Senin, 30 Januari 2012

Kehadiran Dokter Jeban dan Kealpaan Negara


Di Cibinong, tidak jauh dari tempat tinggal saya, terdapat sebuah rumah praktek dokter yang selalu ramai dikunjungi pasien. Kata Ibu saya, kerumunan pasien itu mirip orang demo. Bukan karena kemujaraban pengobatan yang membuat para pasien berdatangan, melainkan karena murahnya biaya pengobatan yang ditetapkan sang dokter. Setiap pasien, apapun penyakitnya, siapapun orangnya, hanya dikenai biaya SEPULUH RIBU RUPIAH sudah termasuk biaya obat. Karena itulah, orang-orang menjuluki sang dokter dengan nama DOKTER JEBAN.

Kehadiran rumah pengobatan dan komitmen dokter jeban dalam melayani orang sakit, menjadi sebuah akses tersendiri bagi masyarakat sekitar terhadap pemenuhan kesehatan/ pengobatan dengan biaya yang murah dan proses yang cepat.
Merupakan cerita lama di Indonesia, ketika kita mendengar berita tentang meninggalnya seseorang karena terlambat diobati lantaran tidak mempunyai biaya yang cukup untuk berobat, atau meninggalnya seseorang karena ditelantarkan oleh pihak rumah sakit lantaran tidak bisa membayar uang muka rawat inap.

Merupakan cerita lama juga, ketika kita mendengar berita tentang berbelit-belitnya proses dan prosedur pengurusan pengobatan gratis bagi si miskin.

Dalam kondisi kesehatan yang genting seperti itu, dan berujung pada meninggalnya seseorang, berarti Negara telah lalai menjalankan tanggungjawabnya terhadap pemenuhan hak atas kesehatan bagi tiap-tiap warga negaranya.

Setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Karenanya Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Kealpaan Negara itu telah menggerakan hati dan membulatkan tekad dokter jeban muda untuk berjuang keras agar di masa mendatang bisa menjadi seorang dokter. Ketika duduk di bangku sekolah menengah atas, dokter jeban harus menerima kenyataan pahit dan memilukan dengan meninggalnya sang ayah. Tak ada dokter yang mengobati ayahnya, lantaran keluarga dokter jeban remaja tidak memiliki biaya untuk berobat. Dokter jeban remaja berjanji pada dirinya sendiri, kelak ia harus menjadi dokter dan mengabdikan dirinya bagi orang-orang sakit yang tidak punya.

Sewaktu saya dan keluarga saya masih tinggal di kampung halaman, Purbalingga, kami memiliki dokter langganan. Namanya dokter Jhoni. Ia keturunan Tionghoa yang memilih menjadi abdi Negara dengan jalan menjadi dokter PNS (pegawai negeri sipil). Dokter Jhoni mengawali kariernya dengan bertugas di puskesmas kecamatan kami, Karanganyar. Ketika itu saya belum lahir.

Suatu ketika, beberapa saat setelah saya lulus kuliah, saya didera sakit tukak lambung. Dokter Jhoni mengobati saya di rumah sakit Nirmala, rumah sakit swasta yang ia bangun bersama rekan seprofesinya.

Disela-sela ia memeriksa saya, ia sering bercerita tentang pengalamannya dahulu, ketika bertugas di puskesmas kecamatan kami. Para pasien yang datang berobat ke puskesmas, seringkali tidak membayar dengan uang, melainkan dengan hasil bumi. Jagung, pisang, ubi, kelapa, ikan, merupakan pengganti uang.

Menurut dokter Jhoni, di Indonesia, sekarang ini, profesi dokter PNS tidak diminati lagi oleh para dokter muda. Mereka lebih berfikir provit oriented. Sisi-sisi kemanusiaan diabaikan.

Jika profesi advokat dijuluki sebagai officium nobile atau profesi yang terhormat, menurut saya, sesungguhnya, pada beberapa profesi tertentu, seperti guru, wartawan, petani, penulis dan dokter juga sangat layak dijuluki sebagai the officium nobile. Profesi-profesi tersebut secara langsung maupun tidak, merupakan promotor nilai-nilai kemanusiaan dan akses pemenuhan hak-hak pokok seperti hak atas pendidikan, informasi, kesejateraan lahir, ilmu pengetahuan, dan kesehatan.

Kehadiran dokter jeban dalam melayani pasien, sama halnya dengan keberadaan advokat probono, yang tidak menerima bayaran dari kliennya, lantaran si klien adalah masyarakat yang buta hukum dan tidak mampu.

Negara masih sangat terseok-seok dalam menjalankan tanggung jawab menyediakan fasilitas kesehatan bagi warga negaranya. Apalagi memberi perhatian terhadap para dokter yang tulus menjalankan misi kemanusiaan, mungkin sama sekali tak terdaftar dalam agenda Negara.

Tidak ada komentar: