*Adiani Viviana
Sepertinya cinta Abdul Kholik Arif
pada pohon sudah sangat mendalam. Mungkin juga ‘tanpa kepentingan’. “Kalau ada pohon ditebang semena-mena, wiss,
saya berani nangis....”, kata Kholik.
Pada tahun 2012, Majalah Tempo memilih Bupati
Wonosobo itu
sebagai salah satu kepala daerah pilihan. Tempo melihat adanya leadership yang kuat, keberanian dalam
mengimplementasikan program, dan konsistensi dalam kepemimpinan Kholik.
Kholik meyakini bahwa menanam
pohon bersama-sama dapat menjadi media yang membahagiakan bagi lintas
masyarakat untuk berkomunikasi secara terbuka. Keyakinanya terbukti. Ia
berhasil melalui dua pulau dengan sekali mendayung ; mewujudkan Wonosobo yang
hijau, dan damai.
Ahmadiyah, Aboge (Alif
Rebo Wage), Syiah, Kristen, Katolik, Konghucu, Hindu, Budha, NU, Muhammadiyah,
Muslimat, Aisyiah, Ansor, Fathayat, dan sebagainya
bergandengan tangan riang gembira menanam pohon. Tidak hanya sekali.
Berkali-kali.
Kholik percaya, dengan hidupnya
banyak pohon, hak-hak dasar warga akan terpenuhi. Jalan pikirannya logis dan
runut. Ia menjadikan Wonosobo green city
sebagai tangga menuju Wonosobo human
right friendly city. Baginya, negara-pemerintah sebagai pemangku kewajiban
terhadap pemenuhan
hak-hak dasar manusia, tidak bisa melakukannya sendiri. Masyarakat sebagai
bagian dari lingkungan, harus berpartisipasi. Melakukan kontrol, sekaligus
sebagai pelaku.
“Tapi dulu, preman-preman di Wonosobo kalau
mutung wagu. Nek mutung dho nebangi pohon”, cerita Kholik pada 3
Juni 2014 lalu di Hotel Royal Kuningan Jakarta. Preman yang aneh. Kini,
preman-preman aneh itu telah berada dalam rangkulan Kholik. Mereka turut serta
menanam pohon, dan berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan serta kebudayaan.
Pemimpin
yang baik tahu betul apa yang harus dikerjakan. Bupati penerima penghargaan
pluralisme itu berhasil menggandeng semua elemen masyarakat, dan pemerintah untuk terlibat
langsung dalam mewujudkan Wonosobo yang hijau dan damai. Hampir tidak terdengar
adanya pelanggaran atau kekerasan di Wonosobo yang mengatasnamakan agama atau
kepercayaan. Suatu
kali sebuah vihara di Wonosobo berantakan seperti dirusak orang. Kholik
bersama aparat dan masyarakat turun tangan langsung ke lapangan. Setelah diselidiki, ternyata yang merusak petir atau
geledhek.
“Karena
tidak ada yang perlu dilanggar dan melanggar”, kata laki-laki kelahiran Wonosobo
itu. Bagi Kholik,
agama atau kepercayaan adalah urusan masing-masing individu. Sendiri-sendiri
saja. “Sukanya Yahudi, ya silahkan. Suka
Islam, ya silahkan”. Sebagai pemimpin daerah, Kholik tidak mau membubarkan
Ahmadiyah di wilayahnya. “Saya lahir besar di Wonosobo. Sebelum saya lahir,
Ahmadiyah sudah ada di sana. Lha, ya mana mungkin saya mau membubarkan”, tegasnya.
Kholik tegas berbeda dengan pemimpin daerah di kota-kota tetangga. Mereka
dengan dalih pelaksanaan SKB Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008 tentang Peringatan
dan Perintah kepada Penganut, Anggota, Dan/ Atau Anggota Pengurus Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI) Dan Warga Masyarakat, berlomba-lomba melalui
perangkat pemerintahannya membubarkan Ahmadiyah di wilayahnya. Mulai dari
penyegelan masjid, pelarangan berkumpul keagamaan, diskriminasi pelayanan publik,
dan sebagainya.
Menurut Kholik, tantangan terberat dalam menjaga kebhinekaan dan
perdamaian
adalah menghadapi kelompok yang selalu merasa paling benar sendiri.
Pemimpin yang mampu mengenali dengan baik
dan dekat yang dipimpin, ia tahu pasti apa yang harus dikerjakan.
Pemimpin
yang baik adalah orang yang berkarakter kuat. Memiliki kemampuan managerial
juga mutlak. Jika pemimpin telah menempatkan tujuannya untuk “kemanusiaan yang
adil dan beradab”, memahami bahwa bumi dan kita ada karena beraneka ragam
perbedaan -bukan
sesuatu yang tunggal atau seragam, atau sewarna-, serta memikirkan dan
bertindak untuk tetap lestarinya lingkungan, hutan, gunung, sungai, memperbanyak
pohon dimana-mana, maka
barangkali tak akan ada keraguan dari siapapun untuk dipimpinnya. Pemimpin dengan karakter
kuat ibarat pohon rindang yang memiliki akar kuat menghujam ke bumi. Pohon
sumber kedamaian, pemimpin sumber perdamaian.
Oktober 2014 mendatang, Kholik akan paripurna
dari tugasnya memimpin dan mengelola Wonosobo. Salah satu yang akan diwariskan
Kholik kepada kampung halamannya adalah tata ruang kota dengan 35 % ruang
terbuka hijau. Warisan lainnya adalah bukit-bukit yang telah ia hijaukan dengan
nama-nama yang unik. Bukit wartawan, bukit pramuka, dan masih
banyak bukit lagi.
Semoga usahanya dalam menyebarkan virus hijau, virus toleransi, perdamaian,
dan nilai-nilai
kemanusiaan,
tidak akan berhenti saat ia berhenti menjadi bupati. Kata Ayah saya, menanam
pohon sama halnya dengan berbuat kebaikan ;
bisa dimana saja dan kapan saja. Ayah mencontohkan Nabi Muhammad SAW yang menanam
pohon di tempat orang-orang yang memusuhinya. Nabi Muhammad juga pernah menanam
pohon di saat berperang.
Jika cinta Kholik pada keharmonisan sudah mendalam, tentu ia juga akan menanam pohon dan menyemai perdamaian di mana saja, dan kapan saja.
Bandung, 18 Juni 2014