Udara sejuk, dan terasa
ringan saat dihirup. Kabut tipis menyelimuti kampung kecil di balik bukit itu.
Seekor anjing coklat menyembul keluar dari balik semak-semak tepi jalan. Tidak
terlihat kesibukan atau lalu lalang yang berarti di perkampungan Cireundeu
siang itu, Rabu 19 November 2014. Rombongan tamu dari Myanmar, ANBTI, Ajar,
Elsam, Ikohi, Jaringan Bina Damai, Sobat KBB, Perkumpulan 6211, dan sekitar
lima orang jurnalis berjalan beriringan menyusuri gang kecil di dalam
perkampungan yang tetap mengikuti perkembangan zaman dalam urusan teknologi
itu. Mereka datang untuk saling menguatkan, berbagi informasi dan pengalaman
dalam advokasi kebebasan beragama/berkeyakinan. Kunjungan ini merupakan bagian
dari rangkaian perayaan hari toleransi internasional yang jatuh pada Minggu, 16
November 2014.
Jika masyarakat Cireundeu
kedatangan tamu, mereka akan menerimanya di bale saresehan. Bale yang pada tiga
sisi dindingnya dihiasi piagam penghargaan berbingkai, dan berjejer rapi. Mulai
dari Walikota hingga presiden, dari dalam negeri sampai mancanegara, pernah
memberikan penghargaan pada masyarakat kampung Cireundeu untuk kesetian mereka
pada singkong. Atas nama ketahanan pangan, para pemberi penghargaan itu
memberikan apresiasinya untuk para “kakek nenek hingga anak singkong” itu.
“Tidak
pernah terfikir dan terbayangkan sebelumnya oleh kami, kalau kearifan lokal dan
kemandirian ini diapresiasi oleh banyak kalangan”,
kata Kang Yana, salah satu tokoh masyarakat kampung Cireundeu. “Kang” adalah sebutan
untuk laki-laki dewasa Sunda.
Seperti sebutan “mas” di Jawa, atau
“uda” di Minang.
Menurut Kang Yana,
konsumsi di luar beras masyarakat Kampung Cireundeu sudah berlangsung sejak
1918. Secara turun temurun dilakukan oleh leluhur mereka, hingga generasi
terkini. Singkong adalah
pilihan mereka. Singkong menjadi bahan pangan pokok masyarakat kampung
Cireundeu.
Kondisi geografis wilayah
Indonesia menuntut masyarakatnya untuk dapat bertahan hidup dengan menyesuaikan
kondisi alam di mana mereka tinggal. Kampung Cireundeu, terletak di dalam
lembah. Di balik deretan gunung, yaitu gunung Kunci, gunung Cementeng, dan
gunung Gajahlangu. Kontur Cireundeu jauh dari persawahan.
Sejak zamannya, para
leluhur masyarakat kampung Cireundeu telah memberikan petuah yang sesuai dengan
kehidupan kekinian. Para leluhur mengingatkan, bahwa ke depan manusia akan
terus tumbuh dan bertambah. Semua makan beras. Beras akan berkurang. Masyarakat
Cireundeu tidak boleh bergantung pada orang lain. “Tidak punya sawah asal punya padi, tidak punya padi asal punya beras,
tidak punya beras asal bisa menanak nasi, tidak punya nasi asalkan makan, tidak
bisa makan asalkan kuat”, itulah petitih leluhur mereka yang hingga kini
dirawat, dijaga dan dijalani, hingga
mengantarkan mereka pada berbagai bentuk penghargaan dari berbagai
kalangan.
Tapi ironis,
kesetiaan mereka pada ajaran keyakinan leluhur tidak dilirik, tidak
diapresiasi, karena tidak diakui. Negara
tidak mengakui mereka sebagai penganut kepercayaan tradisi leluhur; Sunda
Wiwitan. Meskipun sebagai warga negara, mereka telah memberikan prestasi hingga
tingkat dunia. Sedikitnya 70 kepala keluarga masyarakat Cireundeu menganut
kepercayaan Sunda Wiwitan.
Di balik
kemandirian masyarakat Cireundeu, dan keberhasilan mereka dalam menjaga tradisi
ketahanan pangan, mereka menanggung masalah yang bersumber dari perilaku negara
yang tidak mengakui keyakinan mereka itu. Kesulitan dalam pencatatan sipil
terkait pernikahan, dan pencatatan kelahiran anak, juga pendidikan sekolah
anak-anak. Anak-anak tidak memiliki akta kelahiran. Di sekolah mereka harus
mengikuti pelajaran agama yang bukan merupakan keyakinannya. Negara yang menjamin
warga negaranya untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agama dan
kepercayaannya, tidak dirasakan oleh masyarakat Cireundeu. Saat ini, seorang perempuan anggota keluarga Abah Emen (sesepuh kampung) yang sedang berkuliah
di STIP, terhambat dalam proses akhir kelulusannya. Karena sekolah mensyaratkan
ia harus bisa berbahasa Arab. Sementara, penganut Sunda Wiwitan sangat lekat dengan aksara Sunda.
Laporan monitoring Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat (Elsam) terhadap peradilan atas enam kasus berbasis agama/
kepercayaan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Yogyakarta pada 2013-2014
menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama/ berkeyakinan
berdampak pula terhadap terlanggarnya hak-hak lain. Dalam studi enam kasus
tersebut, hak asasi manusia lainnya yang dilanggar diantaranya adalah hak atas
rasa aman, hak atas tempat tinggal, hak atas pendidikan, hak untuk berserikat
dan berkumpul, hak atas budaya, hak atas perlakuan yang sama di depan hukum,
hak atas peradilan yang adil.
Tentang
pemerintah yang mengupayakan pengkosongan kolom agama pada KTP, bagi masyarakat Cireundeu mungkin baik, atau sama saja. Tapi bagi mereka, akan lebih
baik jika agama mereka bisa dicatat pada kolom KTP, “agama: Sunda Wiwitan”. Karena itu menunjukkan sebuah pengakuan
yang kuat.
Konstitusi
UUD 1945 tegas dan terang menjamin hak asasi manusia. Daftar panjang hak asasi
manusia tertuang setidaknya mulai dari Pasal 27 hingga Pasal 31. Jaminan hak
bebas beragama dan beribadah sesuai agama atau kepercayaannya secara khusus
tertuang dalam satu pasal, satu bab, yaitu Pasal 29 dalam Bab XI. Hingga kini
negara sering kali absen dalam menjalankan konsekuensi atas penjaminan
tersebut. Selain kewajiban menjamin, otoritas negara dalam hal ini trias
politika : eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kewajiban menghormati
hak konstitusional tersebut. Bukan semata-mata atas dasar tuntutan undang-undang,
atau moral.
“Negara memberi apresiasi atas prestasi kami. Tapi masalah
spiritual kami, mereka tidak mau mengerti. Terserah saja. Yang penting bagi
kami, inilah kami. Anak singkong, kakek singkong. Urusan makan, daulat pangan,
kami mandiri berdiri sendiri”, Tegas Kang
Asep tokoh masyarakat Cireundeu penganut Sunda Wiwitan.
Apa yang
dialami masyarakat Sunda Wiwitan Cireundeu juga dirasakan kelompok-kelompok
penghayat lainnya di Indonesia. Berprestasi, tapi tidak diakui. Masyarakat
Samin Sedulur Sikep di Kudus misalnya. Sejarah mencatat, para leluhur sedulur
Sikep berjasa dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan RI. Hingga kini, anak cucu
leluhur tersebut, mengalami banyak hambatan, perlakuan diskriminasi sebagai
warga negara, karena keberadaan mereka sebagai kelompok penghayat tidak diakui
oleh negara.
Mengacu pada
ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rigths), Negara memiliki
tugas utama untuk melindungi semua individu yang tinggal di wilayahnya dan yang
tunduk pada yurisdiksinya. Termasuk orang-orang yang memeluk keyakinan
non-teistik atau ateistik, orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas
(Pasal 27 ICCPR dan Deklarasi PBB 47/135), dan penduduk asli (Deklarasi PBB
61/295 Pasal 11 dan 12), serta untuk melindungi hak-hak mereka.
Di samping itu, Negara juga harus memperlakukan semua individu secara setara
tanpa diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan mereka. Indonesia telah meratifikasi ICCPR melalui
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Sudah sembilan tahun berjalan. Konsekuensi
bagi Negara peratifikasi adalah Negara bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak
sipil dan politik warga negaranya. Tanggung jawab tersebut terklasifikasi ke
dalam kewajiban untuk menghormati atau to
respect, melindungi atau to protect,
dan memenuhi atau to fullfil hak-hak
asasi manusia warga negara. Dalam rangka pemenuhan ketiga kewajiban tersebut,
negara dapat menempuh langkah dan kebijakan yang tepat, konkrit, dan solutif.
Implikasi lain dari negara peratifikasi kovenan adalah, melaporkan langkah-langkah
yang ditempuh dalam upaya pemenuhan hak-hak warga negara yang termaktub dalam
kovenan, bagaimana perkembangannya setelah pemberlakuan kovenan. Laporan dibuat
satu tahun pasca diberlakukannya kovenan, dan setelahnya apabila diminta.
Namun hingga
kini, seperti pohon singkong yang tahan banting, tahan cuaca, dan bisa tumbuh
dimanapun, begitu juga masyarakat Sunda Wiwitan Cireundeu, tetap mandiri dan berjuang di
tengah-tengah tiadanya pengakuan negara atas keberadaan mereka sebagai kelompok
kepercayaan. Mereka terus berupaya menjaga keharmonisan dengan sesama dan
semesta. Menjaga kesetiaan pada ajaran leluhur mereka, leluhur bangsa
Indonesia,
meski Negara tidak mengakuinya. (Adiani Viviana)
Cireundeu, 19
November 2014