Selasa, 02 Agustus 2011

In Memoriam ; My Grand Fa (27 Romadhon tahun 2004)

Pendidikan Tak Seberapa, Tapi Ketulusan dan keberanian Luar Biasa


Semangkok balado teri medan campur kacang tanah, hati ayam goreng, tempe mendoan, sambal kecap, dan semur sapi sisa buka puasa, menjadi menu makan sahur hari kedua kami. Sejak dulu, dalam keluarga kami, meja makan adalah tempat diskusi keluarga yang menghanyutkan. Seperti ada lem perekat pada kursi-kursinya, hingga bokong terus melekat, susah beranjak.

Tiba-tiba Bapak saya teringat pada Zaenal. Zaenal adalah saudara jauh Bapak, yang pada sekitar tahun 1971-an berpindah tepatnya bertransmigrasi dari Purbalingga menuju Lampung. Saya tidak kenal Zaenal.

“Nama Kabupaten si Yanto apa ya bu?”, begitu Bapak saya menanyakan ke Ibu, mengawali ingatannya yang sedang melambung jauh ke tahun 1971-an. Sebenarnya, setahun terakhir ini, Bapak saya mengalami sedikit kelinglungan. Mudah lupa. Tapi kambuh-kambuhan.

Yanto adalah Kakak Ipar saya. Ia Orang Kota Bumi, Lampung. Perihal lupanya Bapak saya, pernah suatu waktu membuat saya emosi. Sekitar jam 8.30 malam, saya sampai rumah, pulang kerja. Bapak saya sudah menghadang saya di ruang tamu. Dengan suara tinggi, ia bertanya, “dari mana kamu seharian tidak pulang-pulang?”, begitu introgasinya. Pagi tadi ketika saya pamitan berangkat, ia baik-baik saja. Ini seperti pertanyaan Bapak yang ditujukan pada saya semasa saya kecil dulu saat saya tidak pulang dari sekolah dhiniyah karena saya melanjutkan mandi di sungai, menyusuri sepanjang sungai hingga sampai muara atau kedung, menaikki pelepah pisang.

Saya melongo dan kesal. Ibu saya buru-buru menuju ruang tamu dan tertawa. “Oalaaaah, main itu seharian. Kerja Pakkk”, sergah ibu saya. Kemudian Bapak saya tesenyum sendiri , “Oiya, ya. He he”, katanya menutupi malu. Belakangan kami mendapat informasi dari suster di RS PMI Bogor, bahwa beberapa orang yang menjalani cuci darah, ada masanya mereka menjadi linglung. Penyebabnya bisa jadi karena kadar urium yang terlampau tinggi.

Hari kedua puasa Romadhon, waktu imsak masih agak siang. Yaitu jam 04.30. Kata Ibu, makan sahur ini jadi seperti sarapan. Kami masih mengelilingi meja makan persegi empat itu. Waktu masih menunjukkan pukul 04.00 WIB.

“Pak Zaenal di Lampung tinggalnya bareng pak Radal ya Pak?”, tanyaku memancing cerita Bapak.

Pak Radal juga saudara Bapak. Saya kenal. Dulunya, ia guru di Madrasyah Ibtidaiyah atau MI di desa kami. MI di desa hanya satu. Letaknya di samping rumah kami. Suara pak Radal keras dan tegas. Kalau mengajar suaranya sampai ke rumah kami. Ia sering mampir ke rumah kami sepulang mengajar. Mengobrol dan berdisksui dengan Bapak. Membaca kompilasi majalah Panji Mas milik Bapak.

“Beda. Bapak lupa tepatnya, masing-masing tinggal di mana”, Bapak mencoba menjawab pertanyaan saya.

Dulu, Purbalingga pernah menyandang gelar kabupaten termiskin di Jawa Tengah. Pada masa-masa itu, banyak penduduk yang diwajibkan oleh pemerintah setempat untuk mengikuti program transmigrasi menuju Sumatera.

Kenapa Radal ikut transmigrasi?. Padahal di kampung ia juga memiliki sawah, ia mengajar alias tiap bulan gajian.

Radal orang yang penuh semangat dan antusias. Ia mau belajar. Kata Bapak saya, ia juga gemar membaca dan pandai berpidato. Jika ia ditunjuk untuk berpidato, ia pasti tidak menolak. Ia akan bergerilya mencari buku-buku sebagai bahan pidatonya.
Di Lampung, Radal menjadi transmigran sukses. Ia punya lahan perkebunan. Ia memiliki dua buah truk. Ia juga menjadi juru bibir alias tukang pidato, memberikan ceramah keagamaan. Suaranya di dengar di sana.

“Kenapa transmigrasi. Bukannya di kampung sendiri dia berkecukupan? Sekolahnya sampai apa pak?”, selidik saya.

“SD saja tidak selesai.”, jawab Bapak singkat.

“Kok, bisa jadi guru? Gemana yang diajar?”, Tanya saya dan kakak saya, berbarengan, sedikit protes.

“Nah, makanya, dulu Kakekmu sering dipanggil oleh Jaksa. Entah berapa kali Kakek sidang di Pengadilan. Dilaporkan dengan tuduhan pemalsuan dokumen dan lain-lainnya”, terang Ibu mengisahkan Bapaknya, atau Kakek saya.

Kakek yang ketika itu menjadi kepala sekolah, merekrut banyak warga kampung kami dan kampung sebelah menjadi tenaga pengajar atau guru, karena sekolah yang ia pimpin kekurangan tenaga pendidik. Ia dibantu oleh dua orang karibnya, Pak Sisnaeni dan pak Makmur, yang juga guru di sekolah yang di pimpin Kakek, memilih orang-orang yang menurutnya memiliki semangat tangguh dan jiwa pengabdian yang baik. Tidak peduli latar belakang pendidikannya. Termasuk yang ia pilih adalah Radal.

Kakek mengajukan nama-nama yang ia pilih ke Pendidikan Nasional tingkat pusat, agar disetujui dan mereka dapat mengantongi SK. SK turun, sekolah yang Kakek pimpin tidak kekurangan tenaga pengajar lagi.

Di kemudian hari, Kakek dipanggil jaksa dari kejaksaan negeri Prbalingga. Dengan tuduhan pemalsuan dokumen yaitu ijazah para guru di sekolahnya. Jaksa Penuntut Umum bolak-balik ke rumah kakek. Kakek tidak takut. Ia punya argument yang kuat. Yaitu SK dari Diknas pusat.

Kakek mencari penasehat atau “pembela”. Ia pergi menemui Lurah Picung, desa sebelah, yang tak lain adalah Kakak Ipar dari adik ipar Kakek.

“Kamu tenang saja Ji. Aku di belakangmu. Siap mendukungmu. Kamu bawa pulang ini ayam bekakak”, nasehat Lurah Picung pada Kakek sambil menyerahkan seekor ayam.

Kakek curiga. Siapa gerangan yang melaporkan dirinya. Ia datangi sahabatnya, Pak Sisnaeni dan pak Makmur. Mereka mengaku, mereka berdualah yang melaporkan Kakek.

“Kalian tidak tahu apa-apa. Tega sekali kalian ya !!, aku ndak akan menyerah”, teriak Kakek di depan kedua sahabatnya itu.

Jaksa Penuntut Umum kelimpungan. Bingung tidak kepalang. Setiap kali surat dakwaannya siap diajukan, tumpukan kertas dokumennya itu mendadak berubah menjadi lembaran-lembaran kertas kosong. Putih bersih tanpa tulisan. Pernah, ketika sidang siap digelar, dakwaan yang akan ia bacakan mendadak tidak ada tulisannya. Tulisannya hilang.

“Pak Tubadji, panjenengan pakai ilmu apa?”, teriak JPU.

“Ilmu apa, tidak pakai dan tidak punya ilmu apa-apa?”, jawab Kakek tenang.

“Saya Cuma pasrah sepasrah-pasrahnya sama Alloh”, lanjut Kakek.

JPU kapok. Para penegak hukum melakukan “pembiaran”. Perkara Kakek dibiarkan mengambang. Proses hukum tidak berlanjut. Kelak, JPU itu malah menjadi sahabat keluarga Kakek. Kata Ibu saya, JPU itu memiliki bisnis sampingan berjualan rak piring. Ketika ibu membangun rumah tangga baru, JPU itu sering datang untu menawarkan rak piring jualannya.

Ibu saya tidak tahu jelas, pendidikan formal terakhir Kakek sampai mana. Tapi kata Bapak saya, Bapak pernah mellihat dan mem-fotocopy-kan ijazah PGA Kakek. Tapi seingat saya, Kakek pernah bercerita ke saya, SD (jaman dulu SR) saja tidak selesai.

3 tahun 7 bulan saya menyelesaikan kuliah S1 hukum. Ketika saya diwisuda, Kakek saya sangat senang dan bangga. Ia memberikan selamat. Berkali-kali ia memberikan semangat dan motivasi untuk perjalanan hidup saya selanjutnya. Saya juga senang, bisa lulus kuliah ketika Kakek masih ada.

Secara tidak langsung, kakek kurang suka saya menjadi pencaker atau pencari kerja saat itu. Dulu, awal-awal lulus, saya memang seperti pencaker sejati. Itu sangat membosankan. Tapi setelah saya pikir-pikir sekarang, proses itu telah melatih kesabaran saya. “Tidak usah kamu hitung, berapa lamaran yang sudah kamu masukkan”, kata Kakek ketika saya berpamitan ke Jakarta untuk tes interview di sebuah perusahaan swasta.

Untuk menuruti dan menyenangkan Bapak Ibu saya, beberapa kali saya pernah mengikuti tes pegawai negeri. Kakek saya terlihat biasa-biasa saja, tidak mendukung-mendukung sekali, tapi juga tidak melarang. Tapi ada satu nasehat yang masih saya ingat, yang dulu sebenarnya saya dengarkan sambil lalu saja “kamu sekolah hukum, gunakan ilmu kamu sebaik-baiknya. Biarkan banyak orang merasakan manfaatnya. Kalau untuk nolong rakyat kecil, untuk keadilan, jangan takut apapun. Kamu sejak kecil terbiasa hidup sendiri, mandiri”.

Di mata saya ,Kakek saya, Achmad Tubadji, adalah pendidik handal, pembela yang tegas tapi berhati lembut, pengkhotbah ulung, penulis ulet, politikus yang cerdas dan pemimpin yang pemberani.

Kakek memiliki 11 orang anak. Dua perempuan dan Sembilan laki-laki. Ibu saya anak nomor dua. Ini menurun pada ibu saya-anak enam dengan dua perempuan dan empat laki-laki. Tiga putra Kakek alias paman-paman saya, sudah meninggal. Satu orang meninggal ketika masih bayi, seorang lagi, paman Farid, meninggal saat masih kuliah karena digerogoti kanker hati. Satu Paman lagi, Achmad Mustolikh, meninggal karena sakit paru-paru. Ketika jenazah Paman Mus dikebumikan di kampung kami, SK Pengangkatan dirinya menjadi hakim turun. Sebelumnya ia Panitera di Pengadilan Agama di Palu, Sulawesi. Waktu kecil, nama paman Mus adalah Iskandar. Karena sakit-sakitan, namanya diganti menjadi Achmad Mustolih.

Hampir semua anggota keluarga kakek memiliki postur tubuh tinggi. Begitu juga keluarga inti saya, semuanya berpostur tinggi, kecuali saya dan kakak perempuan saya. Saya kesal. Bukan karena tinggi badan saya. Tapi karena saya pernah ditolak oleh panitia pendaftaran calon hakim saat saya mendaftar menjadi calon hakim. Semua syarat dokumen saya lengkap, tapi tinggi saya kurang 5 cm katanya.Buat saya ini diskriminatif, bukan selektif.

Kakek pernah kena marah besar. Mertua laki-laki Kakek marah besar ,karena pernah dalam satu bulan kakek tidak memberikan uang belanja sepeserpun pada Nenek. Gajinya sebagai pegawai negeri telah habis digunakan untuk menggaji guru-guru yang belum menerima gaji, karena memang gaji mereka belum turun.

Sebenarnya Kakek memiliki kebun yang luas. Kebun kelapa, kebun kopi, kebun dilem, kebun bamboo, kebun besika, belum lagi kebun yang dibiarkan tumbuh alami heterogen. Kakek juga memiliki kolam ikan yang luas dan dalam, dalam jumlah yang banyak. Kebun-kebun dan kolam itu diolah oleh orang-orang kepercayaan Kakek, dengan sistem bagi hasil.

Kakek tidak memiliki suara yang bagus. Tapi ia bisa mengatur dengan baik intonasi suaranya, ketika ia sedang jadi pengkhutbah pada sholat Jum’at di Masjid Agung desa, atau pada saat hari raya, saat mendongeng untuk cucu-cucunya, saat marah atau memberikan contoh, saat berceramah agama.

Meja makan di rumah Kakek berfungsi ganda. Selain untuk meja makan, juga menjadi meja kerja kakek. Letaknya di tepi jendela kebun belakang. Angin sungai bisa masuk sewaktu-waktu. Tidak jauh dari rumah kakek mengalir sungai Kuning yang jernih, dengan tepi kanan kirinya menghampar sawah dan berdiri tobong-tobong pembuatan batu bata.

Mesin ketik tua selalu bertengger di meja makan Kakek. Ia mengetik tulisan-tulisannya sebagai materi khutbah atau pengajian, atau kadang juga sahabat-sahabat Kakek minta dibuatkan konsep tulisan. Letak kacamata kakek bisa sampai turun sekali, menuruni batang hidung jika sedang di depan mesin ketik. Sesekali bibir bagian atas pojok kanan akan bergerak-gerak sendiri, reflek.

“Dulu belum ada motor. Kemana-mana Kakek naik kuda.”, cerita Kakek suatu ketika.
Suatu ketika, kuda yang kakek tunggangi bigar (lepas kendali). Kakek jatuh, bibirnya diinjak kuda yang ia tunggangi, hingga menyisakan gangguan pada syaraf bibir atas pojok kanannya.

Waktu jaman penjajahan Belanda, Kakek sudah bisa mengendarai kuda. Tapi ia lebih sering berjalan kaki. Pada masa penjajahan, Kakek sering pura-pura bisu jika melihat atau bertemu dengan orang asing atau orang yang mencurigakan. Kakek menggunakan bahasa tubuh sebisanya. Itu bagian dari melindungi diri.

Jika saya berkunjung ke rumah kakek, saya sering diminta membacakan Koran dengan suara yang keras. Kakek mendengarkan. Jika suara saya meredup dan intonasi tidak jelas, kakek akan protes. Ia sering mencontohkan Ussy Karundeng, pembaca berita di TVRI waktu itu.

“Coba, seperti Ussy karundeng membacanya”, katanya.

Ketika sedang menulis, kakek diantaranya menggunakan buku-buku litaratur, majalah, Al Quran, Kompilasi hadis, kitab kuning, sebagai bahan tulisannya. Jika sudah ketemu, bagian mana yang akan ia kutip, aku sering diminta untuk mendiktenya. Saya membaca, kakek mengetik.

Kakek adalah pegiat dan penghidup organisasi NU di daerah kami. Selama dua periode, ia menjadi ketua NU cabang. Kepiawaiannya merawat NU menurun pada ibu dan kakak saya.

Kakek memiliki kegemaran kuliner. Ia suka mencoba makanan-makanan baru. Sate kambing adalah makanan kesukaannya.

“In, cari wc umum yang ada jualan satenya ya”, pinta kakek sutu ketika saat sedang berada di perjalanan dengan paman In’am. Paman In’am pun menepi-nepikan mobilnya.

Kakek juga hoby otomotif. Ia suka ganti model-model mobil. Hoby-nya yang satu ini sering membuat orang men-cap kakek gemagus atau sombong. Padahal memang dia hoby. Di usia 60-an kakek masih kuat menyetir jarak jauh.

Track record kakek yang baik, membawanya duduk menjadi wakil rakyat, DPRD. Seingat saya, itulah puncak kariernya. Meski berpolitik, kakek tetaplah kakek. Orang yang berjiwa pembela. Orang yang pemberani. Orang yang royal, sampai sering kali dimanfaatkan oleh teman-temannya.

Penyakit diabetes sebab utama perginya Kakek. Proses Izrofil menjemput kakek berlangsung cepat. Kakek memejamkan mata seperti orang tidur biasa, setelah sebelumnya meminta susu bier brand putih. Menjelang pergi-pun kakek masih berani berkuliner.Tanggal 27 bulan Ramadhan (2004) adalah tanggal dimana kakek pergi untuk selamanya.

Di perantauan ini,Cibinong, saya bertemu dengan teman kakek, pak Masun, yang katanya masih terhitung saudara, masih satu Bani, yaitu Bani Irsyad. Ia banyak bercerita tentang keberanian kakek dan sifat ringan tangannya pada yang papa.