RI yaitu Drs. Dindin Sudirman, Bc. IP. MSI. (Ses Dirjen Pemasyarakatan), Komjen Pol. Drs. Oegroseno, S.H. (Kalemdikpol Mabes Polri) dan perwakilan akademisi.

Integrated Criminal Justice System merupakan salah satu syarat tegaknya hukum secara proporsional. Dalam implementasi program tersebut, ICJR melibatkan lima Institusi penegak hukum. Pelibatan tersebut dilakukan dari dua sisi. Di satu sisi ICJR melibatkan para penegak hukum sebagai Dewan Penasehat yang memberikan masukan dan arahan dalam implementasi program. Hal ini penting karena diperlukan adanya keterpaduan antara instansi penegak hukum, kesamaan persepsi dalam menangani dan menyelesaikan suatu perkara pidana (dalam hal ini tentang penahanan) yang berorientasi pada penegakkan hukum dan HAM, kebenaran dan keadilan. Di sisi lainnya ICJR menjadikan para penegak hukum sebagai informan dalam penelitian. Mereka dalam dua sisi ini sama kedudukannya yaitu sebagai law enforcement officer.

Penelitian yang sedang dikerjakan oleh ICJR termasuk penelitian kebijakan. ICJR mengambil lokasi penelitian di kota Kupang, Pontianak, Makassar, Medan dan Jakarta sebagai representasi wilayah timur, barat dan tengah Indonesia.

Salman Luthan, dalam diskusi ini mempertanyakan, apakah pemilihan lima wilayah tersebut sudah dapat merepresentasikan Indonesia untuk masalah-masalah penahanan dan pra-peradilan?

“Metode kualitatif, akan lebih mudah kita terapkan dalam penelitian ini. Ia tidak terikat dengan sampel. Tapi berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu”, kata Salman.

“Kompleksitas masalah dapat menjadi pertimbangan dalam penentuan lokasi penelitian”, lanjutnya.

Pada akhir diskusi, Ifdhal Kasim mengingatkan agar penelitian ini juga didasarkan pada perspektif-perspektif tersendiri misalnya perspektif HAM. Abdul Hakim juga menyarankan agar dalam penelitian dapat ditemukan pada tingkat mana sering terjadi pelanggaran HAM (dalam proses penahanan-red).

Menginjak lantai loby The Akmani, kita disambut oleh dinding kayu yang ditumbuhi jamur kayu buatan berwarna putih, yang menempel hingga lapisan tetinggi dinding kayu itu. Sebelum The Akmani Hotel itu berdiri, pasti sang arsitek berikut desaign interiornya terlebih dahulu telah merancang desaign bangunan modern minimalis itu dengan sangat detail. Seperti arsitek dan desaign interior, untuk menghasilkan karya yang baik dan proporsional, peneliti juga harus menyiapkan metodologi (dan desaign riset) terlebih dahulu sebelum melaksanakan penelitian. (DIANI)

Jumat, 15 Juli 2011

Untukmu, Matahari Tak Akan Terbenam
(kepada : Bersihar Lubis)

sebarkan saja virusmu,
biar penyakitmu* mewabah, merajalela
pada semua anak bangsa

sebarkan saja virusmu,
biar semua anak bangsa tak
hidup dalam dungu

senja belum menyapamu,
dan untukmu matahari tak akan
terbenam melenyapkan penyakitmu
karena hari-hari ada dalam genggamanmu
sejuta alasan tak akan bisa menghalangi
dimanapun kau akan menebarnya

teruslah bercumbu dengan penyakitmu
meski meja hijau mengitari percumbuanmu

Pancoran, Desember 2007

*Bersihar menyebut kegemarannya menulis sebagai penyakit


Pernah dibacakan di depan Gedung Mahkamah Agung RI saat kampanye kebebasan pers dan berekspresi

5. Nostalgia


(I)
Hatiku bergetar, bergemuruh
saat menatap hargodumillah
dari tikungan-tikungan
jalan tepi ladang wortel

Cemoro Sewu, 240905

(II)
Menatap kembali puncak Garuda,
Puncak Merbabu,
ingin aku menebar hariku
di kaki-kakinya
menyatu dengan jiwa maha raya

Cepogo, 250905

(III)
Dari taman sorga,
hingga arafah dan himalaya
kembali lahir adam-adam dan hawa-hawa
Jabal Rakhmah ; bukti kasihnya

Candimulyo, 250905

Dimuat pada Koran Rakyat, Banyumas
Tanpa Judul


Kawan, setiap rumah memiliki nada dan iramanya sendiri-sendiri,
Jangan kau ikut campur urusan kami
Apalagi hendak merubah nada dan irama kami
Itu sama halnya kau mengatur-atur suara kami
Kau mengatur-atur apa yang harus kami suarakan
Kami berhak atas suara kami sendiri. Suara kami
Adalah hak kami sendiri*

Sejauh ini kau ikut campur, kawan ;
Bahasa adalah anugerah. Bahasa adalah kekayaan.
Tiap-tiap bahasa bisa disuarakan oleh setiap manusia
Hak kami untuk bersuara menggunakan bahasa manapun
Jika buku adalah jendela dunia
Maka bahasa adalah cara untuk mengerti dunia**
Sejauh ini kau ikut campur ;
Fm 106.5 Mhz jalur mengudaranya suara kami-pun
Kau campuri
Kami bukan pembangkang, kawan. Tapi kami
Menghormati hukum negeri kami sendiri. Dan kami,
Kami mencintai dan menikmati proses demokrasi di negeri kami ;

Akibat campur tanganmu kawan,
Saudara-saudara kami kehilangan pekerjaan
Di negeri kami ini, tiap-tiap manusia berhak untuk
Memilih pekerjaannya sendiri sesuai minat
dan bakat masing-masing.
Kini mereka kehilangan haknya untuk berkarya
Dan bersuara

Negeri kami adalah negeri yang punya harga diri,
Kami menolak dicampur tangani.

BIER 1A, 25 Maret 2010
Pertama kali dibacakan pada 29 Maret 2010 didepan gedung ASEAN di Jakarta

*Taufik Ismail
* *Gadamer
Pertondho

Iki ono opo ….
Opo iki sing jenenge pertondho
Kanggo kitho kabeh menungso
Supaya sadar, tumandhang lan nyuwun
Karo sing Moho
Lepen-lepen podho banjir,
Lemah-lemah dho longsor
Alas-alas ora on sing ijo
Ayo kitho kabeh dho tumandang gawe
Nyelametake bumi titipane anak putu
Muga-muga Gusti Allah nyembadani
Anak putu iso ngrasakake
Lestarining alam bumi

Jogja, Agustus 2006


Guru

Saka sawijining guru,
Wis lair wong-wong gedhe ing negeri iki
Soko sawijining guru,
Negeri iki nduweni Bj. Habibie, Gus dur, R.A Kartini
Soekarno, Jenderal Sudirman, Munir, WS Rendra
Chairil Anwar tekan Soe Hok Gie
Guru, panjenengan punika pahlawan sejati
sing nglairke maneh pahlawan-pahlawan sing dho
nduweni keberanian lan semangat tinggi
guru, panjenengan punika sejatining pahlawan
kekonco karo perjuangan lan kepriyatinan
nanging ora ngarepake peparingan
ngajar lan ndidik putra putri nganthi
kesemangatan lan keikhlasan

Purbalingga, Juli 2006



Mesem

Jare Pak Ustad mesem kuwi kelebu ibadhah
Jareku, mesem kuwi iku indah
Jare pak dokter, mesem kuwi bisa nyehatake awak
Ayo poro konco, jo podho abot mesem
Dho mesemo nyang wong liyo sing mbok tresnani
Lan bok kenali
Ayo para konco, podho mesemo nyang wong liyo
Sawise njur ngucapake salam
Sebab yen mbok niati, mesem kuwi ibadhah, sehat
Nentremake ati tur indah


Purwokerto, Juli 2006

Adiani Viviana

Dimuat di Majalah DERAP GURU, No.80 Th.VII – September 2006
Monolog Terdakwa
: Khoe Seng Seng dan Kwee Meng Luan


Pada mulanya adalah kata
kurangkai menjadi kalimat
lalu kususun, dan jadilah surat

surat itu aku kirim ke media massa
lalu dimuat pada kolom surat pembaca
maka, suratku itu disebut surat pembaca
.............................................
Kutulis yang kutahu, kutulis yang kualami,
kutulis yang kurasa, tanpa unsur dusta
apalagi untuk mencemarkan nama

Bahh!!! tapi dia bilang ; "itu fitnah"

aku menyampaikan fakta
aku mengeluh tentang yang kualami dan kurasa
aku menyampaikan informasi
biar tak ada lagi orang yang dibohongi dan merugi
itu hakku, hakku untuk berekspresi
yang di negaraku yang demokrasi ini
katanya dilindungi oleh konstitusi

Bahh!!! tapi dia bilang ; "itu fitnah"

Bak kriminal sejati
aku digelandang ke mabes polri
aku mendapat label tersangka tanpa melalui saksi
karena menjalankan hak asasi

relaas, pledooi, jpu, penjara, vonis, label, slander, defimation,
hakim, 310 kuhp, 311 kuhp, adalah kosakata-kosakata baru
yang menyita fikiranku

hakku terampas
waktu, tenaga dan fikiranku terkuras
aku ingin menulis lagi, lagi dan lagi
namun menjadi kandas
hakku ditindas

oh, inikah negeriku yang menjunjng tinggi demokrasi

aku terdakwa,
yang bermula dari merangkai kata
yang bermula dari menyampaikan fakta

Hakim-hakim yang dimuliakan,
buka mata buka telinga, buka nurani
aku hanya ingin menyampaikan kebenaran
dan aku ingin kejujuran mendambakan keadilan

itu semua bukan fitnah!!!
aku takan menyerah pada lelah
demi kebenaran dan keadilan
demi menjunjung tinggi hak asasi


Cibinong, Selasa, 14 Juli 2009
Dibacakan Pertama kali di depan Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Rabu, 15 Juli 2009

Kuliner





"Empat penari, kian kemari//jalan melenggang//aduuh, sungguh jenaka//......// sambil bernanyi, jongkok berdiri// aduuh, sungguh jenaka, tari mereka//gambang semarang//", lagu gambang semarang menyambut kami di stasiun kereta api Semarang. Subuh jadi terasa siang. Lagu keroncong ini sama sekali tidak asing di telinga saya. Bapak saya adalah pecinta lagu-lagu keroncong, ia memiliki banyak kaset lagu-lagu keroncong. Dulu, Bapak saya biasa memutar lagu-lagu keroncong,di siang hari, setelah makan siang, sepulang ia mengajar sambil duduk-duduk di halaman belakang.

Lagu itu semakin menjauh seiring laju bus yang membawa kami ke Kudus. Kawan kami, Aditya, yang bekerja di Pengadilan Negeri Kudus, sudah menghadang kami di jalan raya kudus. Adit memperkenalkan kami dengan makanan khas Kudus. Lentog namanya. Jadilah Lentog menu sarapan kami. Ia membawa kami ke sebuah warung kecil di pinggiran desa.

Duduk di bangku panjang dari kayu, kami menunggu sepiring Lentog yang katanya nikmat dan gurih itu. Hmmmmm..., saya tidak sabar untuk melahapnya saat sepiring Lentog sudah di tangan saya.

Sepiring Lentog berisi irisan lontong (lontong daun, bukan plastik) yang disiram dengan lodeh yang terdiri dari gori atau nangka muda, irisan tahu dan tempe kemudian ditaburi bawang goreng plus kuah santan.

"Lauknya, mbak. mau nambah apa?" Ibu peracik Lentog menawarkan lauk pauk yang biasa menjadi teman ketika kita menyantap Lentog.
"Ada sate telur puyuh semur, sate usus, krupuk, telur asin bakar".
Saya memilih kerupuk dan setusuk sate telur puyuh semur. Rsanya memang nikmat. Gurih. Namun porsi Lentog sangat sedikit, bahkan untuk ukuran saya. Jadi tidak heran penyantap Lentog biasanya akan habis lebih dari satu piring.

Pada mulanya, Lentog dijual oleh laki-laki saja dengan memikul seperangkat perlengkapan Lentog dengan berkeliling. Pada perkembangannya Lentog mulai dijual di kios-kios oleh para ibu-ibu rumah tangga. Seporsi lentog dihargai mulai dari 2000 rupiah.

"enak to? murah meriah. iso ngirit urip ning kene", celoteh Adit, seusai kami menyantap menu sarapan Lentog.

Kini, selain Jenang Kudus, Lentog juga sudah menjadi icon kuliner kota Kudus.


Ket : Foto-foto diambil oleh Adiani Viviana, pada Juli 2010 menggunakan Kamera Handphone 6275i

Rabu, 13 Juli 2011

kuliner




Makanan dalam jepretan kamera ini namanya nasi goreng Jayawijaya. Sesuai namanya, nasi goreng ini tersaji di sebuah tempat makan di Jayapura, Papua, Indonesia.

Pertama kali saya menginjakkan kaki di Jayapura (Juni 2010), saya tidak langsung "jelajah" ataupun orientasi medan. Perjalanan di udara yang hampir tujuh jam membuat badan terasa pegal. Saya memilih istirahat, mengingat esok harinya harus bertandang ke beberapa instansi pemerintahan di Jayapura.

Pilihan tempat menginap adalah di hotel Aston. Perkenalan saya dengan nasi goreng Jayawijaya terjadi saat saya harus mengakses internet via laptop, mau tidak mau saya harus masuk restoran hotel, untuk mendapat pasword internet.

", silahkan Ibu, pilih menunya" dengan ramah dan senyum mengembang, seorang perempuan muda hitam manis dengan rambut ikal yang dikepang kuda kecil-kecil, pekerja restoran, menyodorkan selembar kertas bertuliskan sederet menu makanan dan minuman.

Nasi Goreng Jayawijaya dan es palu betung. Satu kata di belakang nasi goreng membuat saya tertarik memilihnya. Sebelum menu yang saya pesan tersaji di meja, sambil tastus di laptop, saya membayangkan rupa dan rasa pilihan makan malam saya itu.
"Mungkin disusun menyerupai bentuk gunung.di bagian sisi gundukan nasinya, dilapisi makanan berwarna putih, menyerupai salju. pasti gurih rempah", gumam saya dalam imaji.

"Silahkan Ibu, nasi goreng Jayawijaya dan es palu betung". Pesanan saya datang. Ternyata tidak seperti gunung. Di atas nasi goreng tersusun pisang goreng tepung yang di goreng kering, terbuat dari pisang kepok. Di sisi lain, ditaburi bumbu cair lengket berwarna putih seperti getah karet (belakangan baru saya tahu, cairan putih itu adalah sagu). Nasi goreng ini rasanya sangat gurih dan unik. Aroma rempah-rempahnya sangat terasa di lidah. Buat saya porsinya sangat banyak, namun habis juga. Porsi makanan yang di jual di tempat-tempat makan di Jayapura memang porsi besar.


Ket : Foto-foto diambil oleh Adiani Viviana pada Juni 2010 menggunakan kamera handphone Nokia 6275i

Kasus Pidana Khoe Seng Seng

Court finds land buyer guilty of libel
The Jakarta Post, Jakarta | Wed, 07/15/2009 4:25 PM


The East Jakarta District Court Wednesday found a land buyer, Kho Seng Seng alias Aseng, guilty of defaming property giant PT Duta Pertiwi Tbk for writing a complaint about the firm in a newspaper.

The convict, however, will only serve a one-year probation sentence. He will be jailed for six months if he makes another defamatory statement against the company, presiding Judge Robinson Tarigan said.

The verdict received relentless boos from the audience, who had expected Aseng’s acquittal after another court recently found a housewife not guilty in a libel case in Tangerang.

Aseng, along with two other tenants, wrote a complaint letter to various dailies, saying PT Duta Pertiwi had sold them land that actually belonged to the regional authorities. Aseng's letter was published in Kompas newspaper in 2006.

The company sued him under Article 311 of the Criminal Code on libel.

"I am very disappointed," Aseng said after the trial. "The trial procedures were flawed and the judges’ logic was outrageous."

Adiani Viviana, one of Aseng's legal advocates, said her team would appeal the decision in the High Court.

"But we heard rumors the judges who found Aseng guilty would be promoted to the High Court. We are afraid our client will get the same treatment then," she said.

Selasa, 12 Juli 2011

Kasus Pidana Erwin Arnada

Tiga Lembaga Ajukan Pendapat Hukum Soal Playboy
Kamis, 20 Januari 2011 | 05:12 WIB


TEMPO Interaktif, Jakarta - Tiga lembaga kajian dan advokasi hukum menyampaikan pendapat hukum (amicus curiae) dalam perkara yang menjerat Pemimpin Redaksi Playboy Indonesia Erwin Arnada, yang kini memasuki tahap peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung.
Ketiga lembaga itu adalah Indonesia Media Defense Litigation Network, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat.

Senior Associate ICJR Indonesia, Anggara Suwahju, mengatakan ketiga lembaga itu mengajukan amicus curiae agar Mahkamah Agung melihat kasus Playboy Indonesia secara komprehensif.

Menurut Anggara, kasus majalah Playboy Indonesia, yang menyeret Erwin Arnada ke pengadilan, tidak bisa serta-merta dilihat dari satu sisi nilai. "Harus dilihat dari keseluruhan nilai dan kontennya," kata Anggara di Jakarta kemarin.

Ketiga lembaga memasukkan berkas amicus curiae ke Mahkamah Agung pada Jumat lalu. Adiani Viviana dari ICJR mengatakan, Senin lalu mereka telah memastikan bahwa amicus curiae sudah sampai ke meja para hakim agung.

Lewat amicus curiae, ketiga lembaga itu ingin memberi pandangan kepada majelis hakim agung yang akan memutuskan perkara pidana kesusilaan tersebut. Dalam memberi pandangan, ketiga lembaga itu memakai uji kebahayaan (harm test), penilaian masyarakat umum, serta prinsip kebebasan berekspresi dan kebebasan pers sebagai patokan.

Dalam putusan kasasinya, Mahkamah Agung menyatakan Erwin Arnada bersalah dan melanggar Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Kesusilaan. Majelis kasasi MA pun menjatuhkan vonis dua tahun penjara.

Di tingkat pertama, jaksa mendakwa Erwin dengan pasal kesusilaan dan menuntut dia dihukum dua tahun penjara. Tapi, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada April 2007, Erwin dibebaskan.

Konsep amicus curiae berasal dari tradisi Romawi. Konsep ini mengizinkan pengadilan mengundang pihak ketiga untuk menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan kasus-kasus yang jarang terjadi.

Di Indonesia, amicus curiae belum banyak digunakan. Dalam kasus kebebasan berekspresi, baru tiga amicus curiae yang diajukan ke pengadilan, yakni kasus majalah Time melawan Soeharto, kasus Upi Asmaradana, dan kasus Prita Mulyasari.

Pengajuan amicus curiae di Indonesia mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal itu berbunyi, "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat."

Dasar hukum amicus curiae lainnya adalah Pasal 180 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal itu menyatakan, "Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat diminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan."

ANNISA ANINDITYA

Kasus Pidana SMW Vs Risang Bima Wijaya

Batalkan Semua Putusan Risang!
Senin Berkas Diteken, Rabu Dikirim ke MA

Sumber : RADAR JOGJA


SLEMAN - Kuasa hukum Risang Bima Wijaya dari LBH Pers meminta pembatalan semua putusan atas kasus yang menimpa kliennya. Putusan yang diminta untuk dibatalkan dalam kasus kriminalisasi terhadap pers ini mulai dari putusan PN Sleman, PT DIJ serta Mahkamah Agung (MA).

Permintaan itu tertuang dalam tanggapan dan kesimpulan dalam sidang lanjutan Peninjauan Kembali (PK) di PN Sleman, kemarin. Dalam sidang dengan hakim tunggal Syamsul Edi SH dan JPU Kamari SH, kuasa hukum Risang yang terdiri atas Hendrayana SH, Muhammad Halim SH, Agus Ramdani SH, Adiani Viviana SH, Sholeh Ali SH, Bayu Wicaksono SH, Mimi Maftuha SH dan Endar Sumarsono SH mengajukan tanggapan dan kesimpulan setebal 13 halaman.

Menurut LBH Pers, ada beberapa alasan sehingga pihaknya meminta pembatalan putusan. Pertama, adanya novum baru yang diajukan dalam sidang persidangan PK. Novum baru itu berupa klarifikasi yang dibuat mantan anggota Dewan Pers RH Siregar saat menjadi saksi dalam sidang di PN Sleman 8 Juli 2004.

Klarifikasi yang dibuat RH Siregar menyatakan dirinya tidak setuju penggunaan pasal KUHP untuk mengadili wartawan yang melakukan tugas jurnalistik. "Dalam surat klarifikasi tertanggal 6 Desember 2004, RH Siregar antara lain menulis: Mengacu risalah sidang pengadilan 8 Juli 2004 itu ternyata catatan jalannya tanya jawab persidangan tidak akurat, tidak jelas dan tidak lengkap. Seolah-olah saya (RH Siregar) setuju terhadap Risang Bima Wijaya dituntut pidana penjara berdasar KUHP. Besar kemungkinan kalimat-kalimat itu kesimpulan JPU dari catatan sidang yang kurang jelas," ungkap.

Hal lain yang dijadikan alasan, kata Hendrayana dari LBH Pers, dakwaan JPU salah orang atau error in persona. Pasalnya, penanggung jawab pemberitaan adalah pemimpin redaksi, bukan pemimpin umum. "Bahwa pemohon/terpidana pada saat kasus ini terjadi menjabat sebagai pemimpin umum SKH Radar Jogja. Padahal berdasarkan azas komando, seharusnya yang bertanggungjawab atas isi pemberitaan adalah pemimpin redaksi," ujarnya.

Alasan lainnya, putusan dianggap prematur atau terlalu dini. Dikatakan, perkara ini berhubungan dengan karya jurnalistik, sehingga penyelesaian sengketanya harus diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa pers sebagaimana yang diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

"Dalam UU Pers telah diatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pers. Bilamana seseorang atau sekelompok orang merasa keberatan/dirugikan oleh suatu pemberitaan, ada mekanisme atau prosedur penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh. Yakni melalui hak jawab, hak koreksi atau mengadukan kepada organisasi profesi wartawan," ucapnya.

Berdasarkan hal itu, kata Hendrayana pihaknya meminta tuntutan JPU tidak dapat diterima. Menyatakan pemohon/terpidana Risang Bima Wijaya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menista dengan tulisan secara berlanjut. "Membebaskan pemohon/terpidana atas segala dakwaan, serta mengembalikan nama baik dan hak-hak pemohon/terpidana serta harkat dan martabatnya seperti sediakala," ungkap Hendrayana.

Sidang ditunda Senin (4/2) dengan agenda penandatanganan berkas materi yang akan dikirimkan ke Mahkamah Agung (MA). Menurut hakim Syamsul Edi, jika Senin berkas bisa diteken, rencananya (6/2) akan dikirimkan ke MA di Jakarta.

Jumat, 01 Feb 2008
(oto)

Senin, 11 Juli 2011

DUKA ACEH LUKA KITA (Kumpulan Puisi Penyair Indonesia Mengenang Tragedi Aceh Dan Bencana Tsunami)


Penerbit : Jakarta Citra bekerjasama dengan Koperasi 
Sejahtera Seniman Indonesia [KSSI]

Penyusun : Lazuardi Adi Sage / Imam Wahyudi AR / Endo Senggono / Juli Sofyan / Putri Miranda / Jeyhana / Dewi Ambar Sari

Pengarah : Hamsad Rangkuti / Sides Sudiyanto DS / Cak Kandar 

Pengantar : Salahuddin Wahid

Rancang Cover/Design : Iwan S.Coto
Cetakan Pertama : 2005
ISBN : 979-8977-13-0

 PARA PENULIS :

Afrizal Anoda
Doel CP Allisah
Kardy Syaid
Wiratmadinata
Sutan Iwan Soekri Munaf
Soeparwan G.Parikesit
Teguh Esha
M.Aan Mansyur
Beni Jusuf
Arung Wardana
W.Suroso
Ratu Cahyaningrat.SE
David Krisna Alka
Muhammad Erfan
Erwan Juhara
Din Saja
Salami Akhmad
Idris Brandy
Sides Sudyanto DS
Lazuardi Adi Sage
Charles Humprey
H.E.Mr.Shaban Shahidi Moaddab
Juli Sofyan
Dewi Ambar Sari
Nani Tandjung
Imam Wahyudie AR
Miranda Putri
Jeyhan
Maroeli Simbolon
Joe Simbolon
Eddy Siswanto
Chandra Arga Dinata
Ferizal Sikumbang
Dinullah Rayes
Diah Hadaning
Remmy Novaris DM
Idris Pasaribu
M.Dienaldo
Prayoga Murbeng
A.Sani
Syarifuddin A.Ch
Imam Ma’arif
Rudi Supriyadi
Agusyanto Bakar
Uki Simboro
Adiani Viviana
Prijono Tjiptoherijanto
Djoko Edi Soetjipto Abdurrahman
Andi Asikin Suyuti
Rama Prihandana
Syahnagra Ismail
Mohammad Jafar Hafsah
Dana H.Basuki
Djoko Sidik Pramono
Denting Sihkami
Tetty Julianti
Rahman Arge
N.Syamsuddin CH.Haesy
Sys Ns
-------------------------------------------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------------------------------------------



Surat Motivasi


Adiani Viviana
Email : vi2_163@yahoo.co.id
Telp. : 08567935808/ (021) 32743504


Hal : Motifasi Mengikuti PKPA PBHI – PERADI
Lamp. : -


Kepada Yth. :
Panitia PKPA PBHI – PERADI
Di Tempat


Dengan hormat,

Sebagaimana yang dipersyaratkan oleh panitia Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia ( PBHI) – Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) 2008, bahwa setiap calon peserta diwajibkan untuk membuat surat motifasi sebagai salah satu syarat administrasi, maka dengan ini perkenankan saya, Adiani Viviana, menyampaikan motifasi saya untuk menjadi calon peserta PKPA PBHI – PERADI 2008 :


Idealisme, Kemuliaan Dan Kebebasan

 
Cita-Cita Di Masa Lalu

Hidup adalah sebuah pilihan! Pada dasarnya tak ada orang yang dilahirkan untuk menjadi ini atau itu. Semua orang bisa memilih menjadi itu atau menjadi ini. Semua bisa diperjuangkan. Dan dalam pencapaiannya tidak ada kata-kata salah apalagi terlambat.

Menjadi seorang advokat merupakan satu dari sekian daftar cita-cita saya ketika saya masih duduk dibangku kuliah hukum. Membayangkan saya memiliki kantor/ firma hukum sendiri, nama saya & rekan terpampang di depan kantor, memiliki banyak klien, honor yang banyak, ber-acara disana dan disini ; pernah saya mengimajinasikan seperti itu. Memiliki profesi yang dijuluki officium nobile, sepertinya merupakan suatu kebanggaan tersendiri.

Namun seiring dengan perkembangan hidup masyarakat, profesi advokat banyak menimbulkan pro-kontra dan kontroversi. Profesi kemuliaan ternodai oleh praktek menyimpang yang dilakukan oleh para advokat dalam memberikan jasa hukum kepada klien atau masyarakat. Suara-suara miring tidak hanya berhembus dari kalangan masyarakat biasa , tetapi justru bersumber dari kalangan advokat itu sendiri, sebagai suatu keprihatinan profesi. Keinginan saya untuk menjadi seorang advokat turut meredup saat itu. Dan semakin pupus saja karena adanya larangan dari orang tua. Saya lebih senang dan lebih berkonsentrasi untuk “mengimajinasikan” cita-cita saya yang lainnya.

Namun kemudian, keinginan saya mencuat lagi. Benih-benih motifasi untuk menjadi seorang pembela ternyata masih tertanam di hati dan fikiran saya. Mindsite saya berubah setelah saya turut dalam kegiatan advokasi terhadap masyarakat korban limbah PT. Palur Raya, Solo, di tahun 2002 silam. Ketika itu saya mengkoordinir suatu pelatihan advokasi yang berpersepektif lingkungan hidup. Sebagian peserta adalah para pecinta lingkungan dan mahasiswa fakultas hukum. Bekerjasama dengan Konsorsium Korban Limbah (KKL) PT. Palur Raya yang bermarkas di Padepokan Goblok, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah, dan Gita Pertiwi Ecological Studis Program (ESP), kami melakukan investigasi dan advokasi terhadap masyarakat korban limbah yang notabene adalah masyarakat miskin dan buta hukum. Kegiatan pelatihan tersebut membidani lahirnya sebuah forum peduli lingkungan, yang kemudian disebut FPLS (Forum Peduli Lingkungan Surakarta), yang mana investigasi dan advokasi terhadap masyarakat korban limbah PT. Palur Raya menjadi kegiatan utamanya. Itu adalah pengalaman pertama saya terjun langsung ke lapangan, melihat dan mendengar sendiri keluhan-keluhan dan penderitaan-penderitaan yang dialami oleh masyarakat yang dirugikan akibat beroperasinya sebuah perusahaan dengan mengatasnamakan pembangunan, penyerapan tenaga kerja, dan tentunya peningkatan perekonomian daerah. Para petani padi mengalami gagal panen (karena lahan, tanah dan air mereka tercemar), tambak-tambak ikan mengering, sumur-sumur menjadi keruh, sumber air berwarna, penyakit kulit dan pusing-pusing mewabah, juga terjadi pencemaran udara dan suara. Hak mereka terampas oleh segelintir orang yang sekali lagi mengatasnamakan pembangunan. Adalah hak asasi manusia untuk dapat menghirup udara yang bersih, hak asasi tiap mausia untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat.


Mencari Jati Diri, Mempertahankan Idealisme

Bapak/ Ibu Panitia PKPA PBHI-Peradi, izinkan saya mengutip pendapat Frans Hendra Winarta *bahwa profesi advokat sesungguhnya sangat sarat dengan idealisme. Sejak profesi ini dikenal secara universal, ia sudah dijuluki sebagai profesi yang mulia, karena ia mengabdikan diri kepada kepentingan masyarakat dan bukan kepada dirinya sendiri, serta berkewajiban untuk menegakkan hak-hak asasi manusia. Ia pun bebas dalam membela, tidak terikat pada perintah, tidak pilih siapa lawan klien.

Setelah perkenalan saya dengan masyarakat dan alam Palur, idealisme saya tumbuh dan bersemi lagi. Saya kembali menuliskan kata advokat/ pengacara dalam daftar cita-cita saya. Bedanya saat itu saya menambahkan satu kata dibelakang kata advokat/ pengacara. Yaitu; publik. Di akhir tahun 2003, saya terseleksi untuk mengikuti pelatihan pengacara publik berpersepektif lingkungan (piels) yang diselenggarakan oleh Yayasan Pengabdian Hukum Indonesia, Solo (Yaphi), dan Environmental for Law (E-Law Indonesia). Para panitia adalah orang-orang yang menyandang gelar pengacara publik. Sebagian peserta pun para advokat yang berkecimpung dalam pelayanan jasa hukum bagi masyarakat miskin korban ketidakadilan. Sedangkan sebagian peserta lainnya adalah mahasiswa hukum tingkat akhir (seperti saya kala itu).

Saat itu, saya dan beberapa teman peserta mendapat bagian materi lapangan untuk observasi di suatu sudut kota Solo (saya lupa tepatnya nama daerah tersebut). Kasus yang kami observasi selama 3 (tiga) hari itu adalah kasus pertanahan/ agraria. Selalu terjadi penindasan/ tindak kezaliman dari masyarakat yang lebih kuat terhadap masyarakat lainnya yang lemah dari aspek ekonomi, politik maupun hukum. Kali ini yang berkuasa adalah pemerintah daerah. Warga yang sudah bertahun-tahun menempati tanah di sana, diharuskan untuk meninggalkan tempat tinggal mereka, karena tanah tersebut di cap sebagai tanah milik pemerintah daerah setempat. Hak asasi manusia mereka sebagai warga negara tak terpenui. Adalah hak asasi setiap manusia untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Hak atas tanah dan hak atas perumahan mereka tak terpenuhi. 

Darah muda saya (saat itu) masih sangat kental. Setelah saya lulus dari fakultas hukum, saya tidak memfokuskan diri untuk melalui tahapan-tahapan menjadi seorang advokat. Saya banyak mencoba dan mencari pengalaman lain yang ingin saya ketahui, mulai dari berwiraswasta hingga menjadi buruh pabrik. Sama serkali tak terpikirkan oleh saya untuk mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (padahal saya lulus setelah Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 diundangkan).

Kembali Ke Asal

Kemudian di tahun 2007, saya mengikuti Karya Latihan bantuan Hukum (Kalabahu) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Ideology, hegemoni, neolib, teologi, militerisme, pluralisme, gender, HAM, adalah teori-teori yang menjadi bagian materi selama Kalabahu. Saat itu, saya melakukan observasi lapangan (bagian dari materi) terhadap masyarakat miskin kota Pademangan, Jakarta Utara. Sekali lagi, di sana hak asasi masyarakt miskin terkebiri. Hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas kesehatan (yang kesemuanya tertuang dalam Declaration of Human Rights) tak terpenuhi di sana.

Kini, saat saya bergabung dengan LBH Pers Jakarta, yang mana dalam memberikan bantuan hukum, advokasi, pendampingan dan pembelaan, terspesialisasi untuk penegakkan kemerdekaan pers, kebebasan berekspresi dan berpendapat, pun seringkali terjadi adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas kebebasan berekspresi, berpendapat, mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan yang kesemuanya merupakan hak asasi manusia yang melekat sejak lahir.

Pentingnya PKPA Berperspektif HAM 

Dari apa yang saya sampaikan di atas (pengalaman di Palur, Solo, Pademangan, LBH Pers, dan juga saat menjadi buruh pabrik) saya menyimpulkan bahwa dalam setiap kasus/ kasus apapun, selalu ada pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Selalu! Selalu ada kesewenang-wenangan dari pihak penguasa kepada sebagian masyarakat . Selalu saja ada hak asasi yang terampas dalam setiap perkara. Oleh karena itu wacana/ persepektif HAM sangat penting bagi para advokat sebagai pemberi jasa atau bantuan hukum yang notabene juga sebagai penegak kebenaran dan keadilan, dan keadilan itu sendiri notabene adalah hak dari setiap manusia.

Sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2003, maka Pendidikan Khusus Profesi Advokat memiliki andil dalam membentuk dan melahirkan advokat-advokat di negeri ini. Banyak sekali penyelenggaraan PKPA-PKPA berikut penyelenggaranya. Sekali lagi, menurut saya persepektif HAM harus tertanam pada para calon advokat. Sehingga dalam hal ini, PKPA yang berpersepektif HAM keberadaannya menjadi sangat penting, dengan harapan akan melahirkan “advokat-advokat sejati”. Karena sebagai agen pembangunan hukum dan juga sebagai agen yang membudayakan hukum bagi masyarakat, seorang advokat tidaklah cukup hanya dengan bermodalkan kecerdasan, rasionalitas dan kepandaian berargumentasi saja, namun jauh dari itu, sekali lagi, ia harus bermodalkan wawasan HAM yang kuat. Dengan kata lain, salah satu unsur yang turut mencipta terwujudnya keadilan terhadap hak asasi manusia adalah adanya para advokat yang berpersepektif HAM.

Sangat tidak berlebihan jika penegakkan terhadap hak asasi manusia menjadi sangat penting. Karena hak tersebut adalah anugerah Tuhan yang melekat sejak lahir dalam diri tiap manusia, karenanya tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga dengan alasan apapun juga. Siapapun juga wajib menghargai dan menghormatinya. Sehingga suatu kemuliaan tersendiri pula bagi para advokat yang berwawasan HAM dan memiliki idealisme serta integritas yang kuat untuk menegakkan keadilan HAM. Adagium officum nobile layak disandang oleh mereka.

PKPA PBHI – Peradi

Munculnya berbagai organisasi advokat yang dikelola secara profesional, menjadi penting peranannya dalam mewujudkan peradilan yang bebas, cepat dan sederhana. Keberadaannya dibutuhkan masyarakat dalam membantu mencari keadilan dan menegakkan hukum untuk memperoleh hak-haknya kembali yang terampas. Kini, meskipun banyak kontrofersi mengenai profesi advokat, namun ternyata profesi advokat masih bahkan makin diminati oleh para sarjana hukum. Banyak lahir advokat-advokat muda dari sebuah pendidikan khusus profesi advokat yang diselenggarakan oleh lembaga, institusi dan organisasi-organisasi advokat. Dalam hal ini, penyelenggara PKPA turut memiliki andil terhadap kualitas advokat-advokat baru tersebut. 


PBHI sebagai salah satu organisasi non pemerintah yang konsen dalam pemberian/ pelayanan bantuan hukum dan HAM, yang sekaligus juga sebagai salah satu penyelenggara pendidikan khusus profesi advokat, adalah lembaga yang sangat tepat untuk menyelenggarakan PKPA yang berpersepektif HAM.

Berdasarka semua yang telah saya sampaikan di atas, maka saya memilih Pendidikan khusus profesi advokat yang diselenggarakan oleh PBHI-Peradi. Dengan harapan, apa yang saya fikirkan dan saya inginkan dapat terpenuhi dalam PKPA tersebut. Sehingga dapat menjadi bekal bagi saya untuk melangkah ke tahapan berikutnya, hingga saya memiliki kartu izin beracara. Dengan demikian kesempatan untuk mengabdi pada masyarakat, menjadi lebih leluasa karena tidak terhalang oleh izin beracara.

Bapak/ Ibu Panitia PKPA PBHI-Peradi, izinkan saya menyampaikan di sini, bahwa saat ini pendidikan di negara kita, segala macam pendidikan, menjadi suatu komersialisasi. Tak lain juga dengan PKPA. Mungkin saya mewakili banyak suara, bahwa dalam keadaan yang semacam itu, dan di dukung pula oleh perekonomian yang tidak baik, akibat naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), namun PBHI-Peradi menyelenggarakan PKPA dengan biaya yang jauh berbeda dengan penyelenggara-penyelenggara lainnya, biaya yang terjangkau. Itu adalah kesempatan yang baik buat saya, buat kami, untuk dapat mengikuti dan memperoleh PKPA. Dalam hal ini, berarti PBHI-Peradi sedang menegakkan suatu keadilan HAM. Bahwa tiap-tiap orang berhak atas pendidikan.

Demikian surat motifasi ini saya sampaikan dengan sejujur-jujurnya untuk digunakan sebagaimana mestinya. Besar harapan saya untuk dapat mengikuti PKPA PBHI-Peradi.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip apa yang dikatakan Frans Hendra Winarta *bahwa “pemberian bantuan hukum bagi masyarakat (miskin) adalah sebagai pemenuhan hak asasi manusia dan bukan belas kasihan”. 

Dan dalam hal apapun, dianugerhi untuk dapat memberi tentu jauh lebih menyenangkan daripada menerima. Sekian dari saya, atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih.



Cibinong, 28 Juli 2008
23.45 – 01.52 WIB

Hormat saya,


Adiani Viviana