Ia menunduk. Saya berlutut di
lantai kamar itu, tapi dia tidak mau menjabat tangan saya yang sudah saya
ulurkan. Kedua tangannya terus ia lipat ke belakang. Saya tidak lagi kuasa
menatap sorot mata dan wajahnya. Akhirnya saya melangkah pergi, meninggalkan
dia siang itu, Sabtu 11 Desember 2017. Sambil menghapus air mata saya yang
spontan jatuh, saya menoleh ke belakang. Ternyata dia melangkah ke teras. Saya
lihat dia sedang tersenyum sambil melambaikan tangan di teras. Hati saya
bergemuruh, air mata terus terjatuh, tak sanggup lagi melihat wajahnya. Kubalas
senyum dan lambaian tangannya. Seorang teman saya bilang, saya hanya terlalu
“Baper” – Bawa Perasaan. Mungkin?! Tapi........, tidak!!
Saat itu hanya satu hal yang
terfikir oleh saya: “Bagaimana dia, mereka, nanti setelah kembali ke Korowai?”
Dan pada 29 November 2017 saya mendapat kabar, dia akan kembali ke Korowai pada
30 November 2017. Akhirnya dia kembali ke Korowai pada 1 Desember 2017. Masih
dengan luka jahitan di pipinya?! Dia adalah Puti Hatil, anak Korowai-Papua,
yang belakangan menjadi pembicaraan dan “kesibukan kecil” pemerintah. Puti,
anak berusia tiga tahun itu dipindahkan dari Korowai pedalaman ke Jayapura
karena luka akut bernanah dan lubang menganga di pipinya. Ketika itu ia
mengalami malaria, sangat kekurangan gizi, dan sakit-sakit lain. Tubuhnya
ringan sekali. Tanpa perawatan medis, Puti bertahan hingga tiba di Rumah Sakit
Dian Harapan Jayapura pada 3 Oktober 2017.
Rabu, 8 November 2017, untuk
pertama kalinya saya berjumpa Puti dan keluarganya. Hanya empat hari saya
berkomunikasi dengan mereka. Saat itu, luka Puti masih ditutup perban. Secara
kebetulan, kami menginap di tempat yang sama, Kesusteran Maranatha. Pada 8
November itu, Puti dipindah dari RS Dian Harapan ke Maranatha. Perawatan jalan.
Dan saya sedang menginap di Kesusteran Maranatha untuk menyelenggarakan diskusi
ELSAM Jakarta, dan riset bersama alumni pendidikan HAM ELSAM.
Di Rabu malam itu, hujan turun
sangat lebat di Jayapura dan sekitarnya. Daerah Tanah Hitam kabarnya sampai
banjir. Saya dan keluarga Puti duduk-duduk di depan kamar sambil menatap hujan
yang mengguyur taman depan kamar. Bapa
Daniel, Mama Lanol, Thomas, Bertha, pandangan mereka menerawang menghadap taman
dan hujan. Puti juga. Juga saya. Sementara Jefry, pekerja kesusteran, sibuk
dengan telepon genggamnya. Saya mengajak Puti untuk masuk kamar saja. Karena
perban di pipinya terlepas. Saya takut debu dan percikan air hujan atau
serangga malam masuk ke bekas jahitan yang belum rapat itu. Tapi ia
menggelengkan kepala. Dan saya pikir, sayalah yang telah keliru. Saya mengelus
punggung dan kepalanya. Mungkin dia merindukan suara hujan yang menari di atas
pepohonan, atau ingin hujan-hujanan, bermain dengan air?
Esok paginya, ia terus tersenyum
sampai menampakkan gigi putihnya, saat seorang suster memandikan dia. Saya
datang membawa boneka beruang dan gajah untuk menjemput Bertha berganti pakaian
ke teras kamar dan ruang tamu. Saya menggendong Bertha, adik Puti yang berusia
dua tahun. Beruang dan gajah ikut serta gendongan. Puti memberi isyarat minta
ditunggu. Jefry tidak setuju karena saya membawakan boneka. Di mana
kekeliruannya, Jef? “Laki-laki tidak main boneka”, katanya. Mari Jef, sa
kastau. Jefry mengekor saya, Bertha, beruang dan gajah. Kami beriringan menuju
ruang tamu. Di samping ruang tamu, Thomas sedang belajar dengan suster kepala.
Suster kepala mengira saya adalah
seorang biarawan. Bukan Ibu, saya muslim. Lalu dia bertanya lagi, apakah saya
seorang guru? Bukan juga, Ibu. Kemudian masih lanjut bertanya, “Mace, masih
cewek atau sudah Ibu?” Saya masih cewek (belum menikah).
Saya bawakan buku-buku mengenal
angka dan huruf untuk Thomas, serta alat tulis dan mewarnai. Juga buku mewarnai
bergambar hewan-hewan laut dan tumbuhan. Mata Thomas berbinar. Tapi suster
kepala kurang setuju dengan buku mewarnai dan menggambar yang saya bawa.
Menurutnya yang utama adalah calistung. Thomas, kakak Puti, berusia sekitar 12
tahun belum bisa baca tulis hitung. Bukan karena bodoh atau tidak mau belajar.
Tapi karena tidak ada sekolahan dan pendidik di sana. Tapi menggambar juga
penting Ibu, untuk merangsang imajinasi dia, juga kreativitasnya. Pada akhirnya
suster kepala sefikiran dengan saya. Benar, biar dia juga tidak bosan belajar
calistung yaa. Benar Ibu. Sekarang, saya dengar Thomas sudah mulai bisa
calistung. Saya sangat senang mendengarnya.
Anak-anak sebagaimana manusia
dewasa juga memiliki seperangkat hak asasi yang wajib dihormati, dilindungi,
dan dipenuhi. Hak anak adalah hak asasi manusia. Bermain, mendapatkan
pendidikan sesuai kebutuhan, memperoleh pelayanan kesehatan secara baik dan
manusiawi, merupakan bagian dari hak-hak anak itu, tak terkecuali bagi Puti,
Bertha, dan Thomas. Apa yang dialami Puti dalam hal kesehatan, dan Thomas soal
pendidikan, adalah salah satu potret yang mewakili situasi anak-anak di Papua
umumnya, khususnya di Korowai dan sekitarnya.
Bencana kurang gizi dan
penyakit-penyakit akut khususnya di wilayah seperti Korowai, Yahukimo dan
sekitarnya layaknya sebuah siklus tahunan. Setidaknya setelah 1998, kita kerap
mendengar terjadi bencana kemanusiaan itu di Yahukimo bukan? (sebelum 1998,
informasi demikian sangat tabu untuk disiarkan. Akses media juga ditutup
rapat). Mengapa situasi seperti itu hingga kini belum juga di/ter-atasi?
Minimal terdapat langkah-langkah meminimalisir? Semacam standar operasional prosedure (SOP) atau mitigasi jika terjadi?
Berdiskusilah dengan Soleman
Itlay dan timnya di KOPKEDAT dan TPKP Rimba Papua. Banyak-banyak mendengarlah
dari dia. Bagaimana Puti Hatil dievakuasi dari Korowai ke Jayapura,
termonitoring agar mendapat pengobatan intens dan perawatan yang manusiawi,
lalu dapat kembali tersenyum, lubang menganga di pipinya terjahit? Bagaimana
orang-orang kemudian tahu tentang Puti, dan masih banyak Puti-Puti dan
Thomas-Thomas lainnya di Papua? Soleman Itlay adalah orang dibalik itu semua.
Perjuangannya cukup berat. Ia menjangkau apa yang tidak di/ter-jangkau oleh
pemerintah, oleh negara. Namun Soleman konsisten, komitmen terus bergerilya
untuk peradaban, untuk kemanusiaan yang bermartabat di pedalaman-pedalaman
Papua, melalui penyelenggaraan pendidikan atau komunitas belajar dan
menanggulangi masalah-masalah kesehatan di daerah terpencil. Memang, jika tidak
berat, bukan perjuangan namanya. Tapi sekali lagi, perjuangan Soleman dan
timnya sangat berat. Tapi mereka tahu, tak pernah ada yang sia-sia dari sebuah
langkah dalam perjuangan. Perjuangan berat dia untuk Puti Hatil berbuah. Satu
nyawa telah terselamatkan. Ia telah menyelamatkan satu generasi bangsa.
Kini tiba saatnya Soleman
berpisah jarak dengan Puti. Informasi tentang pemulangan Puti sekeluarga sangat
mendadak. Pada 29 November 2017, pihak Dinas Kesehatan memberi informasi pada
Soleman, bahwa mereka telah menyiapkan tyransportasi udara untuk memulangkan
Puti, menyewanya senilai 45 juta rupiah. Soleman bukannya pasrah. Secara medis
Puti masih membutuhkan perawatan. Ia melakukan loby dan negosiasi pada Dinas
Kesehatan Papua. Ia berdiskusi dan meminta saran pada jaringannya. Ia melawan.
Tapi pada akhirnya, mereka tetap memulangkan Puti.
Ada tiga tuntutan yang
dilayangkan oleh Soleman dan timnya kepada Dinas Kesehatan Papua. Pertama,
Soleman minta agar Dinas Kesehatan Papua membuat pernyataan tertulis bahwa Puti
Hatil akan aman di Danowage atau Afimabul. Untuk memastikan itu, mereka harus
mencantumkan nama-nama tim perawat, bidan dan dokter yang akan menangani Puti,
serta obat apa saja yang akan dikonsumsi oleh Puti hingga Maret 2018 nanti.
Kedua, Soleman meminta agar Dinas Kesehatan Papua memberikan dukungan padanya
untuk mendapatkan surat keterangan dari RS Dian Harapan yang jelas setelah Soleman menerima surat rujukan rawat jalan pada 30 November 2017. Ketiga, Dinas
Kesehatan juga harus memberi dukungan pada Soleman dan Bapa Daniel agar mereka
mendapat keterangan yang jelas terkait nama penyakit yang diderita Puti
berdasarkan pemeriksaan medis oleh tim RS Dian Harapan Jayapura.
Ketika terbentur dengan sistem
dan birokrasi, pergerakan akan jadi lebih rumit. Soleman telah “berkawan”
dengan situasi itu. Pemerintah pusat, Kementrian Kesehatan, apakah kalian tahu
tentang penderitaan Puti dan anak-anak lainnya di daerah terpencil itu? Jangan
angkat tangan atau cuci tangan, dengan dalih Otonomi Khusus. Tahu juga kah
tidak, tentang perjuangan mandiri Soleman dan orang-orang muda lainnya di sana
itu? Soleman dan orang-orang muda Papua lainnya tersebut sesungguhnya sedang
berjuang menciptakan kehidupan yang damai. Sebuah kehidupan dimana segenap hak
asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan dihormati, dilindungi, dan dipenuhi.
Kehidupan untuk anak-anak, generasi bangsa, agar dapat menikmati massanya,
serta melindungi mereka dari konflik dan kekerasan.
Hari itu, setelah Soleman
mendapatkan informasi mendadak dari Dinas Kesehatan Papua, ia sangat sibuk. Di
tengah kesibukan itu, sesungguhnya hatinya hancur. Ia yang setia bercumbu
dengan penderitaan rakyat Papua, telah sangat jatuh hati pula pada penderitaan
Puti. Sampai-sampai Soleman lupa, kalau esok pagi adalah 1 Desember. Hari di
mana Bintang Kejora berkibar, dan “Hai Tanahku Papua” menggema, serta banyak
orang di Papua, di kota-kota di Indonesia, hingga masyarakat international
merayakannya.
Padahal tindakan-tindakan yang
telah dilakukan Soleman itu, justru lebih dari sekadar ingat pada hari
kemerdekaan bangsanya. Tindakannya menjadi bukti bakti suci pada tanah airnya.
Jika saja terdapat 5-10 Soleman pada tiap distrik di Papua, penderitaan rakyat
akan terkurangi. Akan semakin banyak anak yang dapat tersenyum, bermain,
belajar, dan tidak terluka. Berharap dan berpangku tangan pada pemerintah,
bukan pilihan yang strategis dan efisien. Kondisi darurat!
Saya tidak tahu, apakah luka
jahitan di pipi Puti kelak akan bisa hilang atau meninggalkan bekas? Jikapun
membekas, mungkin biar jadi pengingat Puti yang kelak akan membesarkan jiwa dan
pemikirannya. Bahwa tak boleh ada lagi anak-anak yang menanggung luka, yang tak
bisa bermain, karena kelalaian negara.
Kini, jarak saya dengan Puti,
Bertha, dan Thomas juga semakin jauh. Pada Thomas, saya tidak sempat bertanya,
apakah dia ingin sekolah atau tidak? Saya tidak tahu, belajar seperti apa yang
ada dalam fikiran dan imajinya? Belajar seperti apa yang ia inginkan? Apakah ia
punya mimpi? Bertha, jika ia dapat melewati kehidupan di sana dan melawan, saya
berkeyakinan kelak dia akan jadi perempuan Melanesia yang kuat. Dan Puti, Tuhan
dan Semesta akan menjaganya, serta memberi peran kehidupan yang penting dalam
hidupnya.
Sampai jumpa lagi Puti, Bertha,
dan Thomas. Saya dapat merasakan kesedihan Soleman yang mendalam itu. Saya
hanya empat hari bersama keluarga Bapa Daniel saja sungguh sedih mendapat kabar
ini. Saya berduka dan malu, di hari kemerdekaan bangsamu, Pemerintah Indonesia
telah mengekang kemerdekaanmu, Puti. Kemerdekaanmu sebagai seorang anak bangsa.
Kau dipulangkan paksa, saat luka itu belum rapat. Saat kau masih membutuhkan
perawatan kesehatan, kasih sayang, dan perhatian. Tapi Puti, Bertha, Thomas,
biarlah sudah, kembalilah ke Korowai. Tanah yang membesarkanmu, sekolah dan
taman bermain raksasa yang memberimu pelajaran lebih daripada sekadar pelajaran
di ruang-ruang kelas seperti anak-anak kota yang tidak bisa membedakan laut
dengan sungai, dan mungkin tak tahu juga mana pohon kelapa mana pohon pinang.
Teruslah bernafas, Puti. Bernafaslah yang panjang agar kelak kau bisa melawan.
Purbalingga-Jawa Tengah, 1
Desember 2017
https://indonesiana.tempo.co/read/120222/2017/12/08/vi2_163/kado-pahit-desember-bagi-anak-anak-papua