Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di https://indonesiana.tempo.co/read/110279/2017/04/11/vi2_163/papua-dalam-lensa-kamera
“.......Lagu nan sendu, dan syair yang menawan//
Mengalun di sana menyayat hatiku// Dan nada yang sendu, puisi yang menawan,
terjalin bersama oh nyanyian sunyi// Tanah yang permai yang kaya.......terhampar
di sana....................surga yang terlantar...........”
Hati ini cukup tersentuh saat pertama
kali mendengar syair yang dinyanyikan oleh grup musik Mambesak itu.
Mendengar lagu itu, fikiran melambung jauh pada keelokan sekaligus
ketidakadilan dan koyak-moyak kehidupan yang tak berprikemanusiaan di
pulau di ujung timur sana: Papua. Grup musik rakyat Papua itu dengan
menakjubkan telah menyuarakan Papua melalui lirik syair-syair yang indah
dan menggetarkan.
Pesona keindahan alam yang dimiliki
Papua membuat orang-orang menjulukinya sebagai surga kecil yang jatuh ke
bumi. Raja Ampat, Kaimana, Lembah Baliem, Pegunungan Jayawijaya, adalah
beberapa tempat menawan yang cukup dikenal dunia. Meski masih banyak
surga kecil tersembunyi lainnya yang kini dengan kecanggihan teknologi
dapat dinikmati melalui dokumentasi-dokumentasi foto di dunia maya.
Adalah komunitas Papuans Photo, sebuah
komunitas fotografi yang dibentuk pada 18 Oktober 2014. Komunitas ini
punya tujuan utama untuk mengasah bakat fotografi orang-orang muda Papua
dan mempromosikan Papua melalui foto.
Seorang pemuda Papua bersuku Mee bernama
Whens Tebay, adalah penggagas terbentuknya komunitas itu. Ia tidak
memiliki pendidikan khusus fotografi, namun kecintaannya pada fotografi
telah mengasah tajam bakat yang ia punyai.
“Saya mulai jatuh cinta pada dunia
fotografi pada tahun 2009, waktu masuk kuliah. Dan pertama kali saya
pegang kamera baru pada tahun 2013. Itupun kamera HP, lalu tidak lama
kemudian saya beli kamera pocket canon shybershoot”.
Pada 2014, Kementrian Kehutanan Provinsi
Papua mengadakan lomba foto dengan tema Cagar Alam Cyclops. Cyclops
adalah nama sebuah pegunungan yang menaungi Jayapura. Whens terpanggil
untuk mengikuti kompetisi itu. Sekitar 20-an orang muda mengikuti lomba
tersebut. Whens mengirim karya fotonya berupa potret teluk Youtefa, yang
meliputi hutan mangroove, jembatan ringroad, dan kampung Tobati.
Pada 1996, Pemerintah Indonesia
menetapkan teluk Youtefa sebagai kawasan konservasi dengan peruntukan
lokasi taman wisata alam. Youtefa dengan luas 1.675 hektare adalah teluk
kecil yang berada di dalam teluk Yos Sudarso. Konon, kampung Tobati
merupakan kampung tertua di teluk Youtefa. Hanya ada tiga kampung di
sana: Tobati, Enggros, dan Nafri. Teluk Youtefa menjadi salah satu
tempat penting dalam sejarah peradaban Orang Asli Papua. Baik dalam
perkembangan sistem budaya, agama, adat, alam, maupun geografis, dan
lainnya. Sayangnya, Youtefa kini relatif tak seindah dulu. Kesadaran
masyarakat khususnya pengunjung untuk menjaga kebersihan masih rendah.
Begitu juga dengan pihak pemerintah, belum ada upaya masif melakukan
langkah strategis dan sinergis untuk menjaga keasrian dan kebersihan
kawasan konservasi ini. Termasuk merawat budaya dan sejarah yang ada di
dalamnya. Situasi itu sudah bermula lama. Pada 2015 JERAT Papua, sebuah
jaringan kerja Hak Asasi Manusia di Jayapura menuliskan bahwa sampah
berserakan di kawasan ini hingga menimbulkan bau busuk.
Banyak pihak berpotensi mencoreng
kecantikan Bumi Cinderawasih. Pada 4 Maret 2017, sebuah kapal pesiar
berbendera Bahama menabrak terumbu karang seluas 1.600 meter di perairan
Raja Ampat Papua Barat justru di saat air surut. Peristiwa itu menuai
beragam kecaman dari banyak pihak, sekaligus tuntutan perketat penjagaan
wilayah perairan serta penyelesaian hukum terhadap insiden itu.
Melihat bagaimana keseriusan pemerintah Indonesia dalam menangani
masalah-masalah yang terjadi di lintas sektor, barangkali dapat dilihat
dengan bagaimana pemerintah menjaga dan merawat hutan dan perairannya.
Ibarat rumah, keduanya seperti halaman depan dan kebun belakang rumah.
Melalui peraturan yang dituangkan dalam undang-undang kepariwisataan,
yaitu UU No 10 Tahun 2009, sebenarnya pemerintah sudah menjabarkan
kewajibannya dan kewajiban pihak pengelola pariwisata dalam mengelola
tempat pariwisata. Bagaimana mereka harus memahami pengelolaan tempat
wisata tersebut tidak hanya sebagai sebuah sumber ekonomi, tetapi
sebagai tempat wisata yang berkualitas bahkan dengan memasukkan
prinsip-prinsip penghormatan terhadap hak asasi manusia. Itu berlaku
untuk semua jenis pariwisata, termasuk perairan laut, dan teluk.
Foto Whens tentang teluk Youtefa, kampung Tobati, dan jembatan ringroad memenangi
juara III. Kompetisi dan prestasi itu telah menginspirasi dia bahwa
orang-orang muda Papua juga punya kemampuan, bakat, dan ketrampilan yang
bagus dalam dunia fotografi. Jika tidak diberdayakan, akan sia-sia.
Whens yang lahir dan besar di Wamena, menyadari betul, Tanah Kehidupannya memiliki kekuatan karakter alam, aura, dan inner beauty.
Ia ingin Orang Asli Papua khususnya orang-orang mudanya mengenali bumi
Papua, dengan menjelajah dan mendokumentasikan apa yang mereka lihat dan
jumpai melalui kamera.
“Orang muda Papua tidak boleh
ketinggalan dengan pemuda luar. Harus punya ketrampilan, juga bisa
menggunakan teknologi”, kata Whens.
Whens mengutarakan gagasannya membentuk
komunitas fotografi pada kawan-kawannya di kampus. Awalnya hanya lima
orang mahasiswa yang menjadi kawan berbagi idenya itu, yang kemudian
lima-limanya menjadi anggota Papuans Photo. Mereka rapat, berdiskusi
bagaimana membentuk dan mengkonsep komunitas ini. Rapat kerap dilakukan
di warung-warung tepi jalan sepanjang Abepura-Waena. Kadang juga hanya
diskusi melalui jejaring sosial.
Papuans Photo punya kegiatan utama hunting foto bersama. Peserta hunting
lintas latar belakang, tidak hanya anggota komunitas saja. Tapi juga
masyarakat umum, pegawai negeri, pelajar, dan mahasiswa. Whens turun
tangan sendiri dalam kegiatan hunting ini.
“Setelah menyepakati tempat dan
waktu, saya mentoring sendiri peserta. Tapi hanya di awal dan di akhir.
Tapi saat proses, anggota komunitas juga mentoring peserta hunting itu”
Papuans Photo punya galeri online facebook @papuansphoto.
Whens mencatat, kini pengikutinya di dunia maya itu mencapai 21.764
orang, dan tiap hari terus bertambah. Semua orang boleh bergabung dalam
komunitas dunia maya ini, tidak hanya Orang Asli Papua saja. Namun, foto
yang diunggah dalam komunitas ini diseleksi oleh tim admin, yaitu hanya
foto yang berobjek di Tanah Papua.
Komunitas yang kini beranggotakan 25
orang muda (anggota aktif) itu juga masih punya rencana-rencana
aktivitas lain selain rutinitas hunting. Tapi masih terkendala
dana dan minimnya perlengkapan fotografi. Selama ini ia mengelola
komunitasnya dengan biaya swadaya mandiri. Selain kendala dana dan
perlengkapan yang minim, buruknya jaringan internet di Papua juga jadi
kendala. Khususnya untuk pengelolaan komunitas dunia mayanya.
Jaringan internet di Papua tidak secepat
di pulau-pulau lain. Kondisi geografis, manajemen PT Telkom, serta
situasi dan gejolak politik disinyalir merupakan faktor-faktor penyebab
timbul tenggelamnya jaringan itu. Di Papua rawan terjadi gempa bumi,
bergoyang sebentar berpengaruh lama terhadap hilangnya jaringan
internet. Pemulihan biasanya sangat lama. Jika presiden datang ke Papua,
biasanya juga akan menyisakan hilangnya jaringan internet. Oktober
2016, Presiden Jokowi datang ke Sentani, jaringan internet di Sentani,
Abepura, Jayapura dan sekitarnya mulai melambat. Saat itu saya sedang di
sana. Disusul kerusakan jaringan fyber bawah laut karena
gempa, diikuti bulan Desember tiba. Bulannya rakyat Papua. Praktis pada
minggu pertama Januari 2017 jaringan internet baru lancar kembali.
“Maaf, saya tidak bisa buka dokumen
yang Mbak kirim. Ini saya sedang numpang buka email di hotel di
Jayapura, tapi juga lama sekali. Kalau ada gangguan begini biasanya
memang satu bulan lebih baru normal lagi. Kemarin sudah ada pernyataan
juga dari Telkom begitu”, kata kawan baik saya, perempuan asli Papua yang saat ini memimpin sebuah organisasi gereja.
Email saya di bulan Desember 2016 untuk
seorang kawan saya lainnya, baru dia balas di awal Februari 2017.
Katanya baru masuk di Januari akhir. Ia kesal karena hampir dua bulan
Jayapura tanpa internet. Ia terlambat mendapatkan informasi-informasi
penting dan berguna. Kawan saya lainnya, mengirim pesan pendek ke saya,
katanya, “Kami di Jayapura macam sedang hidup di jaman batu”.
Whens juga kesal, karena sepanjang dua bulan itu praktis komunitasnya di
dunia maya antara ada dan tiada. Aktivitasnya mengelola komunitas
Papuans Photo di dunia maya terhenti.
Aktivitas Whens mengelola komunitas
Papuans Photo itu, sebenarnya bukanlah kegiatan utama kesehariannya.
Sehari-hari Whens bekerja untuk ELSHAM Papua di Jayapura.
Sebagai pembela HAM, di ELSHAM ia lekat
dengan kerja pendokumentasian. Insiden dan peristiwa-peristiwa penting
di Papua, khususnya Jayapura, tidak ketinggalan ia abadikan dalam
kameranya. Potret ketidakadilan dan pelanggaran HAM di Papua menjadi
buruannya, untuk ia suarakan melalui foto. Satu lembar foto memang mampu
mengurai cerita, kisah, dan sejarah yang panjang. Menjadi bukti sesuatu
ada, sesuatu terjadi. Dalam dunia peradilan, ia menjadi sebuah alat
bukti.
Tanah dan langit Papua yang sangat
menawan selalu membuat kita terkagum. Tapi tidak dengan yang terjadi
kepada para pemilik tanah dan langit itu, Orang Asli Papua. Hingga kini,
pelanggaran hak asasi manusia terhadap Orang Asli Papua masih terus
terjadi dan cukup tinggi intensitasnya dengan beragam tindakan
pelanggaran. Peradaban dan eksistensi Orang Asli Papua tergerus atas
nama pembangunan infrastruktur dan peningkatan taraf hidup rakyat.
Identitas mereka terancam hilang. Ekspansi perkebunan kelapa sawit,
tambang, mega proyek pertanian, pembukaan jalan trans, perlahan
memusnahkan tanaman sagu, makanan pokok mereka, dan mengikis budaya asli
lainnya. Pendekataan keamanan (militersime) yang berlebihan juga masih
saja kental di bumi Cenderawasih itu. Akibatnya kekerasan juga
penyiksaan oleh aparat terhadap Orang Asli Papua khususnya, begitu
sering terjadi. Termasuk pada para aktivisnya, para pembela Hak Asasi
Manusia.
Orang-orang muda Papua yang berada di
garis depan utamanya dalam menyuarakan hak menentukan nasib sendiri dan
Papua merdeka, menjadi sasaran empuk aparat kepolisian juga militer.
Mereka ditangkap, ditahan, beberapa juga berbulan-bulan mendekam di
dalam bui. ELSAM Jakarta mencatat, pada 2014 telah terjadi 10 peristiwa
penangkapan dan penahanan dengan tuduhan separatis dengan korban
sebanyak 133 orang di Papua.
Orang-orang muda Papua yang tergabung
dalam organisasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menjadi korban
langganan aksi represif dan intimidatif aparat. Laporan SKPKC Fransiskan
Papua dalam Memoria Passionis Papua, sebuah potret hak asasi manusia
selama 2015, pada peringatan 1 Mei 2015 aparat menangkap sekitar 260
aktivis KNPB di berbagai wilayah seperti Manokwari, Fak Fak, Sorong,
Merauke, Nabire, dan Jayapura.
Whens juga menjadi incaran intel. Dalam
beberapa aksi di seputaran Jayapura, saat ia hendak mendokumentasikan
aksi tersebut, ia terus dibuntuti.
Pada 19 Desember 2016, saat orang-orang
Papua memperingati hari Trikora (Tiga Komando Rakyat) di beberapa titik
di kota Jayapura, Whens ditangkap oleh gabungan polisi dan Dalmas. Whens
yang sedang mendokumentasikan aksi di Waena, tiba-tiba ditarik,
tercekik, dan tercakar bagian dadanya, lalu digelandang ke Polresta
Jayapura. Semua hasil jepretan Whens dihapus oleh polisi. Front Rakyat
Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) mencatat, di hari yang sama telah
terjadi penangkapan disertai tindakan kekerasan terhadap sejumlah
aktivis dan demonstran di Merauke, Nabire, Yogyakarta, Gorontalo,
Manado, Wamena, dan Jayapura, dengan total korban 520 orang.
“Begitulah...., dan selalu begitu. Paling sering menimpa kawan-kawan KNPB. Kamera diminta paksa, foto dihapus......”
Di Papua militer dan polisi menjadi
pihak lawan utama bagi banyak persoalan Orang Asli Papua, termasuk
mereka para jurnalis dan fotografer. Apalagi aktivis dan demonstran.
“Padahal saya ingin, suatu saat buat pameran foto potret pelanggaran HAM di Papua”, kata Whens pada suatu hari di bulan Mei 2016 di dalam bajai yang membawa kami melaju di jalanan Tanah Abang Jakarta.
Pada akhir Mei 2016 saya menemani Whens
ke kantor TEMPO di Palmerah Tanah Abang. Saya memperkenalkan Whens pada
jurnalis senior TEMPO, Yosep Suprayogi dan jurnalis foto TEMPO, Rully
Kesuma. Whens ingin menjadi kontributor foto buat TEMPO. Rully Kesuma
meminta Whens setidaknya dalam tiga bulan kedepan mengirim hasil
jepretannya. Whens setuju. Diskusi singkat dengan Rully dan Yosep
membuat Whens bersemangat.
Namun sekembalinya Whens ke Jayapura, ia
harus lama tinggal di pedalaman Wamena, kampung halamannya. Mamanya
sakit parah. Whens yang sudah tidak punya Bapa dan hanya punya dua adik
laki-laki, merawat seorang diri mamanya, hingga pada 30 Oktober 2016
mamanya meninggal, menyusul Bapa Whens.
Ia memasang foto dirinya bersama mamanya pada account facebook pribadinya. Ucapan belansungkawa membanjir. Kebanyakan dari kawan-kawannya di Papuans Photo.
“Apa karya fotomu yang paling istimewa bagimu?”
“Saya rasa foto ini. Orangtua anak ini sudah meninggal. Anak ini sendiri yang merawat adiknya sehari-hari”, jawab
Whens sambil menunjukkan foto seorang anak perempuan berseragam sekolah
SD berwarna merah putih rapi, berjalan menggendong adiknya. Dua-duanya
menatap kosong ke depan dengan tatapan sayu dan kening berkerut.
“Objek yang belum tergapai?”
“Apa ee? Mungkin memfoto sejumlah
aparat yang sedang brutal membubarkan paksa demonstran di Papua. Dan
foto aparat yang sedang kasih pukul demonstran. Itu sulit. Kalaupun
dapat, yaaa...begitulah....”.
Whens bukan demonstran yang orator.
Namun ibarat orator, kamera adalah megaphonenya, foto adalah suaranya.
Melalui foto ia menyuarakan Papua: keindahan budaya, alam dan langitnya
serta ketidakadilan yang terjadi di tanahnya. Dan yang terpenting, ia
menggerakkan kaum muda Papua untuk terus berkarya, mencintai tanah air
dan langitnya. Komunitas-komunitas orang muda Papua harus terus
bertumbuh dan bergerak dalam banyak bidang. Kuat dan komitmen menjaga
kekayaan leluhur dengan berkarya menekuni bidang itu hingga zaman demi
zaman berganti. Seperti Grup Musik Mambesak dengan syair-syairnya yang
menggetarkan itu. Di masa lalu, Mambesak dan syair-syairnya telah
menandai gerakan kebudayaan Papua, dan syair-syairnya akan terus
mengalun abadi menemani gerakan generasai dan generasi gerakan
penerusnya kini.
Foto: Dokumentasi Whens Tebay