Pada hari raya Idul Adha
tahun 1993, di pagi hari seusai sholat Idul Adha situasi rumah saya di kampung
halaman hiruk pikuk. Nini dukun bayi panik dan tegang. Butir-butir keringat
menempel di wajahnya yang sudah keriput.
Bibirnya nlekthek, gemetar. Seolah
dialah yang baru selesai melahirkan. Ia was-was, takut kalau-kalau Ibu saya
sudah menghembuskan nafas terakhirnya.
Saya teringat kata dokter
saat itu. Perempuan yang baru melahirkan perlu minum air putih yang banyak.
Bukan minum air kopi. Proses persalinan menyita banyak cairan dari tubuh. Air
putih dapat membantu proses pemulihan. Air kopi tinggi kafein, katanya, dapat
mengganggu proses kerja jantung, dan tekanan darah setelah proses persalinan
itu. Sepertinya semua orang mengamini, kalau perempuan yang sedang melahirkan
memang sedang berjuang pada batas hidup dan mati.
Ibu ingin minum kopi. Nini
dukun bayi memberi ibu segelas kopi hitam setelah ibu berhasil berjuang mengeluarkan
adik dari kandungan ibu. Ibu meminumnya hingga habis. Ibu memang pecinta kopi.
Mata Ibu terpejam rapat. Bibirnya mengatup kencang. Wajah putihnya pasi. Ibu
pingsan sesaat setelah melahirkan anak keenamnya. Adik saya yang ke dua.
Bidan dan dokter kalah
cepat datang oleh nini dukun bayi. Padahal nini dukun bayi berjalan kaki
puluhan kilometer dari rumahnya menuju rumah kami. Sementara bidan, juga dokter
mengendarai sepeda motor. Hitungan melahirkan nini dukun bayi tidak meleset. “Insya Allah, nanti lahir pagi hari. Setelah
Sholat Idul Adha selesai”, katanya. Saya tidak tahu persis bagaimana ia
mengira-iranya.
Ibu punya cerita yang
berbeda-beda pada enam kali proses persalinannya. Tiap kali ibu bercerita
tentang salah satu diantara enam itu, rasa cinta dan kagum saya pada ibu selalu
bertambah mendalam. Tapi pada enam kali
proses persalinan itu, selalu ada dua kesamaan. Satu, ibu melahirkan enam
bayinya secara alami di rumah. Tak ada yang lahir di rumah bersalin. Dua, tiap
mengandung, ibu sakit gigi.
Dokter selalu menyarankan
ibu untuk cabut gigi seusai melahirkan. Ibu menurutinya. Ibu telah melahirkan
enam bayi. Dalam kurun waktu 1974 – 1993, ibu telah kehilangan enam giginya
karena dicabut seusai melahirkan.
Bagi saya, ibu saya
adalah ibu terbaik sedunia. Ia perempuan yang kuat. Melebihi kuatnya para
pendaki gunung Annapurna. Atau gunung
tertinggi di dunia sekalipun. Hatinya lebih luas dari samudera. Ia guru yang
baik. Pelawak yang gokil. Partner bisnis yang oke sip mantap. Meski bukan
partner memasak yang kompak. Juga bukan partner berantem yang asyik.
Ibu sering melawak tanpa
disadari. “Bu, itu es teh manis ya?”,
“Bukan. Air teh saya taruh kulkas”,
katanya tanpa basa-basi. Setelah saya menyipitkan mata dan menarik bibir,
barulah ia sadar dan terkekeh sendiri. Selain kopi, sesekali ibu suka es teh
manis. Ibu suka yang manis-manis. Tapi Bapak tidak terlalu manis. Hanya saat
mudanya, di foto-foto Bapak terlihat
tampan. Ibu tidak takut yang
manis-manis merusak giginya. Ia yakin dalam hidupnya hanya akan sakit gigi saat
mengandung saja.
Idul Adha selalu
mengingatkan Ibu pada kelahiran anak keenam. Anak terakhirnya. Dan sejak enam
tahun terakhir ini, Idul Adha juga mengingatkan Ibu pada kehidupan baru
suaminya, Bapak kami. Idul Adha enam tahun lalu, adalah hari pertama Bapak kami
menjadi pasien haemodialisa, hingga kini. Idul Adha enam tahun lalu, Ibu mengajarkan
pada Bapak dan kami tentang kekuatan. Bagaimana meneladani ketaatan Nabi
Ibrahim dalam berkorban dan mengabdi pada Tuhannya. Untuk mendapat ampunan dan
tebusan-Nya. Enam tahun lalu, meski ibu tak bisa memasakkan daging untuk kami,
meski gigi-gigi kami tak bisa mengunyah daging bersama-sama, mengelilingi meja
makan, tapi pada wajah ibu yang sayu, saya masih bisa melihat rona bercahaya.
Orang bilang, sorga ada
di bawah telapak kaki ibu. Dan mungkin, kehidupan kami ber-enam, ada di balik gigi ibu. Jika kami ber-enam
masing-masing memberi ibu satu gigi buatan, barangkali dapat mengganti enam gigi
ibu yang hilang itu. Tapi, gigi emas sekalipun tidak akan pernah dapat mengganti kemuliaan dan pengorbanannya untuk kami. Terima kasih Bu, telah memberi kami jalan kehidupan hingga nafas kami kini.
Bogor, 5 Oktober 2014
1 komentar:
How to register at the Sloty Casino - Mapyro
When looking for 보령 출장마사지 slot machines, there is something very specific to slot machines 안산 출장마사지 out there. A list of 세종특별자치 출장마사지 casinos will 김제 출장마사지 give you information 구미 출장마사지 that you should have
Posting Komentar