Sabtu, 30 Agustus 2014

Ibu dan Pemilu


Bogor, 9 April 2014

Dalam pemilu, bapakku selalu golput. Sedangkan ibu selalu memilih. Setiap hari Pemilu tiba, pagi-pagi Bapakku mengeluarkan Vespanya, lalu mengendarainya. Pulang menuju kampung kelahirannya. Padahal di sana ia juga tidak memilih. Mungkin itu hanya pelarian sesaat untuk membuang rasa tidak enak pada tetangga atau pada mertua, karena tidak tampak di tempat pemungutan suara. Zaman itu, orang yang memilih golput belum bisa diterima dengan baik. 

Bapakku tidak pernah menyuruh apalagi memaksa ibu dalam menentukan pilihannya. Termasuk pada zaman hanya ada tiga partai. Tapi pada zaman itu, pilihan ibu selalu sama dengan pilihan kakek. Hingga pada suatu pemilu ibu memiliki pilihannya sendiri. Pilihan yang berbeda dengan Bapaknya. Ibu gelisah. Ibu melakukan sholat istikharoh atau sholat untuk meminta petunjuk pada Allah dalam menentukan pilihan atau mengambil keputusan. Ibu ingin memberikan suaranya berdasar keyakinannya sendiri yang terbaik. Dengan harapan baik dan dukungan moral untuk yang ia pilih. Kakek menerima perbedaan itu. 

Hingga zaman terus berganti. Dalam satu rumah atau satu keluarga masing-masing memiliki pilihan yang berbeda-beda, atau golput sekalipun bukan sesuatu yang harus diperdebatkan. Saling menerima pandangan dan pilihan yang berbeda. 

Menyarankan untuk tidak golput, boleh. Memaksa, tidak boleh. Kata ibu, yang penting bukan golput karena malas keluar rumah, jalan ke TPS. Atau karena tidak mau tahu. Selamat berpesta demokrasi!

Tidak ada komentar: