Oleh : *Adiani Viviana
Sejak semula, aku tahu,
bahwa pada akhirnya aku harus mengucapkan selamat berpisah kembali padamu,
duhai tanah yang tabah, pohon-pohon purba, jurang Pangurip Urip dengan
kerahasiaan abadi, sendang-sendang yang setia berabad-abad tetap basah, dan
desau Hargo Dumillah yang sunyi. Aku berlambat-lambat, agar berjumpa Senja.
Semua yang berjiwa lembut mencintai Senja.
Senja Yang Agung turun,
menyelimuti deburan awan tempatku berlarian. Angkasa mekar dengan cahaya-cahaya
merah berpendar. Angin gunung bergulung menuju balik bebukitan. Pucuk-pucuk
merah daun Pohon Cantigi tak lagi tampak. Di ketinggian tanah dan langit ini,
hatiku yang bergelombang menangkap lantunan menyeru kaum Muhammad untuk
menghadapkan wajah pada Penciptanya. Memuja Senja.
Keagungan Senja makin
mencekam. Gerimis melibas aroma bunga ilalang, bangkai pohon yang terbakar, dan
Edelways kering yang selamat dari kobaran api. Sementara aku, aku terseok,
merintih, tenggelam dalam gelap hutan kering yang panjang. Meninggalkan
jejakku, membunuh waktu, dan merekam tiap cengkerama penghuni hutan yang panas
kerontang.
Aku menangis,
mengetahui hidupku dalam Genggaman Waktu. Deburan awan masih menjadi
singgasanaku. Mata telanjangku masih dapat menerobos pancaran fajar.
Tangisku gersang,
karena kakiku hanya dapat menari bersama rumput kering dan embun tipis. Mulutku
hanya menyapa ranting-ranting, anggrek dan lumut kering. Dan semua yang tersisa
dari ulah keji manusia. Kulit dan rambutku hanya dapat bermandikan sinar
menyengat beraroma asap. Lalu menghirup udara tebal berdebu kering. Tak kujumpai Jalak hitam-Jalak hitam penuntun jalan.
Berat untuk beranjak
dan mengucapkan selamat tinggal pada hutan ini.
Kijang liar yang kadang
sekonyong-konyong di depan mata, tak ada. Malam dan Siang, bagaimana membuka
hati tangan-tangan kotor pembakar hutan ini? Bagaimana menyadarkan para cukong
kayu dan para penguasa itu, juga pendaki tak berhati, kalau hutan ini bukan
sekadar tempat aku, ia, mereka bermain, dan bukan sekadar tempat mencari
penghidupan bagi sebagian yang lainnya? Tapi jauh dari itu, hutan ini adalah
Rahim Kehidupan bagi semesta, bagi yang hidup dan yang mati.
Sebelum benar-benar
mengucapkan selamat tinggal (yang mungkin untuk kembali lagi), apakah aku boleh
tahu, mengapa jiwaku terpaut di sini? Mengapa selalu ingin kembali? Mengapa
Buananya selalu menyimpan cerita yang tak habis untuk dibaca? Mengapa Buminya
selalu memantulkan bau rindu yang membuat ngilu hati?
Seekor lebah dan
kupu-kupu mengkepak-kepakan sayapnya di hadapan mataku, seolah hendak mengkabarkan
sesuatu. Namun hanya sekejap, keduanya lalu terbang. Seperti awan yang berarak,
yang entah ke mana bersarang.
Aku akan kembali. Aku
akan kembali, kupinta engkau tetaplah jadi Rahim Kehidupan.
Cemoro Kandang, 31
Desember 2015
* Penulis adalah Anggota
luar biasa Gopala Valentara PMPA FH UNS, dan pekerja hak asasi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar