Senin, 11 Juli 2011

Surat Motivasi


Adiani Viviana
Email : vi2_163@yahoo.co.id
Telp. : 08567935808/ (021) 32743504


Hal : Motifasi Mengikuti PKPA PBHI – PERADI
Lamp. : -


Kepada Yth. :
Panitia PKPA PBHI – PERADI
Di Tempat


Dengan hormat,

Sebagaimana yang dipersyaratkan oleh panitia Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia ( PBHI) – Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) 2008, bahwa setiap calon peserta diwajibkan untuk membuat surat motifasi sebagai salah satu syarat administrasi, maka dengan ini perkenankan saya, Adiani Viviana, menyampaikan motifasi saya untuk menjadi calon peserta PKPA PBHI – PERADI 2008 :


Idealisme, Kemuliaan Dan Kebebasan

 
Cita-Cita Di Masa Lalu

Hidup adalah sebuah pilihan! Pada dasarnya tak ada orang yang dilahirkan untuk menjadi ini atau itu. Semua orang bisa memilih menjadi itu atau menjadi ini. Semua bisa diperjuangkan. Dan dalam pencapaiannya tidak ada kata-kata salah apalagi terlambat.

Menjadi seorang advokat merupakan satu dari sekian daftar cita-cita saya ketika saya masih duduk dibangku kuliah hukum. Membayangkan saya memiliki kantor/ firma hukum sendiri, nama saya & rekan terpampang di depan kantor, memiliki banyak klien, honor yang banyak, ber-acara disana dan disini ; pernah saya mengimajinasikan seperti itu. Memiliki profesi yang dijuluki officium nobile, sepertinya merupakan suatu kebanggaan tersendiri.

Namun seiring dengan perkembangan hidup masyarakat, profesi advokat banyak menimbulkan pro-kontra dan kontroversi. Profesi kemuliaan ternodai oleh praktek menyimpang yang dilakukan oleh para advokat dalam memberikan jasa hukum kepada klien atau masyarakat. Suara-suara miring tidak hanya berhembus dari kalangan masyarakat biasa , tetapi justru bersumber dari kalangan advokat itu sendiri, sebagai suatu keprihatinan profesi. Keinginan saya untuk menjadi seorang advokat turut meredup saat itu. Dan semakin pupus saja karena adanya larangan dari orang tua. Saya lebih senang dan lebih berkonsentrasi untuk “mengimajinasikan” cita-cita saya yang lainnya.

Namun kemudian, keinginan saya mencuat lagi. Benih-benih motifasi untuk menjadi seorang pembela ternyata masih tertanam di hati dan fikiran saya. Mindsite saya berubah setelah saya turut dalam kegiatan advokasi terhadap masyarakat korban limbah PT. Palur Raya, Solo, di tahun 2002 silam. Ketika itu saya mengkoordinir suatu pelatihan advokasi yang berpersepektif lingkungan hidup. Sebagian peserta adalah para pecinta lingkungan dan mahasiswa fakultas hukum. Bekerjasama dengan Konsorsium Korban Limbah (KKL) PT. Palur Raya yang bermarkas di Padepokan Goblok, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah, dan Gita Pertiwi Ecological Studis Program (ESP), kami melakukan investigasi dan advokasi terhadap masyarakat korban limbah yang notabene adalah masyarakat miskin dan buta hukum. Kegiatan pelatihan tersebut membidani lahirnya sebuah forum peduli lingkungan, yang kemudian disebut FPLS (Forum Peduli Lingkungan Surakarta), yang mana investigasi dan advokasi terhadap masyarakat korban limbah PT. Palur Raya menjadi kegiatan utamanya. Itu adalah pengalaman pertama saya terjun langsung ke lapangan, melihat dan mendengar sendiri keluhan-keluhan dan penderitaan-penderitaan yang dialami oleh masyarakat yang dirugikan akibat beroperasinya sebuah perusahaan dengan mengatasnamakan pembangunan, penyerapan tenaga kerja, dan tentunya peningkatan perekonomian daerah. Para petani padi mengalami gagal panen (karena lahan, tanah dan air mereka tercemar), tambak-tambak ikan mengering, sumur-sumur menjadi keruh, sumber air berwarna, penyakit kulit dan pusing-pusing mewabah, juga terjadi pencemaran udara dan suara. Hak mereka terampas oleh segelintir orang yang sekali lagi mengatasnamakan pembangunan. Adalah hak asasi manusia untuk dapat menghirup udara yang bersih, hak asasi tiap mausia untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat.


Mencari Jati Diri, Mempertahankan Idealisme

Bapak/ Ibu Panitia PKPA PBHI-Peradi, izinkan saya mengutip pendapat Frans Hendra Winarta *bahwa profesi advokat sesungguhnya sangat sarat dengan idealisme. Sejak profesi ini dikenal secara universal, ia sudah dijuluki sebagai profesi yang mulia, karena ia mengabdikan diri kepada kepentingan masyarakat dan bukan kepada dirinya sendiri, serta berkewajiban untuk menegakkan hak-hak asasi manusia. Ia pun bebas dalam membela, tidak terikat pada perintah, tidak pilih siapa lawan klien.

Setelah perkenalan saya dengan masyarakat dan alam Palur, idealisme saya tumbuh dan bersemi lagi. Saya kembali menuliskan kata advokat/ pengacara dalam daftar cita-cita saya. Bedanya saat itu saya menambahkan satu kata dibelakang kata advokat/ pengacara. Yaitu; publik. Di akhir tahun 2003, saya terseleksi untuk mengikuti pelatihan pengacara publik berpersepektif lingkungan (piels) yang diselenggarakan oleh Yayasan Pengabdian Hukum Indonesia, Solo (Yaphi), dan Environmental for Law (E-Law Indonesia). Para panitia adalah orang-orang yang menyandang gelar pengacara publik. Sebagian peserta pun para advokat yang berkecimpung dalam pelayanan jasa hukum bagi masyarakat miskin korban ketidakadilan. Sedangkan sebagian peserta lainnya adalah mahasiswa hukum tingkat akhir (seperti saya kala itu).

Saat itu, saya dan beberapa teman peserta mendapat bagian materi lapangan untuk observasi di suatu sudut kota Solo (saya lupa tepatnya nama daerah tersebut). Kasus yang kami observasi selama 3 (tiga) hari itu adalah kasus pertanahan/ agraria. Selalu terjadi penindasan/ tindak kezaliman dari masyarakat yang lebih kuat terhadap masyarakat lainnya yang lemah dari aspek ekonomi, politik maupun hukum. Kali ini yang berkuasa adalah pemerintah daerah. Warga yang sudah bertahun-tahun menempati tanah di sana, diharuskan untuk meninggalkan tempat tinggal mereka, karena tanah tersebut di cap sebagai tanah milik pemerintah daerah setempat. Hak asasi manusia mereka sebagai warga negara tak terpenui. Adalah hak asasi setiap manusia untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Hak atas tanah dan hak atas perumahan mereka tak terpenuhi. 

Darah muda saya (saat itu) masih sangat kental. Setelah saya lulus dari fakultas hukum, saya tidak memfokuskan diri untuk melalui tahapan-tahapan menjadi seorang advokat. Saya banyak mencoba dan mencari pengalaman lain yang ingin saya ketahui, mulai dari berwiraswasta hingga menjadi buruh pabrik. Sama serkali tak terpikirkan oleh saya untuk mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (padahal saya lulus setelah Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 diundangkan).

Kembali Ke Asal

Kemudian di tahun 2007, saya mengikuti Karya Latihan bantuan Hukum (Kalabahu) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Ideology, hegemoni, neolib, teologi, militerisme, pluralisme, gender, HAM, adalah teori-teori yang menjadi bagian materi selama Kalabahu. Saat itu, saya melakukan observasi lapangan (bagian dari materi) terhadap masyarakat miskin kota Pademangan, Jakarta Utara. Sekali lagi, di sana hak asasi masyarakt miskin terkebiri. Hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas kesehatan (yang kesemuanya tertuang dalam Declaration of Human Rights) tak terpenuhi di sana.

Kini, saat saya bergabung dengan LBH Pers Jakarta, yang mana dalam memberikan bantuan hukum, advokasi, pendampingan dan pembelaan, terspesialisasi untuk penegakkan kemerdekaan pers, kebebasan berekspresi dan berpendapat, pun seringkali terjadi adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak atas kebebasan berekspresi, berpendapat, mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan yang kesemuanya merupakan hak asasi manusia yang melekat sejak lahir.

Pentingnya PKPA Berperspektif HAM 

Dari apa yang saya sampaikan di atas (pengalaman di Palur, Solo, Pademangan, LBH Pers, dan juga saat menjadi buruh pabrik) saya menyimpulkan bahwa dalam setiap kasus/ kasus apapun, selalu ada pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Selalu! Selalu ada kesewenang-wenangan dari pihak penguasa kepada sebagian masyarakat . Selalu saja ada hak asasi yang terampas dalam setiap perkara. Oleh karena itu wacana/ persepektif HAM sangat penting bagi para advokat sebagai pemberi jasa atau bantuan hukum yang notabene juga sebagai penegak kebenaran dan keadilan, dan keadilan itu sendiri notabene adalah hak dari setiap manusia.

Sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2003, maka Pendidikan Khusus Profesi Advokat memiliki andil dalam membentuk dan melahirkan advokat-advokat di negeri ini. Banyak sekali penyelenggaraan PKPA-PKPA berikut penyelenggaranya. Sekali lagi, menurut saya persepektif HAM harus tertanam pada para calon advokat. Sehingga dalam hal ini, PKPA yang berpersepektif HAM keberadaannya menjadi sangat penting, dengan harapan akan melahirkan “advokat-advokat sejati”. Karena sebagai agen pembangunan hukum dan juga sebagai agen yang membudayakan hukum bagi masyarakat, seorang advokat tidaklah cukup hanya dengan bermodalkan kecerdasan, rasionalitas dan kepandaian berargumentasi saja, namun jauh dari itu, sekali lagi, ia harus bermodalkan wawasan HAM yang kuat. Dengan kata lain, salah satu unsur yang turut mencipta terwujudnya keadilan terhadap hak asasi manusia adalah adanya para advokat yang berpersepektif HAM.

Sangat tidak berlebihan jika penegakkan terhadap hak asasi manusia menjadi sangat penting. Karena hak tersebut adalah anugerah Tuhan yang melekat sejak lahir dalam diri tiap manusia, karenanya tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga dengan alasan apapun juga. Siapapun juga wajib menghargai dan menghormatinya. Sehingga suatu kemuliaan tersendiri pula bagi para advokat yang berwawasan HAM dan memiliki idealisme serta integritas yang kuat untuk menegakkan keadilan HAM. Adagium officum nobile layak disandang oleh mereka.

PKPA PBHI – Peradi

Munculnya berbagai organisasi advokat yang dikelola secara profesional, menjadi penting peranannya dalam mewujudkan peradilan yang bebas, cepat dan sederhana. Keberadaannya dibutuhkan masyarakat dalam membantu mencari keadilan dan menegakkan hukum untuk memperoleh hak-haknya kembali yang terampas. Kini, meskipun banyak kontrofersi mengenai profesi advokat, namun ternyata profesi advokat masih bahkan makin diminati oleh para sarjana hukum. Banyak lahir advokat-advokat muda dari sebuah pendidikan khusus profesi advokat yang diselenggarakan oleh lembaga, institusi dan organisasi-organisasi advokat. Dalam hal ini, penyelenggara PKPA turut memiliki andil terhadap kualitas advokat-advokat baru tersebut. 


PBHI sebagai salah satu organisasi non pemerintah yang konsen dalam pemberian/ pelayanan bantuan hukum dan HAM, yang sekaligus juga sebagai salah satu penyelenggara pendidikan khusus profesi advokat, adalah lembaga yang sangat tepat untuk menyelenggarakan PKPA yang berpersepektif HAM.

Berdasarka semua yang telah saya sampaikan di atas, maka saya memilih Pendidikan khusus profesi advokat yang diselenggarakan oleh PBHI-Peradi. Dengan harapan, apa yang saya fikirkan dan saya inginkan dapat terpenuhi dalam PKPA tersebut. Sehingga dapat menjadi bekal bagi saya untuk melangkah ke tahapan berikutnya, hingga saya memiliki kartu izin beracara. Dengan demikian kesempatan untuk mengabdi pada masyarakat, menjadi lebih leluasa karena tidak terhalang oleh izin beracara.

Bapak/ Ibu Panitia PKPA PBHI-Peradi, izinkan saya menyampaikan di sini, bahwa saat ini pendidikan di negara kita, segala macam pendidikan, menjadi suatu komersialisasi. Tak lain juga dengan PKPA. Mungkin saya mewakili banyak suara, bahwa dalam keadaan yang semacam itu, dan di dukung pula oleh perekonomian yang tidak baik, akibat naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM), namun PBHI-Peradi menyelenggarakan PKPA dengan biaya yang jauh berbeda dengan penyelenggara-penyelenggara lainnya, biaya yang terjangkau. Itu adalah kesempatan yang baik buat saya, buat kami, untuk dapat mengikuti dan memperoleh PKPA. Dalam hal ini, berarti PBHI-Peradi sedang menegakkan suatu keadilan HAM. Bahwa tiap-tiap orang berhak atas pendidikan.

Demikian surat motifasi ini saya sampaikan dengan sejujur-jujurnya untuk digunakan sebagaimana mestinya. Besar harapan saya untuk dapat mengikuti PKPA PBHI-Peradi.

Sebagai penutup, izinkan saya mengutip apa yang dikatakan Frans Hendra Winarta *bahwa “pemberian bantuan hukum bagi masyarakat (miskin) adalah sebagai pemenuhan hak asasi manusia dan bukan belas kasihan”. 

Dan dalam hal apapun, dianugerhi untuk dapat memberi tentu jauh lebih menyenangkan daripada menerima. Sekian dari saya, atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih.



Cibinong, 28 Juli 2008
23.45 – 01.52 WIB

Hormat saya,


Adiani Viviana

Tidak ada komentar: