Rabu, 17 Desember 2014

Diapresiasi Tapi Tak Diakui

Udara sejuk, dan terasa ringan saat dihirup. Kabut tipis menyelimuti kampung kecil di balik bukit itu. Seekor anjing coklat menyembul keluar dari balik semak-semak tepi jalan. Tidak terlihat kesibukan atau lalu lalang yang berarti di perkampungan Cireundeu siang itu, Rabu 19 November 2014. Rombongan tamu dari Myanmar, ANBTI, Ajar, Elsam, Ikohi, Jaringan Bina Damai, Sobat KBB, Perkumpulan 6211, dan sekitar lima orang jurnalis berjalan beriringan menyusuri gang kecil di dalam perkampungan yang tetap mengikuti perkembangan zaman dalam urusan teknologi itu. Mereka datang untuk saling menguatkan, berbagi informasi dan pengalaman dalam advokasi kebebasan beragama/berkeyakinan. Kunjungan ini merupakan bagian dari rangkaian perayaan hari toleransi internasional yang jatuh pada Minggu, 16 November 2014.

Jika masyarakat Cireundeu kedatangan tamu, mereka akan menerimanya di bale saresehan. Bale yang pada tiga sisi dindingnya dihiasi piagam penghargaan berbingkai, dan berjejer rapi. Mulai dari Walikota hingga presiden, dari dalam negeri sampai mancanegara, pernah memberikan penghargaan pada masyarakat kampung Cireundeu untuk kesetian mereka pada singkong. Atas nama ketahanan pangan, para pemberi penghargaan itu memberikan apresiasinya untuk para “kakek nenek hingga anak singkong” itu.

“Tidak pernah terfikir dan terbayangkan sebelumnya oleh kami, kalau kearifan lokal dan kemandirian ini diapresiasi oleh banyak kalangan”, kata Kang Yana, salah satu tokoh masyarakat kampung Cireundeu. “Kang” adalah sebutan untuk laki-laki dewasa Sunda. Seperti sebutan “mas” di Jawa, atau  “uda” di Minang. 

Menurut Kang Yana, konsumsi di luar beras masyarakat Kampung Cireundeu sudah berlangsung sejak 1918. Secara turun temurun dilakukan oleh leluhur mereka, hingga generasi terkini. Singkong adalah pilihan mereka. Singkong menjadi bahan pangan pokok masyarakat kampung Cireundeu.

Kondisi geografis wilayah Indonesia menuntut masyarakatnya untuk dapat bertahan hidup dengan menyesuaikan kondisi alam di mana mereka tinggal. Kampung Cireundeu, terletak di dalam lembah. Di balik deretan gunung, yaitu gunung Kunci, gunung Cementeng, dan gunung Gajahlangu. Kontur Cireundeu jauh dari persawahan.

Sejak zamannya, para leluhur masyarakat kampung Cireundeu telah memberikan petuah yang sesuai dengan kehidupan kekinian. Para leluhur mengingatkan, bahwa ke depan manusia akan terus tumbuh dan bertambah. Semua makan beras. Beras akan berkurang. Masyarakat Cireundeu tidak boleh bergantung pada orang lain. “Tidak punya sawah asal punya padi, tidak punya padi asal punya beras, tidak punya beras asal bisa menanak nasi, tidak punya nasi asalkan makan, tidak bisa makan asalkan kuat”, itulah petitih leluhur mereka yang hingga kini dirawat, dijaga dan dijalani, hingga  mengantarkan mereka pada berbagai bentuk penghargaan dari berbagai kalangan.

Tapi ironis, kesetiaan mereka pada ajaran keyakinan leluhur tidak dilirik, tidak diapresiasi, karena  tidak diakui. Negara tidak mengakui mereka sebagai penganut kepercayaan tradisi leluhur; Sunda Wiwitan. Meskipun sebagai warga negara, mereka telah memberikan prestasi hingga tingkat dunia. Sedikitnya 70 kepala keluarga masyarakat Cireundeu menganut kepercayaan Sunda Wiwitan.

Di balik kemandirian masyarakat Cireundeu, dan keberhasilan mereka dalam menjaga tradisi ketahanan pangan, mereka menanggung masalah yang bersumber dari perilaku negara yang tidak mengakui keyakinan mereka itu. Kesulitan dalam pencatatan sipil terkait pernikahan, dan pencatatan kelahiran anak, juga pendidikan sekolah anak-anak. Anak-anak tidak memiliki akta kelahiran. Di sekolah mereka harus mengikuti pelajaran agama yang bukan merupakan keyakinannya. Negara yang menjamin warga negaranya untuk memeluk agama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya, tidak dirasakan oleh masyarakat Cireundeu. Saat ini, seorang perempuan anggota keluarga Abah Emen (sesepuh kampung) yang sedang berkuliah di STIP, terhambat dalam proses akhir kelulusannya. Karena sekolah mensyaratkan ia harus bisa berbahasa Arab. Sementara, penganut Sunda Wiwitan sangat lekat dengan aksara Sunda.

Laporan monitoring Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) terhadap peradilan atas enam kasus berbasis agama/ kepercayaan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Yogyakarta pada 2013-2014 menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama/ berkeyakinan berdampak pula terhadap terlanggarnya hak-hak lain. Dalam studi enam kasus tersebut, hak asasi manusia lainnya yang dilanggar diantaranya adalah hak atas rasa aman, hak atas tempat tinggal, hak atas pendidikan, hak untuk berserikat dan berkumpul, hak atas budaya, hak atas perlakuan yang sama di depan hukum, hak atas peradilan yang adil.

Tentang pemerintah yang mengupayakan pengkosongan kolom agama pada KTP, bagi masyarakat Cireundeu mungkin baik, atau sama saja. Tapi bagi mereka, akan lebih baik jika agama mereka bisa dicatat pada kolom KTP,  “agama: Sunda Wiwitan”. Karena itu menunjukkan sebuah pengakuan yang kuat.

Konstitusi UUD 1945 tegas dan terang menjamin hak asasi manusia. Daftar panjang hak asasi manusia tertuang setidaknya mulai dari Pasal 27 hingga Pasal 31. Jaminan hak bebas beragama dan beribadah sesuai agama atau kepercayaannya secara khusus tertuang dalam satu pasal, satu bab, yaitu Pasal 29 dalam Bab XI. Hingga kini negara sering kali absen dalam menjalankan konsekuensi atas penjaminan tersebut. Selain kewajiban menjamin, otoritas negara dalam hal ini trias politika : eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki kewajiban menghormati hak konstitusional tersebut. Bukan semata-mata atas dasar tuntutan undang-undang, atau moral[1].

“Negara memberi apresiasi atas prestasi kami. Tapi masalah spiritual kami, mereka tidak mau mengerti. Terserah saja. Yang penting bagi kami, inilah kami. Anak singkong, kakek singkong. Urusan makan, daulat pangan, kami mandiri berdiri sendiri”, Tegas Kang Asep tokoh masyarakat Cireundeu penganut Sunda Wiwitan.
Apa yang dialami masyarakat Sunda Wiwitan Cireundeu juga dirasakan kelompok-kelompok penghayat lainnya di Indonesia. Berprestasi, tapi tidak diakui. Masyarakat Samin Sedulur Sikep di Kudus misalnya. Sejarah mencatat, para leluhur sedulur Sikep berjasa dalam masa-masa perjuangan kemerdekaan RI. Hingga kini, anak cucu leluhur tersebut, mengalami banyak hambatan, perlakuan diskriminasi sebagai warga negara, karena keberadaan mereka sebagai kelompok penghayat tidak diakui oleh negara.  
     
Mengacu pada ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rigths), Negara memiliki tugas utama untuk melindungi semua individu yang tinggal di wilayahnya dan yang tunduk pada yurisdiksinya. Termasuk orang-orang yang memeluk keyakinan non-teistik atau ateistik, orang-orang yang termasuk dalam kelompok minoritas (Pasal 27 ICCPR dan Deklarasi PBB 47/135), dan penduduk asli (Deklarasi PBB 61/295 Pasal 11 dan 12), serta untuk melindungi hak-hak mereka[2]. Di samping itu, Negara juga harus memperlakukan semua individu secara setara tanpa diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan mereka. Indonesia telah meratifikasi ICCPR melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Sudah sembilan tahun berjalan. Konsekuensi bagi Negara peratifikasi adalah Negara bertanggung jawab atas pemenuhan hak-hak sipil dan politik warga negaranya. Tanggung jawab tersebut terklasifikasi ke dalam kewajiban untuk menghormati atau to respect, melindungi atau to protect, dan memenuhi atau to fullfil hak-hak asasi manusia warga negara. Dalam rangka pemenuhan ketiga kewajiban tersebut, negara dapat menempuh langkah dan kebijakan yang tepat, konkrit, dan solutif. Implikasi lain dari negara peratifikasi kovenan adalah, melaporkan langkah-langkah yang ditempuh dalam upaya pemenuhan hak-hak warga negara yang termaktub dalam kovenan, bagaimana perkembangannya setelah pemberlakuan kovenan. Laporan dibuat satu tahun pasca diberlakukannya kovenan, dan setelahnya apabila diminta.

Namun hingga kini, seperti pohon singkong yang tahan banting, tahan cuaca, dan bisa tumbuh dimanapun, begitu juga masyarakat Sunda Wiwitan Cireundeu, tetap mandiri dan berjuang di tengah-tengah tiadanya pengakuan negara atas keberadaan mereka sebagai kelompok kepercayaan. Mereka terus berupaya menjaga keharmonisan dengan sesama dan semesta. Menjaga kesetiaan pada ajaran leluhur mereka, leluhur bangsa Indonesia, meski Negara tidak mengakuinya. (Adiani Viviana)


Cireundeu, 19 November 2014





[1] “Margin Apresiasi HAM”, Abdul Hakim Garuda Nusantara ; nasional.kompas.com, 2011
[2] Panduan Uni Eropa tentang Peningkatan dan Perlindungan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan

Tidak ada komentar: