Jumat, 07 April 2017

Suara untuk Kemerdekaan dan Kebebasan Rakyat Papua

Oleh: Adiani Viviana



Puluhan orang muda Papua berdiri di seputaran Tugu Kujang Bogor, Jawa Barat pada Senin, 20 Maret 2017. Mereka adalah mahasiswa Papua yang sedang kuliah di Bogor dan sekitarnya. Para mahasiswa itu melakukan aksi damai tutup PT. Freeport Indonesia dan mendesak pada negara agar hak menentukan nasib sendiri rakyat Papua segera dipenuhi. Aksi damai yang menyuarakan polemik PT. Freeport dan dampak-dampak buruknya bagi rakyat Papua itu, tak seriuh demo kontroversi kendaraan umum angkot dan ojek tradisional Vs online di Bogor. Begitu juga reaksi dari aparat keamanan dan pemerintah.

Mahasiwa Papua yang aksi di seputaran icon Kota Seribu Angkot itu hanya segelintir, kesepian di antara kemacetan pusat kota Bogor. Megaphone tidak riuh, di antara mereka membawa poster-poster ukuran sedang bertuliskan “Tutup Freeport”. Namun, persatuan dan semangat perlawanan mereka menggelora. Saya melihat optimisme dalam kepalan tangan kiri dan sorot mata mereka yang menyala.

Di waktu yang sama di beberapa kota di Indonesia bagian Barat, ratusan mahasiswa juga sedang menyuarakan tuntutan yang sama. Begitu juga di belahan bumi Timur, di hari yang sama pada beberapa titik kota di Papua dan Papua Barat, ratusan mahasiswa meneriakkan suara rakyat Papua. Tidak berhenti di hari itu. Para mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya sebagai Front Persatuan Mahasiswa Tutup Freeport (FPM-TF) tersebut, akan kembali bergerak pada Jum’at, 7 April 2017.

50 tahun silam, pada Jum’at 7 April 1967, Pemerintah Indonesia bersama PT. Freeport menandatangani Kontrak Karya operasi perusahaan raksasa dari Amerika Serikat itu untuk massa 30 tahun berproduksi di Papua. Sepanjang 50 tahun itu pula, kekayaan sumber daya alam Papua terus dikeruk. Dampak buruk pencemaran lingkungan terus terjadi. Budaya dan identitas suku-suku asli perlahan tergerus. Berbagai kepentingan elite politik, pemodal, kaum penebeng atau benalu yang hanya memikirkan perut sendiri dan golongannya saling bergulat, bermafia, guna memperlancar dan mencapai tujuannya. Kasus “Papa minta saham” pada 2015 menjadi salah satu bukti nyata permufakatan jahat itu. Pada 2015, PT. Freeport sudah mulai meminta kepastian perpanjangan kontrak pada Pemerintah Indonesia. Sebenarnya masa kontrak itu baru akan berakhir di 2021. Pada 2015 itulah, “suara Papa minta saham” berhembus. Meskipun kasus palak memalak, jatah-menjatahi, sudah seperti siklus yang selalu hadir menjelang kontrak baru antara Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport. Atau siklus periodik jangka pendek.

Bagi rakyat Papua, kasus Papa minta saham bukan hal baru. Penandatanganan Kontrak Karya pada 7 April 1967 silam itu menjadi salah satu pintu masuk berbagai bentuk ketidakadilan terhadap rakyat Papua hingga kini. Konflik horizontal yang kerap kali berakhir hilangnya banyak nyawa sering terjadi di sekitaran Timika. Timbul pula masalah-masalah sosial yang melingkupinya. Itu semua bersumber dari polemik keberadaan PT. Freeport.

Disamping itu terjadi pula konflik vertical. Megawati Soekarnoputri, Presiden Indonesia saat itu, mengeluarkan Instruksi Presiden No. 63/2004 tentang Pengamanan Alat Vital Negara. Lalu berdasarkan Inpres itu, pemerintah dan PT. Freeport mengalihkan tanggungjawab pengamanan PT. Freeport dari militer (Tentara Nasional Indonesia) ke Polri pada 4 Juli 2006. Sejumlah 600 personil Brimob dari Mabes Polri Kelapa Dua Jakarta secara khusus diturunkan untuk kepentingan tersebut. Pendekatan keamanan itu juga tidak asing lagi bagi rakyat Papua. Siapa memberontak, nyawa taruhannya.

Para penduduk suku asli, Mama-mama di sekitaran Timika, tidak merasakan dampak baik adanya PT. Freeport. PT. Freeport, tak dapat dipungkiri memberikan kontribusi besar bagi negara dan perekonomian nasional. Tapi tidak bagi kesejahteraan rakyat Papua. Berapa persen yang masuk untuk sebesar-besar hajat hidup rakyat Papua? Bagi pemenuhan hak atas akses sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat? Orang Asli Papua yang bekerja di Freeport tak lain telah menjadi pahlawan devisa. Namun, mereka dan keluarganya pun tak kunjung merasakan sejahtera. The New York Times pernah memberitakan, berdasarkan dokumen-dokumen yang mereka temukan dalam investigasi lapangan selama berbulan-bulan, sejak 1998-2004 PT. Freeport memberikan hampir 20 juta dolar kepada para petinggi Polri dan Militer Indonesia beserta unit-unitnya.

Rakyat Papua, khususnya masyarakat adat di seputaran PT. Freeport juga menanggung derita lain sebagai dampak buruknya lingkungan akibat beroperasinya PT. Freeport. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat melaporkan tentang dampak buruk itu. SKP Jayapura misalnya, menuliskan dalam Memoria Passionis Papua, operasi PT. Freeport telah mengakibatkan terjadinya hujan asam, dari tahun ke tahun luasan es abadi di Puncak Cartenz berkurang, air sungai tercemar serta terbentuknya pengendapan lumpur yang berlebihan di muara-muara sungai. Semua itu membawa dampak yang buruk, khususnya bagi tujuh suku penduduk asli yang berdiam di sekitaran beroperasinya PT. Freeport.

FPM-TF melihat polemik Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Kontrak Karya merupakan sebuah konflik nasional yang tidak menguntungkan rakyat Papua. Sebab rakyat Papua hanya menjadi objek keserakahan negara dan pemilik modal. Sehingga sejak dibentuknya FPM-TF, kami terus komitmen untuk mengawal tuntutan: Tutup PT. Freeport dan Penuhi Hak Penentuan Nasib Sendiri”, tulis Front Persatuan Mahasiswa Tutup Freeport dalam press releasenya tertanggal 27 Maret 2017.

Pada Januari 2017 Pemerintahan Jokowi-JK menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2017. Peraturan Menteri ini mengatur izin ekspor konsentrat. Menurut peraturan ini, PT. Freeport tidak dapat melakukan aktivitas ekspor, sebab status izin usahanya yang masih Kontrak Karya. Sementara Permen No 6 Th 2017 itu hanya mengizinkan ekspor bagi perusahaan dengan status Izin Usaha Pertambangan Khusus. Peraturan itu membuat PT.Freeport mengambil langkah-langkah tegas dan putusan cepat. Tentu ia tidak mau rugi. Begitu juga pihak-pihak yang diuntungkan oleh Freeport.

Pemerintah Daerah Papua selama ini giat meminta jatah saham PT. Freeport, bahkan mendesak Presiden Direktur Freeport harus orang Papua. FPM-TF menilai itu sebagai permintaan yang salah kaprah dan tidak menjawab persoalan. Bahkan permintaan-permintaan Gubernur Papua selama ini terkesan hanya untuk kepentingan elit politik di Papua, bukan kepentingan rakyat”, tulis Yason Ngelia, Jefry Wenda, Teko Kogoya, Claos Pepuho, dan Nelius Wenda dalam press releasnya mewakili FPM-TF.

Yason, Jefry, Teko, Claos, dan Nelius adalah tokoh muda gerakan mahasiswa Papua. FPM-TF digawangi oleh lima organisasi gerakan yang mereka pimpin. Yason merupakan Sekjen Gerakan Mahasiswa Pemuda & Rakyat Papua atau GempaR-Papua. Teko, Ketua Umum Forum Independen Mahasiswa atau FIM. Sejak kelahirannya, GempaR-Papua dan FIM menjadi organisasi gerakan yang cukup bertaring dalam beraksi dan menyuarakan ketidakadilan yang terus menimpa rakyat Papua. Mereka menjadi mitra strategis beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat dalam advokasi kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia, maupun dalam mengkampanyekan penghormatan terhadapa nilai-nilai kemanusiaan di Tanah Papua.
             
          Sementara Jefry, adalah Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Papua. Aliansi ini lahir sejak 19 tahun silam. Claos ketua umum SONAMAPA, dan Nelius Wenda adalah Presiden Mahasiswa BEM Universitas Sains dan Teknologi.

Apa yang kami suarakan dalam aksi-aksi kami merupakan suara rakyat Papua. Sebagai sebuah front taktis kami menyuarakan aspirasi rakyat Papua dalam polemik PT. Freeport. Penutupan PT. Freeport dan diberikannya hak penentuan nasib sendiri merupakan solusi paling manusiawi dan berkeadilan kepada rakyat Papua yang telah dijarah Sumber Daya Alamnya selama 50 tahun lamanya”, kata Yason Ngelia.

Seperti Tanah Papua, yang didaku sebagai Ibu kandung – rahim kehidupan bagi rakyat Papua, maka rakyat adalah Ibu kandung bagi para mahasiswa. Paradigma kerakyatan telah menghantarkan gerakan mahasiswa pada aksi-aksi nyata di jalanan melawan sistem pemerintahan yang menindas dan merobohkan kekuasaan yang tirani.

Sejarah reformasi 1998 di Indonesia tak lepas dari peran gerakan mahasiswa. Kemerdekaan dan kebebasan dalam berbagai ruang kehidupan akhirnya sempat dirasakan bersama mahasiswa dan rakyat sebagai buah dari perjuangan. Namun tidak bagi mahasiswa dan rakyat Papua. Kebebasan dan kemerdekaan masih impian dan cita-cita. Angin kebebasan dan perubahan berhembus sangat sepoi hampir di seluruh Tanah Papua. Hingga kini rezim represif, militeristik, otoriter, dan sejenisnya masih sangat kental dalam hembusan angin itu. Kapitalisme global yang mengonggok dalam polemik PT. Freeport merupakan satu tantangan besar bagi gerakan rakyat dan mahasiswa Papua. 50 tahun beroperasi telah menggulirkan masalah-masalah akut bagi rakyat Papua, khususnya suku-suku asli di sekitar PT. Freeport. Masalah yang dibiarkan memborok, menjadi luka yang menganga.

Di lain sisi, jangan pula tutup mata, penangkapan dan pemenjaraan terhadap demonstran masih terus terjadi di Papua. Yason Ngelia adalah salah satu korban dari rezim itu. Pada 2013, ia menjadi sasaran aparat kepolisian. Yason ditangkap dan ditahan (disertai penganiayaan) selama tiga bulan. Ia dibui karena menyuarakan penolakan terhadap Otsus Plus. Puluhan demonstran ditangkap waktu itu. Namun hanya Yason yang ditahan. Aparat memandang GempaR-Papua sebagai gerakan anti nasionalis.

Kebebasan berserikat dan berkumpul hingga kini masih sangat dibatasi. Stigma separatis, makar, menjadi alat penguasa dalam memasung mereka. Belum lagi kebebasan pers. Proses demokratisasi di Tanah Papua rapuh sekali, sebab negara sendiri yang telah melumpuhkan pilar-pilar demokrasi itu. Apa yang terjadi di Indonesia pada rezim Orde Baru, semua masih dan sedang dirasakan oleh mahasiswa dan rakyat Papua.

Gerakan mahasiswa yang menuntut tutup PT. Freeport dan penuhi hak menentukan nasib sendiri sebagaimana diserukan oleh FPM-TF itu sendiri bukan gerakan dan tuntutan kemarin sore. Gerakan Mahasiswa Papua telah lama menyuarakan tuntutan rakyat itu. Dari generasi ke generasi, dari rezim ke rezim pemerintahan Indonesia. Bersuara untuk kehidupan rakyat yang bermartabat dan beridentitas, dihormati dan dipenuhi hak-hak dasarnya sebagai manusia.

Sementara itu di sebagian wilayah Indonesia lainnya, sebagian besar mahasiswanya masih terbuai dengan atmosfir kebebasan dan kemerdekaan reformasi. Padahal, rezim represif, otoriter, kapitalis, dan imperialis sedang dan sudah mewujud dalam bentuk dan gaya baru. Termasuk dalam sistem pendidikan tinggi dimana mereka bernaung. Mahasiswa tak lagi mengabdikan diri pada kepentingan rakyat. Mereka berkelindan dalam dunia yang apatis. Dalam hal ini, mahasiswa Indonesia dapat berkaca, dan belajar pada gerakan-gerakan mahasiswa Papua yang hingga kini masih terus berada di barisan terdepan untuk suara rakyat, suara menuntut pemenuhan hak menentukan nasib sendiri dan tutup PT. Freeport, agar bebas dan merdeka dalam semua aspek kehidupan dan penikmatan hak-hak dasar.

Dalam kasus semen Kendeng, pada Maret 2017 ini gerakan cor kaki oleh Ibu-Ibu Petani Kendeng dan sejumlah aktivis mestinya menjadi lonceng bagi mahasiswa Indonesia untuk bereaksi, beraksi merapatkan barisan (meski perjuangan ini juga bukan perjuangan kemarin sore). Ada, namun hanya segelintir. Justru solidaritas datang dari Aliansi Mahasiswa Papua. Beberapa mereka hadir dan turut ambil bagian melakukan aksi cor kaki pada Senin 27 Maret 2017 di depan istana negara Jakarta.

Kawan saya, Mey dari Boven Digoel yang bersuku Asmat terheran-heran, saat ia bergabung ke depan istana Jakarta untuk bersimpati pada petani Kendeng dalam aksi cor kaki, beberapa mahasiswa berjaket almamater mendekatinya. Lalu mereka bertanya ke Mey, Ibu-ibu itu kenapa? Mereka dari mana? Kemudian serentetan pertanyaan itu diakhir dengan lontaran, “aduh kasihan?”

Ah, yang kasihan itu mereka thoo?! Mereka thu mahasiswa hidup di mana kaa, sampai tidak tahu. Sa kira mau tanya apa”, cerita Mey pada saya.

Sebagai bagian dari gerakan rakyat, mengharuskan mahasiswa terus berkomunikasi, berdampingan sedekat mungkin, dan menyatu dengan ibu kandungnya: rakyat. Melalui relasi seperti itu, mahasiswa dapat mengetahui, memahami, mengerti betul, dan menyuarakan kepedihan rakyat seutuhnya karena kesewenangan kekuasaan. Sehingga tuntutan-tuntutan dan aspirasi yang disuarakan oleh gerakan mahasiswa dalam aksi-aksi perlawanan dapat membawa ke arah perubahan yang dikehendaki rakyat.                    

“Oleh karena itu, kami (FPM-TF) menyerukan kepada seluruh mahasiswa Papua di seluruh Indonesia, di seluruh Papua, untuk melakukan aksi serentak melawan imperialisme dan kapitalisme global yang telah menjarah Sumber Daya Alam Papua selama 50 tahun ini. Juga kepada media/ jurnalis untuk memonitoring, meliput aksi serentak di seluruh Indonesia, di seluruh Papua ini dan memberitakannya kepada publik secara berimbang, sehingga pers benar-benar dapat menjalankan fungsinya”, pungkas Yason, Jefry, Teko, Claos, dan Nelius dalam press releasnya mewakili FPM-TF.

Lima orang muda Papua itu mengajak mahasiswa Papua untuk bergerak serentak pada Jum’at 7 April 2017 di titik kota masing-masing dalam gerakan aksi damai tutup PT. Freeport dan penuhi hak menentukan nasib sendiri.

Aparat keamanan dan TNI jangan melihat dan bersikap anti (represif) terhadap gerakan-gerakan yang menyuarakan “Tutup Freeport dan Penuhi Hak atas Menentukan Nasib Sendiri. Penentuan nasib sendiri merupakan hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan, selain partisipasi politik tentunya. Hak menentukan nasib sendiri memuat pula aspek ekonomi yaitu secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alamnya sendiri, tidak dirampas hak-hak mereka atas sumber-sumber penghidupannya sendiri. “Tutup Freeport!”, berarti rakyat Papua tidak perlu Freeport.

Beberapa waktu lalu, Jokowi menerima perwakilan korban Semen Kendeng dan aktivis pendamping. Hingga kini ia belum menemui para korban yang melakukan aksi cor semen di depan istana negara Jakarta.

Pemerintahan Jokowi-JK jarang gegabah dalam mengambil keputusan-keputusan dalam banyak aspek. Apalagi dalam upaya-upayanya mendekatkan diri pada rakyat; tampak cerdas, manis, dan membumi. Ya memang, keputusan-keputusan dan tindakannya bermuatan politis. Dalam polemik PT. Freeport ini Pemerintahan Jokowi-JK tidak bisa ambil keputusan tanpa melibatkan dan mendengar suara rakyat Papua. Suara suku-suku asli Papua yang terdampak langsung beroperasinya Freeport, yang juga didengungkan oleh gerakan mahasiswa Front Persatuan Mahasiswa Tutup Freeport harus didengar.

Gerakan ini harus mendapat banyak dukungan. Solidaritas sebagai anak bangsa yang senasib, akan menjadi amunisi kekuatan dan keberanian melawan ketidakadilan. Saya berharap, pada Jum’at 7 April 2017 mendatang jumlah mahasiswa yang turun ke jalan di Bogor sudah berlipat ganda. Lebih banyak dari aksi damai 20 Maret 2017. Sejarah bangsa-bangsa di dunia, dan Indonesia menorehkan, tak pernah ada yang sia-sia begitu saja dalam perlawanan menegakan keadilan untuk rakyat yang ditindas serta perjuangan merebut kemerdekaan dan kebebasan.


 Bogor, 28 Maret 2017

Tidak ada komentar: