Sabtu, 20 September 2014

Pemimpin Penjaga Pepohonan dan Perdamaian


*Adiani Viviana




Sepertinya cinta Abdul Kholik Arif pada pohon sudah sangat mendalam. Mungkin juga ‘tanpa kepentingan’. “Kalau ada pohon ditebang semena-mena, wiss, saya berani nangis....”, kata Kholik. 

Pada tahun 2012, Majalah Tempo memilih Bupati Wonosobo itu sebagai salah satu kepala daerah pilihan. Tempo melihat adanya leadership yang kuat, keberanian dalam mengimplementasikan program, dan konsistensi dalam kepemimpinan Kholik. 

Kholik meyakini bahwa menanam pohon bersama-sama dapat menjadi media yang membahagiakan bagi lintas masyarakat untuk berkomunikasi secara terbuka. Keyakinanya terbukti. Ia berhasil melalui dua pulau dengan sekali mendayung ; mewujudkan Wonosobo yang hijau, dan damai. Ahmadiyah, Aboge (Alif Rebo Wage), Syiah, Kristen, Katolik, Konghucu, Hindu, Budha, NU, Muhammadiyah, Muslimat, Aisyiah, Ansor, Fathayat,  dan sebagainya bergandengan tangan riang gembira menanam pohon. Tidak hanya sekali. Berkali-kali. 

Kholik percaya, dengan hidupnya banyak pohon, hak-hak dasar warga akan terpenuhi. Jalan pikirannya logis dan runut. Ia menjadikan Wonosobo green city sebagai tangga menuju Wonosobo human right friendly city. Baginya, negara-pemerintah sebagai pemangku kewajiban terhadap pemenuhan hak-hak dasar manusia, tidak bisa melakukannya sendiri. Masyarakat sebagai bagian dari lingkungan, harus berpartisipasi. Melakukan kontrol, sekaligus sebagai pelaku.

 “Tapi dulu, preman-preman di Wonosobo kalau mutung wagu. Nek mutung dho nebangi pohon”, cerita Kholik pada 3 Juni 2014 lalu di Hotel Royal Kuningan Jakarta. Preman yang aneh. Kini, preman-preman aneh itu telah berada dalam rangkulan Kholik. Mereka turut serta menanam pohon, dan berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan serta kebudayaan.

Pemimpin yang baik tahu betul apa yang harus dikerjakan. Bupati penerima penghargaan pluralisme itu berhasil menggandeng semua elemen masyarakat, dan pemerintah untuk terlibat langsung dalam mewujudkan Wonosobo yang hijau dan damai. Hampir tidak terdengar adanya pelanggaran atau kekerasan di Wonosobo yang mengatasnamakan agama  atau kepercayaan. Suatu kali sebuah vihara di Wonosobo berantakan seperti dirusak orang. Kholik bersama aparat dan masyarakat turun tangan langsung ke lapangan. Setelah diselidiki, ternyata yang merusak petir atau geledhek. 

“Karena tidak ada yang perlu dilanggar dan melanggar”, kata laki-laki kelahiran Wonosobo itu. Bagi Kholik, agama atau kepercayaan adalah urusan masing-masing individu. Sendiri-sendiri saja. “Sukanya Yahudi, ya silahkan. Suka Islam, ya silahkan”. Sebagai pemimpin daerah, Kholik tidak mau membubarkan Ahmadiyah di wilayahnya. Saya lahir besar di Wonosobo. Sebelum saya lahir, Ahmadiyah sudah ada di sana. Lha, ya mana mungkin saya mau membubarkan”, tegasnya. Kholik tegas berbeda dengan pemimpin daerah di kota-kota tetangga. Mereka dengan dalih pelaksanaan SKB Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, Dan/ Atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dan Warga Masyarakat, berlomba-lomba melalui perangkat pemerintahannya membubarkan Ahmadiyah di wilayahnya. Mulai dari penyegelan masjid, pelarangan berkumpul keagamaan, diskriminasi pelayanan publik, dan sebagainya. 

Menurut Kholik, tantangan terberat dalam menjaga kebhinekaan dan perdamaian adalah menghadapi kelompok yang selalu merasa paling benar sendiri.
 
Pemimpin yang mampu mengenali dengan baik dan dekat yang dipimpin, ia tahu pasti apa yang harus dikerjakan. 

Pemimpin yang baik adalah orang yang berkarakter kuat. Memiliki kemampuan managerial juga mutlak. Jika pemimpin telah menempatkan tujuannya untuk “kemanusiaan yang adil dan beradab”, memahami bahwa bumi dan kita ada karena beraneka ragam perbedaan -bukan sesuatu yang tunggal atau seragam, atau sewarna-, serta memikirkan dan bertindak untuk tetap lestarinya lingkungan, hutan, gunung, sungai, memperbanyak pohon dimana-mana, maka barangkali tak akan ada keraguan dari siapapun untuk dipimpinnya. Pemimpin dengan karakter kuat ibarat pohon rindang yang memiliki akar kuat menghujam ke bumi. Pohon sumber kedamaian, pemimpin sumber perdamaian. 

Oktober 2014 mendatang, Kholik akan paripurna dari tugasnya memimpin dan mengelola Wonosobo. Salah satu yang akan diwariskan Kholik kepada kampung halamannya adalah tata ruang kota dengan 35 % ruang terbuka hijau. Warisan lainnya adalah bukit-bukit yang telah ia hijaukan dengan nama-nama yang unik. Bukit wartawan, bukit pramuka, dan masih banyak bukit lagi.

Semoga usahanya dalam menyebarkan virus hijau, virus toleransi, perdamaian, dan nilai-nilai kemanusiaan, tidak akan berhenti saat ia berhenti menjadi bupati. Kata Ayah saya, menanam pohon sama halnya dengan berbuat kebaikan ;  bisa dimana saja dan kapan saja. Ayah mencontohkan Nabi Muhammad SAW yang menanam pohon di tempat orang-orang yang memusuhinya. Nabi Muhammad juga pernah menanam pohon di saat berperang. Jika cinta Kholik pada keharmonisan sudah mendalam, tentu ia juga akan menanam pohon dan menyemai perdamaian di mana  saja, dan kapan saja.



Bandung, 18 Juni 2014