featured slider http://www.beritalingkungan.com
*Adiani Viviana
Barangkali Tarra termasuk anak perempuan yang terlahir beruntung. Lahir dan tumbuh di tengah-tengah keluarga berada dan berpendidikan. Namun, kenyamanan yang melingkupinya tak lantas membuatnya tumbuh menjadi anak manja. Sebaliknya, ia perempuan kecil yang mandiri, punya jiwa sosial tinggi, rajin berdoa, dan peduli pada lingkungan hidup.
*Adiani Viviana
Barangkali Tarra termasuk anak perempuan yang terlahir beruntung. Lahir dan tumbuh di tengah-tengah keluarga berada dan berpendidikan. Namun, kenyamanan yang melingkupinya tak lantas membuatnya tumbuh menjadi anak manja. Sebaliknya, ia perempuan kecil yang mandiri, punya jiwa sosial tinggi, rajin berdoa, dan peduli pada lingkungan hidup.
Heru Indriyatno,
ayahnya, seorang pekerja keras. Ia pengusaha yang meniti usahanya dari
nol. Perkawinanya dengan Tiasning Agus Setiani melahirkan dua orang anak
perempuan ; Ditta dan Tarra. Kini Tarra duduk di bangku kelas lima
Sekolah Dasar Harapan Mulia, Bekasi, Jawa Barat.
Rumah tinggal keluarga
itu berada di kompleks perumahan elite di Bekasi. Dalam rumah yang luas
itu terdapat satu ruangan yang berfungsi sebagai ruang kerja. Tarra
seringkali duduk berlama-lama di ruang itu. Halaman rumah mereka tidak
cukup luas, namun tanaman-tanaman hias tumbuh subur dan terawat, hingga
ke pojok-pojok ruangan, dan taman dalam ruang.
Sejak tahun 2004, rumah
itu sering kedatangan segerombolan Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret, Solo. Mereka adalah sahabat muda Heru
Indriyatno. Heru alumnus dari sana.
Mereka datang untuk
menimba pengalaman, sharing informasi, menyampaikan undangan organisasi
Mapala, sekedar bertamu, atau melobi mengajukan proposal usaha dana
untuk mendukung kegiatan-kegiatan organisasi Mapala yang bernama Gopala
Valentara itu. Ada juga yang datang untuk melamar pekerjaan.
Keanggotaan organisasi
Mapala adalah seumur hidup. Tingkat loyalitas dan kekerabatan sangat
kental dalam organisasi itu. Rumah Heru Indriyatno juga sering menjadi
tempat berkumpul pendaki-pendaki gunung seangkatannya atau yang lebih
tua, sesama anggota Gopala Valentara.
Tarra selalu
menimbrung, membaur, dan cepat menyatu dengan tamu-tamu ayahnya itu.
Heru juga membiarkan puteri kecilnya turut bercengkerama, berdiskusi,
dan mendengarkan pembicaraan mereka. Rasa ingin tahunya besar. Ia kerap
mengajukan pertanyaan-pertanyaan di sela-sela perbincangan.
Dari suasana
kekerabatan antar pendaki itulah, jiwa petualang Tarra mulai muncul.
Hingga kemudian, ia berkali-kali berkesempatan mendaki gunung, memasuki
rimba belantara nusantara. Dan kini, ia sudah mulai ketagihan.
“Subhanallooooh”, kata seru untuk memuji ciptaan Tuhan itu meluncur lembut dari bibir mungilnya, saat ia berhasil mencapai Kawah Ratu, tujuan pendakiannya. Nafasnya masih terdengar terengah-engah sambil kedua telapak tangannya terus ia tangkupkan. Terlihat gemetaran.
Reaksi dari hawa dingin
yang tercipta dari perpaduan ketinggian, hembusan angin, dan hujan.
Tubuhnya dibungkus dua lapis baju. Kaos lengan panjang berwarna hijau
tua dan celana lapangan panjang dengan warna senada dengan kaosnya,
menjadi lapisan pertama. Lapisan keduanya adalah setelan jas hujan
berwarna biru tosca. Rambut hitamnya yang ikal di atas bahu terlihat
basah karena campuran keringat dan air hujan. Dua bola matanya yang
bulat terus memandang ke sekelilingnya, menyapu layar lebar alam yang
eksotis.
Saya melihat ada gurat
lelah di wajah polos Tarra. Sekaligus gurat bahagia. Rasa dan ekspresi
yang sama dengan saya tentunya. Setiap pendaki akan merasakan perasaan
itu tatkala perjuangannya melalui medan pendakian terbayar dengan sajian
alam yang eksotis dan maha indah. Alam seperti tak mau menyimpan
rahasia dengan kita. Kita disambut menjadi bagian alam semesta. Mendesis
bersama dalam jiwa rahim kehidupan ; belantara rimba, rimba belantara.
Tarra mendekap saya
erat-erat. Kami berfoto bersama dengan berbagai gaya dengan
latarbelakang kepulan asap membentuk kabut putih yang mengepul dari
Kawah Ratu, Gunung Salak, Jawa Barat.
Saya terkesima dengan
motivasi dan semangat yang dimiliki Kalyana Tarra Widya Kusuma, nama
panjang Tarra. Saat kami mendaki gunung Salak itu (19-20 November 2011),
ia masih berusia 10 tahun.
Ia memiliki jiwa
kebersamaan dan toleransi yang tinggi pada orang lain. Ia juga peka
terhadap lingkungan sekeliling. Sikap peduli pada lingkungan hidup
rupanya juga telah terpatri dalam diri gadis kecil itu. Dalam tiap
pendakian, ia selalu mengantongi sampah plastik bungkus makanannya.
Bahkan ia suka mengingatkan pendaki dewasa supaya mempacking sampah
plastiknya.
Gunung Salak, bukanlah
gunung pertama yang ia daki. Sebelumnya Tarra pernah mendaki ke gunung
Burangrang, Jawa Barat dengan ketinggian 2064 meter di atas permukaan
laut (mdpl). Lalu pada Maret 2012, Tarra mendaki ke gunung Papandayan
(2665 mdpl). Ia sudah dua kali ke Papandayan.
Di tahun yang sama,
2012 bulan Oktober, Tarra mendaki ke gunung tertinggi di Pulau Jawa,
gunung Semeru. Pada April 2014 ini, Tarra baru saja mendaki ke gunung
Prau dan Dieng Jawa Tengah. Selain mendaki, Tarra juga menyukai olahraga
air, ia pernah melakukan diving di Bunaken. Ia juga pernah mencoba olah
raga arus deras (rafting) di sungai Citatih Jawa Barat.
Saya yakin, tanpa ia
sadari, Tarra, perempuan kecil itu, sudah mengerti dan memahami filosofi
sebuah pendakian dan kebersamaan. Saya merasa takjub, ketika suatu kali
saya mengalami mabuk kendaraan, dan syndrome pra-pengarungan saat akan
rafting di sungai Citatih, lalu dengan bergegas dan ringan tangan, Tarra
memberikan air putih ke saya, menggosok leher belakang saya dengan
minyak kayu putih, dan berkali-kali menanyakan apakah saya sudah merasa
lebih enak? Tidak ada yang menyuruhnya melakukan itu, tidak pula saya
minta.
“Teman-teman sekelasmu,
apa ada yang pernah naik gunung juga?”, tanya saya suatu kali. “Enggak
ada. Cuma aku yang pernah naik gunung”, katanya. “Kan enakan jalan-jalan
ke mall, naik mobil, beli baju, boneka, coklat, es krim. Ngapain ikut
Papah capai-capai begini?”, tanya saya lagi saat mendaki ke gunung
Salak. “Di mall kan enggak ada pohon. Enak naik gunung. Masak mie,
jalan. Kalau nyampai puncak, kan seneeeeng”, katanya.
Melakukan aktivitas
apapun jika kita menyukainya, pasti kita akan bahagia, dan riang
gembira. Tidak merasa capai atau menjadikannya beban. Begitupun naik
gunung. Saya yakin, Tarra sudah menjiwai pendakian, dan menyukainya. Ia
memiliki passion sebagai penjelajah.
Soe Hoek Gie, aktivis
muda Indonesia yang juga pendaki gunung meninggalkan banyak “wasiat”
buat kita, sebelum ia meninggal di gunung Semeru. Salah satu wasiat
penting darinya adalah, ia menuliskan bahwa patriotisme tidak mungkin
tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai
sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan, mencintai tanah
air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama
rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus
berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat.
“Pah, aku ikut yaa?”,
di tepi Ranu Kumbolo, Tarra merajuk, merayu-rayu ayahnya agar dijinkan
turut melanjutkan pendakian bersama kami hingga Mahameru, puncak Semeru.
Mungkin secara fisik ia mampu. Ia juga bermental baja, tidak mudah
menyerah. Namun mengingat medan menuju Mahameru yang cukup sulit dan
terjal, Heru Indriyatno tidak mengijinkan.
“Kelak kamu seusia aku,
kamu pasti sudah mencapai Mahameru, malah mungkin lebih dari sekali.
Dan pastinya sudah ke gunung mana-mana. Aku baru mulai mendaki saat aku
SMA kelas satu. Kamu udah kemana aja coba…”, saya menghibur Tarra saat
itu. Lalu katanya, “Besok aku mau masuk Gopala Valentara, Pren. Namaku
udah sama kan. Kata Papah, Tara, kan Gopala Valentara”.
Ia tidak mau memanggil
saya “tante” seperti ia memanggil teman-teman muda ayahnya. Ia memanggil
saya “pren (friend)”, begitu juga saya.
Heru Indriyatno dan
istrinya, tentu sangat mengerti resiko-resiko dari pendakian atau olah
raga yang dikenal menantang maut itu. Apalagi bagi puterinya yang masih
kecil. Tapi ia juga mengerti, banyak sekali manfaat dan sisi positif
dari sebuah pendakian.
Alam raya akan
membentuk karakter seorang pendaki. Dalam rimbunnya belantara rimba,
juga terselubung pengetahuan dan pengalaman yang tak ada habisnya.
Pendakian yang
dilakukan dengan baik dan rutin, serta dilakukan sejak usia kanak-kanak
atau remaja, akan menyumbang besar dalam pembentukan karakter seseorang.
Untuk mendaki gunung setidaknya ada tiga tahapan aktivitas yang akan
dilakukan oleh seseorang dan tim-nya ; perencanaan – pelaksanaan – pasca
pendakian.
Dalam tiga aktivitas
tersebut, tiap-tiap pendaki akan terlatih (karena dituntut dan harus)
untuk memiliki sikap disiplin tinggi, rasa kebersamaan, kompak dan
saling menolong, tanggungjawab, teliti dan sabar, peka terhadap
lingkungan sekitar dan alam, tidak gegabah, tegas dan tepat dalam
mengambil keputusan, santun dalam bicara dan berbuat, terampil dan runut
dalam bekerja, tidak egois, memiliki kekuatan mental dan fisik, tidak
mudah menyerah atau putus asa, gigih dalam mencapai tujuan, selalu ingat
pada Tuhan Yang Maha Penyayang. Karena jika tidak memiliki sikap dan
sifat-sifat itu, akan sulit bagi kita untuk bisa bersahabat dengan alam
raya, rimba belantara, gunung. Untuk bisa bertahan hidup, mencapai
tujuan. Sikap dan sifat-sifat tadi sangat penting dalam meminimalisir
risiko, bahaya, dan hambatan di alam raya.
Sikap dan sifat-sifat
itu akan tumbuh dan menjadi karakter seorang pendaki jika pendakian
dilakukan dengan baik, dan rutin. Jika sudah melekat, maka dalam
kehidupan sehari-hari sifat-sifat itu juga tetap melekat menjadi
karakter keseharian. Tak heran, jika Sir Henry Dunant juga meninggalkan
wasiat penting, ia menuliskan bahwa Suatu negara tidak akan pernah
kekurangan pemimpin bila anak mudanya masih suka mendaki gunung,
menyelami lautan, dan menjelajah rimba. Karena sikap dan sifat-sifat
yang terbentuk dari seorang pendaki gunung yang baik, adalah sifat-sifat
atau karakter yang wajib dimiliki oleh seorang pemimpin.
Dalam keseharian, Tarra
juga sudah menunjukkan sifat-sifat kepemimpinanya. Ia juga termasuk
siswi yang berprestasi di sekolahnya. Di dalam rimba, Tarra sebagai
muslimah kecil juga tetap rajin Sholat. Meski kadang harus bertayamum,
karena terbatasnya air di dalam rimba. Pernah juga bimbang harus
menghadap ke mana. Belum ketemu arah kiblat (barat). Memang semestinya
begitu. Karena sholat tidak bergantung pada tempat ataupun orang lain.
Sholat hanya bergantung pada keyakinan kita masing-masing.
Seorang pendaki gunung
yang baik, adalah seorang pecinta alam. Karenanya ia akan menjunjung
tinggi kode etik pecinta alam. Ia akan menyanyangi alam seisinya.
Seperti alam raya mengajarkan kasih sayang tanpa batas pada kita.
Mungkin baik Heru
Indriyatno maupun Tiasning Agus Sulistiani yakin, dan percaya pada Alam
Raya, pada rimba belantara, bahwa ia akan mendidik puteri kecilnya
tumbuh menjadi perempuan yang berkarakter. Oleh karenanya, mereka
membiarkan Tarra mendaki gunung, menjelajah hutan belantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar