Jumat, 08 Desember 2017

Kado Pahit Desember bagi Anak-anak Papua



Ia menunduk. Saya berlutut di lantai kamar itu, tapi dia tidak mau menjabat tangan saya yang sudah saya ulurkan. Kedua tangannya terus ia lipat ke belakang. Saya tidak lagi kuasa menatap sorot mata dan wajahnya. Akhirnya saya melangkah pergi, meninggalkan dia siang itu, Sabtu 11 Desember 2017. Sambil menghapus air mata saya yang spontan jatuh, saya menoleh ke belakang. Ternyata dia melangkah ke teras. Saya lihat dia sedang tersenyum sambil melambaikan tangan di teras. Hati saya bergemuruh, air mata terus terjatuh, tak sanggup lagi melihat wajahnya. Kubalas senyum dan lambaian tangannya. Seorang teman saya bilang, saya hanya terlalu “Baper” – Bawa Perasaan. Mungkin?! Tapi........, tidak!!

Saat itu hanya satu hal yang terfikir oleh saya: “Bagaimana dia, mereka, nanti setelah kembali ke Korowai?” Dan pada 29 November 2017 saya mendapat kabar, dia akan kembali ke Korowai pada 30 November 2017. Akhirnya dia kembali ke Korowai pada 1 Desember 2017. Masih dengan luka jahitan di pipinya?! Dia adalah Puti Hatil, anak Korowai-Papua, yang belakangan menjadi pembicaraan dan “kesibukan kecil” pemerintah. Puti, anak berusia tiga tahun itu dipindahkan dari Korowai pedalaman ke Jayapura karena luka akut bernanah dan lubang menganga di pipinya. Ketika itu ia mengalami malaria, sangat kekurangan gizi, dan sakit-sakit lain. Tubuhnya ringan sekali. Tanpa perawatan medis, Puti bertahan hingga tiba di Rumah Sakit Dian Harapan Jayapura pada 3 Oktober 2017.

Rabu, 8 November 2017, untuk pertama kalinya saya berjumpa Puti dan keluarganya. Hanya empat hari saya berkomunikasi dengan mereka. Saat itu, luka Puti masih ditutup perban. Secara kebetulan, kami menginap di tempat yang sama, Kesusteran Maranatha. Pada 8 November itu, Puti dipindah dari RS Dian Harapan ke Maranatha. Perawatan jalan. Dan saya sedang menginap di Kesusteran Maranatha untuk menyelenggarakan diskusi ELSAM Jakarta, dan riset bersama alumni pendidikan HAM ELSAM. 



Di Rabu malam itu, hujan turun sangat lebat di Jayapura dan sekitarnya. Daerah Tanah Hitam kabarnya sampai banjir. Saya dan keluarga Puti duduk-duduk di depan kamar sambil menatap hujan yang mengguyur taman depan kamar.  Bapa Daniel, Mama Lanol, Thomas, Bertha, pandangan mereka menerawang menghadap taman dan hujan. Puti juga. Juga saya. Sementara Jefry, pekerja kesusteran, sibuk dengan telepon genggamnya. Saya mengajak Puti untuk masuk kamar saja. Karena perban di pipinya terlepas. Saya takut debu dan percikan air hujan atau serangga malam masuk ke bekas jahitan yang belum rapat itu. Tapi ia menggelengkan kepala. Dan saya pikir, sayalah yang telah keliru. Saya mengelus punggung dan kepalanya. Mungkin dia merindukan suara hujan yang menari di atas pepohonan, atau ingin hujan-hujanan, bermain dengan air?

Esok paginya, ia terus tersenyum sampai menampakkan gigi putihnya, saat seorang suster memandikan dia. Saya datang membawa boneka beruang dan gajah untuk menjemput Bertha berganti pakaian ke teras kamar dan ruang tamu. Saya menggendong Bertha, adik Puti yang berusia dua tahun. Beruang dan gajah ikut serta gendongan. Puti memberi isyarat minta ditunggu. Jefry tidak setuju karena saya membawakan boneka. Di mana kekeliruannya, Jef? “Laki-laki tidak main boneka”, katanya. Mari Jef, sa kastau. Jefry mengekor saya, Bertha, beruang dan gajah. Kami beriringan menuju ruang tamu. Di samping ruang tamu, Thomas sedang belajar dengan suster kepala.

Suster kepala mengira saya adalah seorang biarawan. Bukan Ibu, saya muslim. Lalu dia bertanya lagi, apakah saya seorang guru? Bukan juga, Ibu. Kemudian masih lanjut bertanya, “Mace, masih cewek atau sudah Ibu?” Saya masih cewek (belum menikah).

Saya bawakan buku-buku mengenal angka dan huruf untuk Thomas, serta alat tulis dan mewarnai. Juga buku mewarnai bergambar hewan-hewan laut dan tumbuhan. Mata Thomas berbinar. Tapi suster kepala kurang setuju dengan buku mewarnai dan menggambar yang saya bawa. Menurutnya yang utama adalah calistung. Thomas, kakak Puti, berusia sekitar 12 tahun belum bisa baca tulis hitung. Bukan karena bodoh atau tidak mau belajar. Tapi karena tidak ada sekolahan dan pendidik di sana. Tapi menggambar juga penting Ibu, untuk merangsang imajinasi dia, juga kreativitasnya. Pada akhirnya suster kepala sefikiran dengan saya. Benar, biar dia juga tidak bosan belajar calistung yaa. Benar Ibu. Sekarang, saya dengar Thomas sudah mulai bisa calistung. Saya sangat senang mendengarnya.

Anak-anak sebagaimana manusia dewasa juga memiliki seperangkat hak asasi yang wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. Hak anak adalah hak asasi manusia. Bermain, mendapatkan pendidikan sesuai kebutuhan, memperoleh pelayanan kesehatan secara baik dan manusiawi, merupakan bagian dari hak-hak anak itu, tak terkecuali bagi Puti, Bertha, dan Thomas. Apa yang dialami Puti dalam hal kesehatan, dan Thomas soal pendidikan, adalah salah satu potret yang mewakili situasi anak-anak di Papua umumnya, khususnya di Korowai dan sekitarnya.

Bencana kurang gizi dan penyakit-penyakit akut khususnya di wilayah seperti Korowai, Yahukimo dan sekitarnya layaknya sebuah siklus tahunan. Setidaknya setelah 1998, kita kerap mendengar terjadi bencana kemanusiaan itu di Yahukimo bukan? (sebelum 1998, informasi demikian sangat tabu untuk disiarkan. Akses media juga ditutup rapat). Mengapa situasi seperti itu hingga kini belum juga di/ter-atasi? Minimal terdapat langkah-langkah meminimalisir? Semacam standar operasional prosedure (SOP) atau mitigasi jika terjadi?

Berdiskusilah dengan Soleman Itlay dan timnya di KOPKEDAT dan TPKP Rimba Papua. Banyak-banyak mendengarlah dari dia. Bagaimana Puti Hatil dievakuasi dari Korowai ke Jayapura, termonitoring agar mendapat pengobatan intens dan perawatan yang manusiawi, lalu dapat kembali tersenyum, lubang menganga di pipinya terjahit? Bagaimana orang-orang kemudian tahu tentang Puti, dan masih banyak Puti-Puti dan Thomas-Thomas lainnya di Papua? Soleman Itlay adalah orang dibalik itu semua. Perjuangannya cukup berat. Ia menjangkau apa yang tidak di/ter-jangkau oleh pemerintah, oleh negara. Namun Soleman konsisten, komitmen terus bergerilya untuk peradaban, untuk kemanusiaan yang bermartabat di pedalaman-pedalaman Papua, melalui penyelenggaraan pendidikan atau komunitas belajar dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan di daerah terpencil. Memang, jika tidak berat, bukan perjuangan namanya. Tapi sekali lagi, perjuangan Soleman dan timnya sangat berat. Tapi mereka tahu, tak pernah ada yang sia-sia dari sebuah langkah dalam perjuangan. Perjuangan berat dia untuk Puti Hatil berbuah. Satu nyawa telah terselamatkan. Ia telah menyelamatkan satu generasi bangsa.

Kini tiba saatnya Soleman berpisah jarak dengan Puti. Informasi tentang pemulangan Puti sekeluarga sangat mendadak. Pada 29 November 2017, pihak Dinas Kesehatan memberi informasi pada Soleman, bahwa mereka telah menyiapkan tyransportasi udara untuk memulangkan Puti, menyewanya senilai 45 juta rupiah. Soleman bukannya pasrah. Secara medis Puti masih membutuhkan perawatan. Ia melakukan loby dan negosiasi pada Dinas Kesehatan Papua. Ia berdiskusi dan meminta saran pada jaringannya. Ia melawan. Tapi pada akhirnya, mereka tetap memulangkan Puti.

Ada tiga tuntutan yang dilayangkan oleh Soleman dan timnya kepada Dinas Kesehatan Papua. Pertama, Soleman minta agar Dinas Kesehatan Papua membuat pernyataan tertulis bahwa Puti Hatil akan aman di Danowage atau Afimabul. Untuk memastikan itu, mereka harus mencantumkan nama-nama tim perawat, bidan dan dokter yang akan menangani Puti, serta obat apa saja yang akan dikonsumsi oleh Puti hingga Maret 2018 nanti. Kedua, Soleman meminta agar Dinas Kesehatan Papua memberikan dukungan padanya untuk mendapatkan surat keterangan dari RS Dian Harapan yang jelas setelah Soleman menerima surat rujukan rawat jalan pada 30 November 2017. Ketiga, Dinas Kesehatan juga harus memberi dukungan pada Soleman dan Bapa Daniel agar mereka mendapat keterangan yang jelas terkait nama penyakit yang diderita Puti berdasarkan pemeriksaan medis oleh tim RS Dian Harapan Jayapura.

Ketika terbentur dengan sistem dan birokrasi, pergerakan akan jadi lebih rumit. Soleman telah “berkawan” dengan situasi itu. Pemerintah pusat, Kementrian Kesehatan, apakah kalian tahu tentang penderitaan Puti dan anak-anak lainnya di daerah terpencil itu? Jangan angkat tangan atau cuci tangan, dengan dalih Otonomi Khusus. Tahu juga kah tidak, tentang perjuangan mandiri Soleman dan orang-orang muda lainnya di sana itu? Soleman dan orang-orang muda Papua lainnya tersebut sesungguhnya sedang berjuang menciptakan kehidupan yang damai. Sebuah kehidupan dimana segenap hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. Kehidupan untuk anak-anak, generasi bangsa, agar dapat menikmati massanya, serta melindungi mereka dari konflik dan kekerasan.

Hari itu, setelah Soleman mendapatkan informasi mendadak dari Dinas Kesehatan Papua, ia sangat sibuk. Di tengah kesibukan itu, sesungguhnya hatinya hancur. Ia yang setia bercumbu dengan penderitaan rakyat Papua, telah sangat jatuh hati pula pada penderitaan Puti. Sampai-sampai Soleman lupa, kalau esok pagi adalah 1 Desember. Hari di mana Bintang Kejora berkibar, dan “Hai Tanahku Papua” menggema, serta banyak orang di Papua, di kota-kota di Indonesia, hingga masyarakat international merayakannya.

Padahal tindakan-tindakan yang telah dilakukan Soleman itu, justru lebih dari sekadar ingat pada hari kemerdekaan bangsanya. Tindakannya menjadi bukti bakti suci pada tanah airnya. Jika saja terdapat 5-10 Soleman pada tiap distrik di Papua, penderitaan rakyat akan terkurangi. Akan semakin banyak anak yang dapat tersenyum, bermain, belajar, dan tidak terluka. Berharap dan berpangku tangan pada pemerintah, bukan pilihan yang strategis dan efisien. Kondisi darurat!

Saya tidak tahu, apakah luka jahitan di pipi Puti kelak akan bisa hilang atau meninggalkan bekas? Jikapun membekas, mungkin biar jadi pengingat Puti yang kelak akan membesarkan jiwa dan pemikirannya. Bahwa tak boleh ada lagi anak-anak yang menanggung luka, yang tak bisa bermain, karena kelalaian negara.

Kini, jarak saya dengan Puti, Bertha, dan Thomas juga semakin jauh. Pada Thomas, saya tidak sempat bertanya, apakah dia ingin sekolah atau tidak? Saya tidak tahu, belajar seperti apa yang ada dalam fikiran dan imajinya? Belajar seperti apa yang ia inginkan? Apakah ia punya mimpi? Bertha, jika ia dapat melewati kehidupan di sana dan melawan, saya berkeyakinan kelak dia akan jadi perempuan Melanesia yang kuat. Dan Puti, Tuhan dan Semesta akan menjaganya, serta memberi peran kehidupan yang penting dalam hidupnya.

Sampai jumpa lagi Puti, Bertha, dan Thomas. Saya dapat merasakan kesedihan Soleman yang mendalam itu. Saya hanya empat hari bersama keluarga Bapa Daniel saja sungguh sedih mendapat kabar ini. Saya berduka dan malu, di hari kemerdekaan bangsamu, Pemerintah Indonesia telah mengekang kemerdekaanmu, Puti. Kemerdekaanmu sebagai seorang anak bangsa. Kau dipulangkan paksa, saat luka itu belum rapat. Saat kau masih membutuhkan perawatan kesehatan, kasih sayang, dan perhatian. Tapi Puti, Bertha, Thomas, biarlah sudah, kembalilah ke Korowai. Tanah yang membesarkanmu, sekolah dan taman bermain raksasa yang memberimu pelajaran lebih daripada sekadar pelajaran di ruang-ruang kelas seperti anak-anak kota yang tidak bisa membedakan laut dengan sungai, dan mungkin tak tahu juga mana pohon kelapa mana pohon pinang. Teruslah bernafas, Puti. Bernafaslah yang panjang agar kelak kau bisa melawan.


Purbalingga-Jawa Tengah, 1 Desember 2017


https://indonesiana.tempo.co/read/120222/2017/12/08/vi2_163/kado-pahit-desember-bagi-anak-anak-papua

Selasa, 25 Juli 2017

Cerita tentang Anak, Air, Hutan, dan Sulap

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di:
https://indonesiana.tempo.co/read/113931/2017/07/25/vi2_163/cerita-tentang-anak-air-hutan-dan-sulap


Anak perempuan berseragam SD dalam foto ini sedang melayani pembeli di warung orang tuanya. Saya mengambil gambar ini pada Senin, 24 Juli 2017. Warung oleh-oleh itu terletak di tepi jalan raya Karangreja, jalan menuju Pemalang dari arah Purbalingga, jalur utara Jawa. Kalau saya pulang kampung bersama keluarga dengan kendaraan sendiri dan lewat jalur ini, biasanya saya singgah di warung ini untuk beli buah nanas. Buah nanas jadi salah satu tanaman utama di kebun dan hutan di daerah ini. Orang tua anak perempuan ini juga punya kebun nanas.

Anak perempuan ini melayani pembeli dengan cekatan, cepat, dan lincah. Suara keras, intonasi jelas, menyebut harga-harga dagangan juga cepat, tangan terampil menyodorkan dagangan. Sebenarnya ada seorang perempuan dewasa yang jaga warung juga. Tapi sepertinya ia pekerja di kebun nanas. Ia pakai sepatu boot, pegang pisau besar, dan baju yang ia pakai dilapisi celemek. Sedari saya di situ, ia diam saja, tidak melayani pembeli. Hanya mengupas buah nanas. Setelah saya bicara-bicara dengannya, saya menyimpulkan ia perempuan dengan difabel tunarungu.

“Ibu kamu ke mana, Nak?”, tanya saya pada anak perempuan berseragam SD ini, karena saya ragu dengan harga-harga yang ditawarkan olehnya. Beberapa sangat murah, beberapa yang lain sangat mahal. “Ibu sakit. Baru pulang dari puskesmas”, jawabnya cepat dan keras. Sementara perempuan dewasa yang pekerja kebun, tidak tahu samasekali harga-harga barang. Lalu dengan suara keras pula, saya tanya pada perempuan itu (dengan bahasa Jawa Ngapak Kromo Inggil), “Itu anaknya yang punya warung nie kan Bu? Bapaknya ke mana?”, tanya saya. “Iya. Bapaknya ke gunung, belum balik. Betulin saluran air. Pipa saluran air kita dari gunung ada yang rusak”, jawabnya tak kalah keras di depan muka saya. Gunung yang dimaksud perempuan itu adalah bukit. Daerah ini memang daerah berbukit-bukit, dengan gunung Slamet sebagai penyangganya.

Akhirnya Ibu pemilik warung muncul dari balik pintu warung. Dengan daster lusuh dan sweater tebalnya, ia tampak kedinginan dan pucat. Saya menyapanya, dan mengkonfirmasi harga jual yang disebutkan oleh puteri kecilnya itu. Dan,.......yakkk....., salah semua. Minuman olahan buah nanas seharga Rp. 25.000,- oleh puterinya dihargai Rp. 10.000,-. Lalu saya tawar jadi 20 ribu rupiah, saya tawar 15 ribu tidak dapat. Opak singkong seharga Rp. 10.000,- puterinya jual seharga 22 ribu rupiah, nanas kecil satu ikat Rp. 17.500,- harga versi anak kecilnya jadi 25 ribu rupiah, dan seterusnya.

Tetiba saya jadi teringat kebun nanas di atas bukit milik orang tua kawan baik saya, Reggy, di Dok V Jayapura, Papua. Di sana juga, pipa air mengular dari bukit nanas dan buah merah turun ke kampung. Kata Bapa Reggy, mereka rumah-rumah dekat bukit itu dapat air bersih dari pipa air yang bersumber dari gunung. Masyarakat baku buat sendiri saluran air. Ada memang sebuah organisasi yang kasih bantuan pipa. Tapi terbatas.

Teman saya yang lainnya, Verro Meak di Fakfak, Papua, melakukan penelitian terhadap distribusi air bersih di Distrik Fakfak Tengah pada 2016. Bahkan di Fakfak, yang masyarakat adatnya, khususnya Suku Mbaham Matta, memandang air sebagai sumber kehidupan, setara agama dan ideologinya (mereka menyebutnya dengan istilah “Kra”), namun mengalami keterbatasan air bersih. Di Distrik Fakfak Tengah, terdapat sistem pipanisasi oleh PDAM. Tapi, dalam temuan Verro Meak di 13 kampung dan satu kelurahan di Distrik Fakfak Tengah, sistem pipanisasi tersebut belum termanajemen dengan baik. Pendistribusian belum merata, saat musim kemarau tiba tidak ada solusi mengatasi kekeringan. Selain itu, juga dijumpai indikasi perlakuan diskriminatif dalam distribusi air. 

Di banyak daerah di negeri ini, kebutuhan air bersih di kampung-kampung bersumber dari gunung dan bukit. Kesulitan mereka hadapi, terutama saat musim kemarau melanda. Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta misalnya, merupakan daerah langganan kekeringan. Begitu juga daerah-daerah di lereng gunung Slamet Jawa Tengah. Sejak sekitar Mei-Juni atau bulan puasa 2017 hingga kini kesulitan air bersih, dan belum ada upaya dari pemerintah untuk mengatasi situasi itu. Sebagaimana dilansir https://nasional.tempo.co/read/news/2017/07/20/058892822/penduduk-lereng-gunung-slamet-mulai-kesulitan-air-bersih. Saat saya pulang kampung Lebaran Juni 2017, debit air sungai-sungai yang saya lewati di sepanjang lereng Slamet hingga Kampung halaman saya, Bocari-Purbalingga, masih cukup besar. Namun saat saya pulang kembali pada akhir Juli ini debit air sudah sangat berkurang.

Di kampung saya dan tetangga-tetangga kampung, jika air sumur kering di musim kemarau, maka sungai adalah sumber air bersih kami. Kadang, juga mencari dan menggali mata air baru di sawah, atau dekat-dekat sungai. Tak jarang, perempuan, anak-anak-lah yang menimba atau mengangsu air dengan jirigen atau ember dan berjalan kaki jauh. Saya kanak-kanak mengalami situasi itu.

Di Hari Anak Nasional beberapa hari lalu, Presiden Jokowi melakukan kampanye anti bullying di lingkungan anak dan sekolah, serta menghibur sejumlah anak-anak di Jambi, Sumatera dengan main sulap. Kotak kosong disulap jadi bunga. Ternyata pandai main sulap??! Jujur, saya takjub, setelah pada hari buku, ia duduk-duduk bersama anak-anak di Jawa Barat untuk mendongeng legenda-cerita rakyat Lutung Kasarung. Dan di Cilacap juga pernah bercanda, main tebak-tebakan dengan anak-anak pakai Bahasa Ibunya mereka, “Jawa Ngapak”.

Tapi Mr. Presiden, jangan lalu sulap bukit-hutan penyangga kehidupan jadi jalan trans, sulap hutan adat jadi sawah, sulap belantara kaki gunung jadi PLTP, sulap pohon sagu jadi padi. Jangan “pindahkan” fauna di rimba belantara ke museum zoologi. Jangan “pindahkan” flora di hutan ke kebun raya. Yang terlanjur stop sudah sekarang, lalu lakukan pemulihan pada alam dan korban terdampak. Sebab kalau diteruskan, presiden-presiden mendatang terlalu banyak bahan mendongeng buat anak-anak kita. Karena hutan, bukit, sungai, belantara, dan seisinya musnah sudah tinggal cerita, fabel, dan legenda.

Sulap distribusi dan stok air bersih di kampung berbukit-bukit jadi lancar dan berkecukupan boleh. Sulap kulit nanas jadi mainan anak-anak juga boleh. Air merupakan sumber kehidupan semua makhluk. Termasuk bagi anak kodok atau kecebong. Tak terkecuali bagi anak-anak. Semua orang, semua anak perlu dan berhak atas air bersih. Anak-anak juga perlu berkawan dan bermain dengan air. Rimba belantara mesti ada. Air harus melimpah. Tidak menyulap hutan menjadi lahan proyek berarti menjaga air terus mengalir.


Cipali, 24 Juli 2017


Read more at https://indonesiana.tempo.co/read/113931/2017/07/25/vi2_163/cerita-tentang-anak-air-hutan-dan-sulap#VWV7ALTr53dS1DCD.99

Jumat, 05 Mei 2017

SAKURA


Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di https://indonesiana.tempo.co/read/111137/2017/05/05/vi2_163/sakura


Ia terlahir dengan rambut keriting, dan bermata bulat. Dalam tubuhnya mengalir darah Papua-Maluku. Kulitnya tidak hitam, tapi putih bersih. Orang tua biologisnya memberinya nama Sonny Laratmase.

Kehidupan Sonny lekat dengan keberagaman. Ia juga tumbuh di antara keluarga yang tidak hanya plural dalam suku dan agama, tapi juga kehidupan yang cukup kompleks, berliku, dan suram. Kini Sonny beribu tiri seorang perempuan Jawa. Hidup Sonny dinamis. Ia mudah beradabtasi dan menjalani perubahan dengan cepat.

“Buat saya tidak masalah, tinggal bersama dengan siapa saja. Laki-laki, perempuan, waria. Yaa, apalagi dari sesama Papua, dari luar wilayah juga tidak apa-apa. Saya sudah biasa”, katanya pada Juli 2016 ke saya melalui telepon, saat ia akan berpindah dari Sorong, Papua Barat ke Jakarta untuk tinggal selama empat bulan bersama orang-orang muda lainnya dari Tanah Papua.

Pada 2016, Sonny mendapat beasiswa pendidikan Hak Asasi Manusia dan riset pendokumentasian pelanggaran HAM dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta dan Peace Brigades International (PBI) selama tujuh bulan. Setelah pendidikan, ia melakukan riset di Sorong. Ia meneliti tentang pemenuhan hak atas akses obat bagi Orang Dengan HIV Aids atau ODHA, khususnya ODHA Waria di Sorong. Sebuah isu dan komunitas yang dekat dengan keseharaiannya. Kini risetnya sedang dalam penulisan laporan.

Berbeda dengan sebagian besar orang muda Papua lainnya, yang memilih berada di garis depan dalam perjuangan Papua merdeka atau isu sentral Papua lainnya, Sonny memilih bergerak untuk memerdekakan kelompok minoritas dalam minoritas itu: Waria dengan ODHA di Sorong. Suatu barisan pejuang dan perjuangan yang kesepian di Papua.

Tidak mudah menyuarakan hak-hak kelompok waria di Papua, Tanah yang menjadi wilayah berpusatnya agama Kristen dan agama-agama lokal masyarakat adat itu. 

Kalau di Jakarta, musuh terberat mungkin FPI ya, Kak?”, kata Sonny pada saya suatu kali di 2016. “Kalau di kita nie ada beberapa kelompok agama khususnya Katolik yang juga keras”, lanjutnya.

Kelompok yang dimaksud Sonny adalah mereka dari Kristen konservatif. Papua merupakan wilayah dengan mayoritas umat Kristen. Jejak sejarah Kristen dan peradabannya di Tanah ini masih dapat dilihat di pulau-pulau kecil di Papua. Misalnya di pulau Mansinam, dari sanalah Misionaris pertama bermula, dan kini Mansinam menjadi pulau situs penyebaran Injil. Melihat sejarah perkembangan Kristen di Papua, juga bisa lihat dari pulau Roon. Di pulau yang dihuni oleh suku Kuruwamesa ini, dijumpai kuburan guru-guru Pengabar Injil dan pendeta-pendeta pribumi. Kompleks-kompleks gereja juga tersebar di pulau ini.

Kristen konservatif menolak waria. Waria menyalahi kodrat manusia, Alkitab dan ajaran serta doktrin agama. Ini tidak hanya berlaku di Kristen, tapi juga agama-agama lain. Yulianus Retlobaut atau Mami Yuli, seorang waria dari Asmat -kini ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia- mengalami itu. Yulianus remaja seperti hidup dalam sangkar. Ia menjalani hari-hari remaja di asrama katolik. Pengelola sekolah dan asrama yang ia diami itu adalah para biarawati dan pastur dari Belanda. Mereka sangat konservatif. Yulianus yang pada usia 12 tahun sudah mengetahui orientasi seksualnya berbeda dengan kawan laki-laki seusianya yang lain, hanya bisa diam dalam kegelisahan diri.

Papua juga erat dengan maskulinitas. Baik dalam identitas maupun relasi gender. Sehingga eksistensi waria di Papua barangkali dipandang mencemarkan identitas Tanah mereka.

Orang tua Yulianus di Papua menghukum dia dengan menghentikan biaya kuliahnya di Jakarta, saat mereka tahu jati diri anaknya. Mereka sangat terpukul, marah, dan tidak mau menerima Yulianus lagi di Papua.

Pandangan Kristen konservatif itu tak ubahnya dengan pandangan kelompok Islam garis keras, Front Pembela Islam atau FPI misalnya. Bedanya, selain dengan ujaran-ujaran kebencian FPI juga lekat dengan budaya kekerasan dalam gerilyanya.

“Tapi saya sudah tahu juga bagaimana rasanya dikejar-kejar FPI. Saya pernah. Waktu ikut kontes Waria Berbudaya tahun 2012 di Banten, saya mewakili Sorong. Sedang melenggok di atas panggung...eeeh, lari semua dikejar FPI”, cerita Sonny dengan mimik serius diiringi tawa berderai.

Sonny remaja adalah Sonny, lakil-laki yang punya cerita cinta monyet, cinta pada pandangan pertama pada perempuan yang menarik hatinya, juga patah hati. Perjuangan hidupnya cukup keras.
                Sebenarnya masa kecil saya suram....”, katanya.

Sonny kecil jarang jumpa atau berkumpul dengan Bapanya. Bapanya berbulan-bulan berlayar di lautan lepas Papua. Ia bekerja pada sebuah perusahaan di kapal udang. Mama Sonny berperan ganda bagi anak-anaknya, menjadi Ibu sekaligus Bapa. Sonny yang sangat dekat dengan mamanya merasa terpanggil untuk meringankan bebannya. Lantas Sonny remaja membantu mamanya mencari uang dengan bekerja menjadi Pekerja Rumah Tangga. Pada 2003, mamanya meninggal. Sonny sangat terpukul dan kehilangan orang terdekatnya itu. Bapaknya menikah lagi. Kini selain memiliki lima saudara kandung, Sonny juga punya satu saudara tiri.

Pada 2003, Sonny mulai kuliah di Universitas Al-Amin, sebuah Yayasan Perguruan Tinggi Muslim di Sorong. Ia memilih Fakultas Hukum. Tapi di semester tiga ia memutuskan untuk berhenti dan keluar kampus. Sonny sempat menerapkan ilmu hukumnya dengan bekerja sebagai staf legal pada bagian hukum dan pertanahan di PT. Pertamina Kota Sorong. Hanya sebentar.

Sonny mulai gelisah. Jiwanya mengembara. Ia kerap berselisih dengan keluarganya. Ketika itu ia mulai sering berkunjung ke Salon Rudy, sebuah salon kecantikan di kota Sorong. Di sana ia menemukan kebebasan. Keluarga Sonny pada mulanya menolak perubahan-perubahan jati diri Sonny. Apalagi saat ia tahu orientasi seksual dia lebih dominan pada laki-laki.

Menjadi minoritas, atau memilih dan atau memiliki identitas yang berbeda dari yang mayoritas harus siap dengan penolakan. Penolakan biasanya datang dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Kadang, penolakan juga datang dari orang-orang yang jauh, yang tidak ada ikatan kekerabatan, yang telah lama hilang dan tidak berinteraksi, lalu tiba-tiba muncul untuk menolak dengan ceramah keagamannya yang panjang. Penuh nasehat dan anjuran “kembali ke jalan yang benar”, karena yang minoritas dianggap dan distigma sesat.

Sonny yang berhati lembut, peka terhadap situasi itu, juga pernah menuruti anjuran “kembali ke jalan yang benar”. Ia berpacaran serius dengan perempuan. Tak tanggung-tanggung, seorang pendeta yang usianya jauh lebih tua darinya. Namun, saat Sonny mengutarakan keinginan untuk menikahinya, Bapa Sonny dan keluarga justru menolak.

Keluar dari Pertamina, Sonny memulai usaha salon keliling. Apa yang ia lihat di salon Rudy menginspirasi dia. Modalnya  sekitar satu juta rupiah. Sudah termasuk untuk menyewa ojek setiap hari buat berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan jasa kecantikan. Lalu seorang pelanggannya berbaik hati menawari ia kredit motor. Bermodal keberanian dan keyakinan, Sonny mengkredit motor itu dari hasil salonnya. Usaha salon keliling yang ia jalani juga tak lepas dari hambatan, salah satunya tidak efektif, ribet. Di tahun ketiga, salon kelilingnya berhenti, berganti ke salon permanen di rumah orang tua Sonny. Kali ini ia bermodal tujuh juta. Seiring berjalannya salon itu, ia merekrut dua orang staf. Dua-duanya waria. Sonny sendiri yang mentoring mereka di permulaan mereka bekerja. Dari usahanya itu, Sonny membiayai kuliah dan sekolah dua orang adiknya.

“Puji Tuhan, saya punya klien ada terus. Sesekali juga diundang pejabat untuk merias”, katanya.

Di salon pula, Sonny merasa bebas berekspresi, berkreasi sesuai kata hati dan jiwanya. Ia bebas mengubah-ubah rambutnya. Kadang lurus panjang. Kadang keriting pendek. Kadang berwarna ungu, kadang kemerahan. Pada suatu waktu dan tempat, Sonny berdandan rapi dan tampan. Namun pada waktu dan tempat yang lain ia juga bisa tampil feminin, bersolek, dan cantik. Sonny berfikir sederhana, ia ingin bebas fleksibel menyesuaikan sekelilingnya. Dengan begitu ia dan komunitasnya akan lebih mudah diterima.

“Yang penting saya tidak merugikan orang lain toh? Sebenarnya saya mau dandan seperti apa juga itu urusan saya. Tapi saya berusaha fleksibel. Saya menjaga nama baik komunitas saya, biar mereka nie tidak direndahkan orang. Mereka nie juga sama-sama manusia juga toh?!”, katanya pada suatu kali di akhir 2016.

Sejak mendirikan salon itu, Sonny bergabung dengan Tiara Kusuma, sebuah organisasi lokal jejaring pengusaha salon di Kota Sorong. Ia menjadi anggota di bagian seni budaya Tiara Kusuma.

Pada 2010, Sonny dan seorang kawannya, Shinta, diundang ke Bogor Jawa Barat. Mereka mengikuti acara FKWI mewakili Papua Barat. Sepulang dari pertemuan Forum Komunikasi Waria Indonesia itu, Sonny dan Shinta mendirikan FKW Sorong, sebagai mandat dari hasil pertemuan di Bogor. Sonny mulai gencar menggerakan komunitasnya. Ia memulai perubahan dari dirinya sendiri, dari keluarganya sendiri. Sonny menjadikan keluarga sebagai tempat mulainya kaki melangkah. Keluarga baginya segalanya. Ia berbuat dari keluarga kembali untuk keluarga. Dengan sabar, dengan caranya sendiri, ia memberikan pemahaman tentang waria dengan ODHA. Ia menjelaskan secara detail tentang seluk beluk Aids kepada anggota keluarganya. Sonny menunjukkan semangat hidup yang tinggi, pola hidup yang baik dan sehat, serta tangan yang ringan dan selalu terbuka. 

Perlahan Sonny menularkan caranya itu kepada kawan-kawannya di komunitas. Kini, komunitas yang digerakkan Sonny berjumlah sekitar 100 orang lebih waria. Namun yang aktif hanya sekitar 56 orang. Yang tidak aktif adalah mereka yang masih “bersembunyi”, yaitu mereka yang masih distigma, ditolak, dan dipaksa mengingkari jati diri. 100 orang itu rata-rata berusia di bawah 35 tahunan. Kebanyakan dari mereka adalah Amber. Istilah atau sebutan bagi pendatang di Papua. Sebagian lainnya berdarah campuran, dan OAP (Orang Asli Papua). Jika di antara mereka beragama non Kristen, maka sempurnalah ia sebagai minoritas: Waria dengan ODHA, amber, dan non Kristen.
Pada 2014 dan 2016 FKW Sorong intens menyelenggarakan event seni dan budaya bagi waria. Seperti lomba Miss waria, puteri pantai waria, dan tarian sexy dancer. Namun mereka belum mendapat ruang untuk ekspresi seni budaya Papua.

Sonny sangat iri dengan keberadaan waria di Thailand. Di Thailand, waria dihargai masyarakat dan diakui negara. Mereka memiliki hak-hak asasi yang sama dengan warga negara berjenis kelamin lainnya. Mereka bebas berekspresi dan mendapat ruang penuh dalam berkesenian dan budaya, juga pekerjaan. Di Thailand terdapat sejarah adat, budaya, dan ajaran keyakinan yang mengakui waria sebagai gender. Selain perempuan dan pria, masyarakat Thailand mempercayai adanya gender waria, atau di sana disebut dengan sebutan “Kathoey”. Selain itu juga terdapat hermaprodith dan kasim.  Sementara pada masyarakat dan negara Indonesia, waria dianggap sebagai sebuah penyakit kelainan atau gangguan jiwa. Sebagai manusia mereka sub-ordinat. Apalagi waria dengan ODHA. 

Orang dengan HIV Aids, bukan orang jahat berbahaya yang harus dihindari. Sayangnya, kekerasan terhadap mereka hingga kini masih terjadi. Stigma buruk pada mereka masih saja ada; bahwa mereka orang yang hidup penuh dosa, bahwa berinteraksi dengan ODHA akan tertular, bahwa aids adalah kutukan, dan seterusnya. Stigma itu mendatangkan perlakuan diskriminasi terhadap mereka dalam banyak bidang. Di Sorong, Sonny menjumpai diskriminasi itu dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga, masyarakat, hingga ruang-ruang dan pelayanan publik seperti rumah sakit. 

Waria dengan ODHA khususnya, masih sangat didiskriminasi dalam mendapatkan akses kesehatan, juga perolehan obat”, katanya.

Sonny menjumpai temuan sementara dalam risetnya, bahwa terdapat ketakutan-ketakutan luar biasa dari para waria dengan ODHA yang menjadi respondennya, terhadap stigma. Para responden itu juga melakukan berbagai upaya ekstrim untuk melindungi diri mereka dari stigma. Stigma menjadi sangat menakutkan bagi mereka ketika status ODHA mereka disiarkan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan petugas kesehatan. Misalnya seorang pemimpin gereja yang mengumumkan status ODHA seorang waria di depaan jemaat. Atau petugas kesehatan yang mengungkapkan status mereka ke masyarakat luas. Tapi dua hal itu nyatanya terjadi di sana. Stigma akan merembet pada perlakuan diskriminasi, termasuk diskriminasi dalam akses pelayanan obat.

Pada Maret 2017, Sonny terpilih menjadi staf paralegal di Koalisi Penanggulangan Aids (KPA) Sorong. Pendidikan HAM yang ia ikuti di ELSAM telah meyakinkan KPA untuk memilihnya. Tanggungjawab utama paralegal KPA adalah mendampingi dan memberikan pelayanan pada komunitas yang terdiskriminasi dalam mengakses layanan kesehatan.

Dari data KPA Sorong yang disampaikan Sonny, pada 2016 di Kota Sorong terdapat sekitar 1841 ODHA. Dan baru sekitar 441 ODHA yang mendapatkan layanan kesehatan rutin. Sisanya? Sulit akses, sebagian lainnya masih menutup diri lagi-lagi karena stigma. 

ADRA Indonesia di Sorong, sebuah organisasi nirlaba nasional yang melakukan riset indeks stigma dan diskriminasi pada 2016 hingga sekarang, menemukan temuan sementaranya bahwa stigma dan diskriminasi di Sorong banyak ditemukan dan dimulai dari internal, yaitu internal diri sendiri dan keluarga.

Hal itu dialami sendiri oleh Sonny. Sejak di bangku Sekolah Dasar Sonny sudah merasa jiwanya lebih dominan perempuan. Sejak SD itu pula ia mulai menerima kekerasan verbal dan fisik serta stigma.

“Perkataan kasar, dimaki, dilecehkan, saya pernah alami itu semua sejak SD. Lama-lama jadi terbiasa dengan perlakuan itu”, katanya

Salah satu kakak laki-laki Sonny sangat kesal, dan bereaksi keras terhadap perilaku Sonny. Di saat Sonny SMP, bahkan kakaknya sampai hati sering kasih pukul Sonny ketika mendapati dia bergaul dengan para waria.

Melalui wadah-wadah dan jejaring yang dimiliki Sonny, Sonny ingin mengikis stigma dan diskriminasi pada waria dengan ODHA khususnya di Sorong. Ia berharap perubahan itu dapat dimulai dari diri mereka sendiri, para waria dengan ODHA. 

“Mereka harus semangat. Mengubah diri, terpanggil untuk bergerak. Kalau untuk diri sendiri saja susah, ya bagaimana mereka mau berbuat untuk orang lain, untuk komunitas”, kata Sonny.

Menunggu perhatian dan kehadiran negara, rasanya seperti pungguk merindukan bulan. Hak-hak minoritas waria belum terjamin secara spesifik dalam perangkat hukum nasional yang menempatkan mereka kedalam kelompok rentan. Justru sejumlah peraturan nasional dan regional di Indonesia berpotensi menjadi alat pelanggaran terhadap mereka. Undang-undang Administrasi Kependudukan, UU Pornografi, UU Perkawinan adalah contoh regulasi diskriminatif terhadap waria. Kelahiran Prinsip-prinsip Yogyakarta atau The Yogyakarta Principles pada 2006 menjadi secercah harapan bagi kelompok ini. Klausul yang terdiri dari 15 prinsip HAM kelompok LGBT itu menempatkan International Covenant on Civil and Political Rights sebagai landasannya. Dan prinsip ini menjadi acuan bangsa-bangsa juga pelapor khusus PBB dalam membuat laporan situasi Hak Asasi LGBT.  

Sebagai pemeluk Protestan yang rajin ke gereja dan berkomunikasi dengan Tuhannya, Sonny berprinsip bagaimana ia bisa bermanfaat buat sebanyak-banyaknya orang. Pahit manisnya pengalaman hidup yang ia alami menjadikan dia sangat mencintai dan menghargai hidup dan kehidupan. Baginya, ia masih diberi hidup, berarti masih diberi kesempatan menjalankan misi kehidupan. Seperti bunga Sakura yang hanya tumbuh di Jepang dan berbunga di bulan April, meskipun di tempat dan waktu yang terbatas, tapi sekali ada ia berguna dan dirasakan keberadaannya oleh orang-orang di sekeliling, serta menginspirasi bagi yang jauh. Begitu juga Sonny, yang telah memilih nama warianya: SAKURA. Dan telah mengilhami nama salon kecantikan miliknya di Sorong: ZACKURA SALON.

 Foto: Doc.Diany